NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:937
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: Sikap Zevian

Keesokan pagi, mentari yang cerah menyusup melalui celah gorden tipis, menyinari ruangan dengan cahaya emas yang hangat. Sinar matahari pagi itu begitu terang, menyentuh wajah Zevian yang masih terlelap. Perlahan, ia membuka matanya, disambut oleh pemandangan yang kabur akibat efek dari minuman keras semalam. Dengan kepala yang berdenyut-denyut, ia memegangi pelipisnya, mencoba mengusir rasa pusing yang menyakitkan.

"Eumhh…" keluhnya pelan, matanya menyipit, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang memancar. Namun, perhatian Zevian segera beralih pada sosok di sampingnya. Hatinya mencelos begitu melihat gadis cantik yang kemarin dia tolong—Nayara, tertidur dengan tenang di ranjang yang sama. Selang infus terpasang di tangannya, mengingatkan Zevian pada kekeliruannya semalam.

Ia menatap wajahnya dalam diam. Rasa bersalah menyelusup, menyadari bahwa dia telah mengurung Naya di penthouse-nya tanpa memberi makan atau minum hampir selama 24 jam. Semua itu terjadi karena perintah dari keluarganya yang memaksanya pulang, membuatnya lupa pada wanita itu.

Zevian menarik napas dalam-dalam, mengusir pikiran-pikiran itu. Setelah beberapa saat memandangi wajah cantik yang tampak damai itu, ia bangkit perlahan dari tempat tidur. Rasa sakit di kepalanya membuatnya merasakan setiap langkahnya berat, namun ia memutuskan untuk membersihkan diri, sekaligus menyegarkan tubuhnya yang terasa lelah dan mabuk berat. Ia tahu, hari ini harus dimulai dengan lebih baik.

Lima belas menit kemudian, Zevian keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih basah. Sebuah handuk melilit lehernya, sementara bagian bawah tubuhnya hanya ditutupi oleh boxer hitam yang terlihat kontras dengan kulitnya yang terang. Rambutnya yang masih basah meneteskan air ke kulitnya, mengalir perlahan menuju leher dan punggungnya yang tegap. Ia mengerjakannya dengan tidak sabaran, mencoba mengeringkan rambut yang sedikit menggantung di matanya.

Dengan langkah yang cukup mantap, Zevian melirik ke arah ranjang, di mana Nayara masih terbaring dalam tidur yang nyenyak. Wajahnya tampak tenang, meskipun perasaan bersalah masih menyelinap di dalam hati Zevian. Dengan sebuah isakan napas panjang, ia berpaling dan mengambil kaos lengan pendek yang tergeletak di kursi. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju dapur. Entah dari mana, hasrat aneh itu datang—Zevian, yang dikenal sebagai pria dingin, yang tak pernah peduli dengan hal-hal kecil seperti ini, tiba-tiba ingin memasak untuk seorang gadis yang bahkan baru ia kenal semalam.

Itu aneh. Zevian tak pernah merasa perlu belajar memasak. Dalam hidupnya, pekerjaan itu tak pernah masuk dalam daftar aktivitasnya. Terlahir sebagai putra pertama keluarga Steel, ia selalu dilayani dalam segala hal. Segala sesuatunya sudah tersedia untuknya. Semua orang di sekitarnya tahu bahwa ia lebih suka bekerja, lebih memilih untuk mengejar ambisi ketimbang hal-hal sepele seperti memasak. Namun, entah kenapa, pagi itu, ia merasa ada yang berbeda.

Dengan teliti, Zevian mempersiapkan bahan-bahan sederhana yang ada. Suasana di dapur itu sunyi, hanya suara gesekan panci dan peralatan memasak yang terdengar. Zevian mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus pada masakannya. Tetapi, pikirannya terus terulang pada gadis di kamar tidur, pada rasa bersalah yang terus menghantui dirinya.

Tiba-tiba, pintu dapur terbuka, dan Aditya masuk sambil membawa beberapa kantong plastik belanjaan. Dengan ekspresi yang penuh keheranan, Adit melontarkan pertanyaannya.

"Sedang apa, Pak Boss? Nongkrong di dapur? Biasanya nongkrong di mall atau café, kedatangan setan apa sampai nyasar ke sini?" Nada ejekan itu tak terlewatkan, namun Zevian tidak tampak terganggu. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia malah balik bertanya, tetap fokus pada masakannya.

"Tadi malam aku pulang dengan siapa ke sini?" tanya Zevian dengan alis yang bertaut dan raut wajah bingung. Sorot matanya kosong, seperti sedang berusaha mengais potongan memori dari balik kepalanya yang masih terasa berat akibat pengaruh alkohol. Aditya, yang sedang sibuk mengeluarkan isi kantong plastik di atas meja kaca dapur, menoleh cepat dengan ekspresi malas bercampur heran.

"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan aku? Tidak mungkin kau pulang bersama Cristian Tello? Gila kali ya!" ucapnya sambil memutar bola mata, terlihat jelas betapa ia merasa pertanyaan itu konyol.

"Serius Perasaan aku pulang sendiri," sahut Zevian dengan nada dibuat-buat polos, sengaja menggoda sahabatnya. Aditya yang mendengar itu langsung menepuk dahinya sambil menghembuskan napas keras.

"Sendiri mata kau! Orang kau tepar gegara kebanyakan minum vodka—sok-sokan bisa pulang sendiri!" Ia mengerutkan kening, lalu melotot kesal sambil menunjuk Zevian.

Zevian hanya tertawa kecil, geli melihat ekspresi Aditya yang sudah seperti ibu-ibu mengomel di pasar. Suasana hangat dan santai seperti ini memang khas di antara mereka berdua. Meski status sosial dan pekerjaan menuntut formalitas tinggi, terutama saat di perusahaan, di luar urusan bisnis mereka tetaplah sahabat yang bisa tertawa dan bercanda tanpa batas.

Aditya lalu kembali membereskan belanjaannya, meletakkan kantong plastik berisi bahan makanan dan camilan di atas meja. Cahaya pagi menembus jendela kaca besar yang mengelilingi dapur canggih penthouse itu, memantulkan kilau elegan dari permukaan marmer abu tua. Zevian menyandarkan tubuhnya di meja, menatap sahabatnya dengan senyum kecil yang tak bisa ia tahan.

Setidaknya, di balik hangover yang menyiksa, ia masih punya seseorang yang bisa diandalkan. Zevian menyender di meja dapur sambil menyilangkan tangan di dada. Senyumnya makin lebar, jelas dia belum puas menggoda sahabatnya.

"Dit... jangan-jangan semalam kamu cemburu ya aku mabuk terus kamu yang harus gotong-gotong aku?" godanya, nada suaranya dibuat senakal mungkin. Aditya mendengus, mengaduk isi kantong plastik dengan gerakan kasar.

"Cemburu katanya?. Kalau bukan karena takut kamu nyasar masuk selokan tetangga, sudah aku tinggal kamu di sana." Balas Aditya yang membuat Zevian mengangkat alis, menahan tawa.

"Ngaku aja kamu sayang sama aku. Udah berapa lama kamu simpan perasaan itu, Dit?" Ujar nya yang membuat Aditya langsung berdiri tegak, menatap Zevian dengan mata menyipit.

"Ze, sumpah ya... satu kata lagi kamu bicara seperti itu, aku lempar tomat ini ke wajah mu!" ujarnya sambil mengangkat sebuah tomat bulat besar ke udara. Zevian malah makin menjadi. Ia berpura-pura mencondongkan tubuhnya, mendekat ke arah Aditya dengan ekspresi menggoda.

"Kamu... perhatian sekali. Seperti istri yang menunggu suami pulang dugem." Balas nya yang membuat Aditya mengangkat tangan, pura-pura hendak melempar tomat itu.

"Terserah lah, kamu mau jadi gay ke, alien ke, yang penting jangan nyeret aku dalam kisah cinta mu yang kacau itu!" Balas Aditya yang membuat Zevian tertawa terbahak-bahak, lalu berkata sambil memegangi perutnya.

"Tenang, Dit. Kamu bukan tipe ku. Terlalu bawel buat dijadiin pasangan." Jawab nya yang membuat Aditya mendengus sambil memasukkan tomat kembali ke kantong.

"Bagus. Aku juga tidak mau punya cowok yang bangun tidur masih pakai boxer dan rambut acak-acakan kayak baru digigit dinosaurus." Ujar nya yang membuat Zevian memandang dirinya sendiri, lalu mengangkat bahu santai.

"Aku tetap ganteng meski habis mabuk dan baru bangun tidur." Jawab nya.

"Percaya diri itu bagus, ze. Tapi overdosis bisa berbahaya untuk kesehatan mental orang lain," balas Aditya ketus, meski sudut bibirnya tak bisa menahan tawa.

Suasana di dapur itu hangat dan penuh canda, sejenak membuat mereka lupa bahwa di kamar sebelah, ada seorang gadis yang masih belum sadarkan diri. Tapi seperti biasa, sebelum menghadapi kenyataan yang lebih berat, dua pria dewasa itu memilih menertawakan hal-hal receh khas laki-laki. Sebuah cara sederhana untuk bertahan dalam dunia yang penuh tekanan.

Zevian berbalik ke kompor, mengaduk bubur ayam yang masih setengah matang. Aroma kaldu perlahan memenuhi dapur bergaya minimalis futuristik itu. Sementara di meja seberang, Aditya sibuk menyiapkan roti panggang dan telur orak-arik untuk dirinya sendiri.

“Dit, kamu sadar tidak?... hidup kita ini aneh sekali,” ujar Zevian, tanpa menoleh, masih fokus mengaduk buburnya. Aditya yang sedang menuangkan susu ke gelas, mengangkat alis.

“Aneh apanya?” tanya aditya bingung.

“Kita cowok-cowok tajir, punya apartemen smart home canggih, duit gak berseri... tapi ujung-ujungnya, sarapan sendiri di dapur. Masak bubur kayak ibu-ibu komplek,” jawab Zevian dengan nada setengah ketawa.

“Iya sih. Harusnya kita sudah di Maldives sekarang, minum kelapa muda sambil digodain bule.” Aditya tertawa pelan.

"Cewek aja di pikiran mu itu" ujar zevian yang membuat Aditya terkekeh.

"Ya namanya juga laki-laki pasti mikirin cewek, gak mungkin mikirin laki-laki juga," ujar Aditya yang membuat zevian menggeleng dia menaruh bubur di mangkuk lalu menyodorkan semangkuk bubur itu ke arah Aditya.

“Coba kamu rasain. Kalau enak, aku boleh buka kedai bubur Steel, spesialis menu billionaire.” ujar nya yang membuat Aditya menatap mangkuk itu penuh curiga, tapi akhirnya mengambil sendok dan mencicipi. Dia diam sesaat, lalu mengangguk pelan.

“Hmmm... Tidak buruk. Tapi tetap saja, lebih enak bubur abang-abang depan rumah sakit.” jawab nya yang membuat Zevian mendesah panjang.

“Dasar lidah rakyat.” ledek zevian.

“Kelas ku memang beda. Kamu belum bisa nyentuh level selera tinggi kayak aku,” balas Aditya dengan gaya sok elit, lalu menepuk meja dua kali.

Mereka tertawa lepas di tengah kemewahan yang nyaris sempurna. Meski status sosial mereka berada di puncak, tapi tawa dan obrolan random seperti ini yang jadi pengingat bahwa mereka masih manusia biasa—yang bisa mabuk, bisa masak gagal, dan bisa bahas hal gak penting sepagi ini.

Aditya menyandarkan punggung ke sandaran kursi, melirik langit-langit yang putih bersih dengan pencahayaan otomatis yang perlahan mengikuti intensitas sinar matahari. Sejenak mereka diam. Hanya suara sendok dan cangkir beradu pelan yang mengisi udara. Tawa telah reda, tapi kehangatan percakapan mereka masih tersisa. Persahabatan yang dibangun sejak kecil itu memang unik—penuh sindiran, ceng-cengan, tapi saling jaga dalam diam.

"Ouh ya... di mana my Angel?" tanya Aditya tiba-tiba, sambil mengambil sepotong roti dan mengunyahnya santai. Zevian menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap sahabatnya dengan ekspresi bingung dan alis yang terangkat.

"Siapa yang kau maksud?" tanyanya, sambil mengalihkan pandangan dari wajan berisi bubur yang sedang ia hangatkan. Ia memang tidak memasak dari awal, hanya sekadar menghangatkan bubur instan dengan campuran kaldu ayam yang ia temukan di lemari dapur.

"Gadis cantik itu. Yang ada di kamarmu," ucap Adit sembari menyeringai lebar seperti bocah baru dapat mainan mahal. Zevian sontak menghentikan gerakan tangannya. Pandangannya kini menajam, nada suaranya sedikit menegang.

"Kenapa kau panggil dia my Angel?" Tanya nya tidak terima.

“Kenapa? Dia memang pantas mendapat julukan itu. Dia cantik, seksi... walaupun badannya kecil, tapi bentuk tubuhnya ideal. Dan lagian aku tidak tahu namanya, jadi kupanggil aja my Angel. Jadi, tidak kan?” jawab nya yang membuat tatapan Zevian berubah menjadi tajam. Tangannya menggenggam erat sendok kayu yang ia gunakan untuk mengaduk bubur. Ada rasa tak nyaman yang merayap di dadanya, membuatnya sesak tak beralasan.

"Dengar, jangan sebut gadis itu dengan sebutan itu lagi. Jika aku masih mendengar itu... lihat saja." ucap Zevian dengan nada rendah namun penuh tekanan. Ia kemudian mematikan kompor dan menuangkan bubur ke dalam mangkuk porselen putih, gerakannya tetap tenang, namun aura dingin mulai memancar dari tubuhnya.

“Loh… kenapa? Apa hakmu melarang?” tanya nya bingung, sedangkan Zevian hanya menoleh sekilas, tapi tak menjawab. Ia hanya menggenggam mangkuk itu, lalu mulai melangkah meninggalkan dapur.

“Pokoknya tidak boleh. Jika kau masih melanggarnya…” ucapnya, namun kalimat itu menggantung di udara, seperti ancaman yang belum selesai. Ia terus melangkah menaiki anak tangga tanpa menoleh sedikit pun. Tiba-tiba, di tengah tangga, Zevian menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Adit, seulas senyum miring khasnya muncul—senyum jahil yang terlihat seperti milik iblis kecil.

“Kau... kupecat jadi sahabat,” lanjutnya, lalu berjalan pergi ke kamarnya dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Aditya hanya terdiam di dapur. Menatap punggung sahabatnya yang semakin menghilang di balik tangga.

“Apa dia benar-benar Zevian yang aku kenal?” gumamnya pelan dengan dahi berkerut. Ia belum pernah melihat Zevian seposesif itu. Terhadap seorang gadis pula.

Namun saat Aditya sedang asik bergumam, tangan kanannya sibuk memutar-mutar kantong plastik berisi snack yang baru saja ia beli, tiba-tiba telponnya berbunyi. Dengan cepat, ia meletakkan kantong plastik itu di meja makan yang terlihat berantakan, lalu mengangkat telepon dengan ekspresi datar, seolah tak ingin diganggu.

"Honey, where are you?" Suara dari seberang terdengar manja, namun dengan nada yang sedikit cemas. Suara itu seakan memaksa, mengharapkan jawaban yang lebih dari sekadar biasa.

"Aku di rumah Zevian, Ris, kenapa?" Ucap Aditya dengan nada datar, tidak menunjukkan emosi sedikit pun. Wajahnya masih terfokus pada ponsel, dan matanya melirik ke arah dapur, terlihat begitu tenang seolah tidak ada yang mengganggu ritme hidupnya.

"Kenapa tadi malam kamu tidak datang ke rumah?" Tanya suara di seberang sana, kali ini terdengar jelas ada nada jengkel yang mencuat. Ada sedikit rasa kecewa yang bisa Aditya dengar, meskipun ia hanya menganggapnya angin lalu.

"Aku sibuk." Jawaban Aditya semakin datar, seakan ia sedang membicarakan cuaca atau hal biasa yang tak perlu dicemaskan. Ia menatap layar ponsel dengan acuh, mengusap kantong plastik yang masih tergeletak di meja makan, seolah berpikir tentang hal lain.

Friska Nagata Wili, atau yang biasa disapa Friska, adalah seorang wanita yang terobsesi dengan sosok Aditya. Sebagai anak pejabat daerah yang memiliki banyak pengaruh, Friska merasa dirinya pantas memiliki Aditya. Namun, bagi Aditya, Friska hanyalah salah satu dari sekian banyak wanita yang ia kenal—wanita yang tak lebih dari sekedar pelengkap dalam kehidupan elitnya. Wajah tampannya dan popularitasnya sebagai Casanova sudah cukup untuk membuat banyak wanita mendekat. Namun, ia tak pernah benar-benar peduli pada mereka, dan Friska adalah salah satu yang mungkin tak akan berbeda.

Tapi, meskipun ia begitu tak peduli, ada sedikit rasa lelah di dalam diri Aditya. Lelah dengan permainan yang sama, dengan wanita yang datang dan pergi, dengan semuanya yang terasa seperti rutinitas yang tak ada habisnya. Namun, itu bukan hal yang ingin ia pikirkan sekarang.

Dia hanya ingin melanjutkan hari-harinya seperti biasa—dan Friska? Ia hanya salah satu episode dalam hidup yang tak perlu ia pikirkan.

"Kamu sibuk apa? Kamu mampir ke rumah selingkuhan mu lagi?" Suara Friska terdengar tajam, menuduh, seakan ingin merobek-robek ketenangannya. Nada suaranya kencang dan penuh dengan perasaan tidak terima, membuat Aditya sedikit menegakkan tubuhnya, matanya mulai berkedip, jengah.

"Berisik sekali... Kalau aku bilang sibuk, ya sibuk!! Apa hak kamu bertanya berlebihan? Ingatlah posisi mu, Riska!" Ucap Aditya dengan nada yang lebih tinggi, setengah membentak.

"Kamu jahat, Dit! Setelah semua yang kuberikan, kamu malah mengkhianati ku! Aku kurang apa? Aku cantik, kaya, dan juga seksi! Bahkan kamu pun tak pernah mengeluh kurang puas saat kita bermain! Lalu kenapa? Apa masalahnya?" Tanya Riska, suaranya penuh emosi, hampir seperti air yang meluap.

Aditya mendengus pelan, menatap ke meja di depan dengan pandangan kosong. Suasana di sekelilingnya seperti hening sejenak, seakan ia sedang menimbang dengan hati-hati setiap kata yang akan keluar. Lalu, dengan suara yang lebih rendah namun penuh dengan ketegasan, ia kembali berbicara.

"Kau itu cerewet, Riska, dan ya masalah yang kau berikan padaku hanya kepuasan semata. Kau juga menikmati permainan ku, dan lagi kau harus ingat waktu pertama kali kita melakukan itu, kau sudah tak perawan lagi, jadi jangan sok suci. Dan untuk cantik, aku juga tampan, lalu seksi? Hah! Kau itu seksi dibantu dokter! Sedangkan aku sudah dari lahir begitu. Dan lagi... Apa tadi kau bilang!" Tawa dingin itu terdengar jelas, penuh ejekan. Aditya merasa sedikit terhibur dengan cara dia merendahkan Riska, meskipun ia tahu betapa tajamnya kata-kata yang ia lontarkan.

"Kau bilang kaya, memang sekaya apa kau? Sekaya-kayanya kamu itu milik keluargamu, bukan milikmu sendiri! Jadi berkacalah, Riska. Kamu salah orang kalau menantang ku!" Ucapnya, matanya kini membara, tajam seolah menembus setiap kata yang keluar dari mulutnya. Riska di seberang sana hanya bisa terdiam sejenak.

"Kamu tidak ada bedanya dengan pria murahan lainnya! Aku sudah berikan segalanya untukmu, tapi kamu tetap tidak pernah puas, kan?!" Friska berteriak, suaranya mulai pecah, emosinya semakin sulit dibendung. Aditya bisa mendengar isak tangisnya di ujung sana, tapi tak ada empati sedikit pun yang muncul di dalam dirinya. Hanya ada kebosanan dan ketidakpedulian.

Aditya menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang meskipun rasa kesal di dalam dadanya sudah memuncak. Ia mengalihkan pandangannya dari jendela, memandang sekeliling ruang makan yang sepi. Hanya suara nafasnya yang terengah-engah setelah perdebatan panjang ini.

"Oh, jadi kamu merasa dirimu itu segalanya untuk ku, Ris? Hah! Cobalah lihat dirimu sekali lagi di cermin. Semua yang kamu berikan itu cuma omong kosong. Kamu kira aku butuh semua itu?" Suara Aditya berubah, semakin dingin dan tajam.

"Aku tidak butuh wanita yang selalu mengeluh seperti kamu. Semua yang kamu lakukan itu untuk apa? Semua uang yang kamu punya, itu bukan milikmu, Ris. Kamu bisa bilang kamu kaya, seksi, tapi itu semua bukan hasil jerih payahmu sendiri!" Aditya hampir berteriak, suaranya melengking penuh kemarahan.

"Aku sudah cukup dengan kamu, Riska. Jadi jangan coba-coba lagi mendekati aku dengan segala omong kosongmu. Aku tidak peduli apa yang sudah kamu berikan, karena yang aku inginkan bukan itu. Aku cuma ingin kepuasan, itu saja!" Ucapnya dengan nada penuh kemenangan, seolah ia telah memenangkan perdebatan ini sejak awal.

Friska di ujung sana terdiam, suaranya yang tadi penuh amarah kini mereda menjadi isakan. Dia tidak bisa berkata-kata. Di dalam hatinya, ada perasaan yang lebih sakit daripada apa pun. Setiap kata yang keluar dari mulut Aditya seolah mengiris hati, tapi ia tahu, ia sudah terjebak dalam permainan ini.

"Coba lihat lagi, Ris. Apa yang kamu harapkan? Aku bukan orang yang bisa kamu perbaiki. Kamu pikir aku ini siapa? Apakah aku terlihat seperti pria yang akan berkomitmen padamu? Jangan buang waktu lagi. Kamu hanya mainan untukku," lanjutnya dengan suara yang semakin rendah, tapi lebih tajam dan penuh hinaan.

Aditya kembali terdiam, mengangkat tangannya untuk menyandarkan punggung ke kursi. Dia menatap layar ponsel seolah merenungkan kata-kata terakhir yang baru saja diucapkannya. Riska di seberang sana hanya bisa menangis tanpa suara, hatinya hancur berkeping-keping. Di balik tangisan itu, ada kesedihan mendalam karena ia tahu, meski ia terus memberi, Aditya tetap takkan pernah menganggapnya lebih dari sekadar pemuas nafsu.

"Jika masih ingin bersamaku, jangan banyak bicara, aku benci wanita berisik." ujar Aditya dengan suara datar, lalu mematikan telepon tersebut secara sepihak, tanpa sedikit pun rasa menyesal.

"Lebih baik aku makan dulu saja," gumam Aditya pada dirinya sendiri, seolah berbicara dengan suara yang jauh, jauh dari dirinya yang sebenarnya. Tanpa ekspresi apapun, ia meletakkan telepon ke meja makan dan meraih piring besar berisi makanan yang sedari tadi terabaikan.

Tangan Aditya yang terampil mulai mengangkat sendok dan mulai menyantap makanan dengan cepat. Nasi, sayur, dan daging itu tampak begitu biasa, seperti makanan yang dimakan untuk sekadar memenuhi perut. Padahal, sebelumnya, makanan itu sedianya akan diberikan kepada Zevian dan Nayara. Namun, karena Zevian menolak, kini makanan itu menjadi miliknya seorang diri.

Namun, saat ia tengah asyik makan, tiba-tiba suara teriakan keras dari lantai atas memecah kesunyian. Suara Zevian yang menggelegar hampir membuat Aditya tersedak.

"Buka cepat!" Teriak Zevian dengan nada marah, suaranya memekakkan telinga dan bergema di seluruh penjuru ruangan. Aditya menatap piringnya dengan seketika kehilangan selera makan. Dengan cepat, ia menurunkan sendok yang baru saja ia angkat. Wajahnya memunculkan ekspresi jengkel.

"Kenapa lagi dia? Orang lagi sakit, dibentak-bentak," gerutunya kesal, matanya kini terfokus pada piring di depannya, seolah tidak ada yang bisa menarik perhatiannya lagi.

Selera makannya yang tadinya muncul tiba-tiba menghilang, seperti disapu oleh amarah yang datang begitu saja. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri. Tapi, sepertinya kekesalan itu sudah tidak bisa diredam lagi.

"Sepertinya aku butuh hiburan. Mumpung Sigunung es, sedang sibuk," ujar Aditya dengan senyum misterius yang mengembang di sudut bibirnya. Sebuah senyuman yang penuh dengan teka-teki dan rencana tersembunyi. Ia bangkit dari kursi dengan anggun, melangkah menuju dapur untuk meminum seteguk air.

Dengan satu gerakan cepat, Aditya meninggalkan penthouse mewah itu. Pintu besar yang terbuka itu menandakan ia siap meninggalkan suasana yang tampaknya menekan hatinya. Begitu banyak hal yang ingin ia lakukan, begitu banyak yang ingin ia buktikan—dan semua itu, tampaknya, hanya bisa dia capai dengan caranya sendiri. Ia meninggalkan segala yang ada di belakangnya, menyimpan segala rasa kesal itu dalam diam.

••

Sementara itu, di dalam kamar utama yang didominasi nuansa gelap elegan, Zevian tengah berusaha membujuk Nayara agar mau makan. Namun, usahanya sia-sia. Pria itu berdiri di samping ranjang, membawa nampan makan yang kini justru terasa berat karena situasi yang membuatnya frustrasi.

"Ayo, buka mulutmu. Kamu harus makan," ucap Zevian dengan nada lembut yang dipaksakan, berusaha bersabar. Meski bibirnya melafalkan kata-kata tenang, sorot matanya yang tajam menunjukkan amarah yang sudah mulai mendidih.

Nayara tetap bergeming. Ia meringkuk di bawah selimut tebal, hanya menyisakan bagian atas kepalanya yang terlihat. Suaranya terdengar pelan dan bergetar.

"Aku tidak mau, Tuan saja yang makan. Rasanya pasti tidak enak, jadi aku tidak mau makan itu. Aku ingin pulang," ucapnya lirih, seperti anak kecil yang sedang merajuk, namun dengan luka yang dalam di balik matanya. Zevian mengepalkan jemarinya, rahangnya mengeras.

"Dengar, Nayara. Kesabaran saya tidak setebal baja, jadi cepat makan sebelum saya kehilangan kesabaran," ucapnya mulai meninggikan suara, namun masih mencoba menahan diri.

"Nanti saja, Tuan. Aku ingin pulang. Aku mohon..." suara Nayara terdengar semakin putus asa, memohon dengan suara yang seakan tercekik oleh ketakutan dan lelah.

"Saya bilang, bangun dan makan!" teriak Zevian. Suaranya menggelegar, memantul di seluruh penjuru kamar yang luas dan hening, membuat udara seolah menegang. Dengan gerakan kasar, ia menarik selimut dari tubuh Nayara, memperlihatkan wajah pucat gadis itu yang tersentak karena teriakan dan perlakuannya. Nayara menatap Zevian dengan mata berkaca-kaca, wajahnya memerah antara marah dan terluka.

"Anda ini kenapa, Tuan? Aku sudah bilang aku tidak mau makan! Kenapa kasar sekali jadi pria? Aku ingin pulang!" Nayara berdiri dari tempat tidur, suaranya naik satu oktaf, emosinya meledak meski tubuhnya bergetar karena takut.

"CEPAT MAKAN! Mau makan sendiri atau biar saya yang menyuapimu?" Zevian kembali mengancam dengan nada penuh dominasi, satu alisnya naik, matanya menajam seperti pisau siap mengiris logika.

"Aku tidak peduli!" Nayara membalas tegas, lalu berbalik menuju pintu kamar, niatnya jelas untuk pergi.

Namun belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, lengan kecilnya ditarik kuat oleh Zevian. Tubuh Nayara terhuyung dan kembali terduduk di atas ranjang, matanya membelalak karena terkejut dan marah bercampur takut. Tangannya mencengkeram seprai dengan erat, mencoba menahan desakan emosi yang bergejolak.

“Keras kepala. Kamu pikir saya akan melepaskanmu begitu saja setelah apa yang saya lakukan?” ucap Zevian dengan nada datar, nyaris tanpa ekspresi. Nayara menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur secara refleks. Namun ia tetap berusaha mempertahankan keberaniannya.

“Aku bisa melaporkan Anda pada polisi, Tuan. Anda mengurung saya di sini dan itu adalah tindakan kejahatan,” ujar Nayara dengan nada bergetar, matanya menatap Zevian dengan campuran ketakutan dan tekad. Meski tubuhnya sedikit gemetar, ia berusaha terdengar tegas. Zevian tertawa sumbang, tawa yang kosong dan meledek. Bahunya naik-turun pelan, namun matanya tidak tersenyum.

“Untuk melapor pada polisi, kamu harus bertemu dengan mereka. Sedangkan untuk bertemu mereka, kamu harus keluar dari sini. Dan sekarang?” Ia melangkah pelan ke arah Nayara. “Kamu masih di sini. Bersamaku,” ujarnya sambil kembali tertawa ringan, seperti seorang pria yang sedang bermain-main dengan mangsanya. Nayara mencengkeram jemari tangannya sendiri di depan dada. Matanya mulai memanas, suaranya terdengar putus asa.

“Lepaskan aku... Apa salahku? Jika ada hal yang salah, tolong maafkan aku. Tapi aku tidak mau di sini. Aku harus pergi ke kampus,” ucapnya dengan suara yang lirih tapi tergesa. Ia menatap Zevian dengan mata yang berkaca-kaca.

Pikiran Nayara kacau. Awalnya, dia hanya meminta bantuan. Tapi sekarang? Ia merasa seperti seekor burung kecil yang terperangkap dalam sangkar emas milik pria dingin dan tak terduga ini. Situasi ini semakin runyam—semakin jauh dari rencana awalnya.

Zevian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Nayara lekat-lekat—lama, tajam, penuh tekanan. Nafasnya terdengar pelan namun berat, seperti menahan sesuatu di dalam dadanya. Lalu, tanpa berkata-kata, ia melangkah ke meja, mengambil mangkuk bubur yang sudah mulai mendingin, dan kembali mendekat ke ranjang.

“Kamu mau makan sendiri atau saya yang paksa?” tanyanya dingin, kali ini tak ada nada gurauan. Matanya mengeras.

“Aku bilang aku tidak lapar, Tuan! Aku tidak mau makan,” Nayara menepis tangan Zevian yang hendak menyuapinya. Suaranya meninggi, nyalinya perlahan tumbuh walau tubuhnya masih gemetar. Seketika Zevian meletakkan mangkuk itu di meja kecil di samping ranjang. Ia menarik napas dalam-dalam. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras.

“Kamu pikir saya punya waktu main tarik ulur seperti ini, Nayara?” gumamnya tajam. Lalu, dalam sekejap, ia mencengkeram rahang Nayara—tidak terlalu keras, tapi cukup membuat gadis itu terdiam kaget. Dengan tangan yang dingin namun tetap terkontrol, ia mengambil sendok, menyendok bubur, dan nyaris memaksa menyuapkannya ke mulut Nayara. Tapi Nayara memalingkan wajah, menolak mentah-mentah.

“Aku bukan anak kecil, Tuan!” serunya, mata mulai berkaca. Hatinya bercampur aduk antara marah, takut, dan sedih. Zevian menghentikan gerakannya. Ia menatap Nayara dalam-dalam. Pandangannya tidak lagi hanya dingin—ada luka tersembunyi, ada obsesi yang terbaca jelas di balik tatapan itu.

Nayara menarik napas dalam-dalam, rahangnya mengeras menahan emosi yang bergejolak dalam dadanya. Matanya menatap lantai, seolah mencoba meredam ketegangan yang melilit tubuhnya.

“Kalau kamu tetap menolak, baik. Tapi jangan salahkan saya jika nanti kamu jatuh sakit. Saya tidak akan bersikap lembut dua kali.” Suaranya terdengar berat, dingin, namun jelas menyiratkan ancaman yang nyata. Namun bukannya takut, Nayara justru mendongak, menatap Zevian dengan sorot mata penuh keberanian.

“Aku tidak peduli. Sekarang biarkan aku pergi. Anda gila, ya? Mengurung orang asing sembarangan seperti ini?” bentaknya tajam, emosinya meluap seperti ombak yang menghantam karang. Zevian yang berdiri di sisi ranjang langsung menghentikan gerakannya. Matanya menajam, menatap Nayara dengan sorot mengancam. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena takut—melainkan marah. Sangat marah.

Selama hidupnya, tak pernah ada yang berani mengucapkan kata “gila” padanya. Tak satu pun orang yang berani menantang otoritasnya, apalagi menyebutnya pria gila. Tapi Nayara baru saja melakukannya. Tanpa ragu. Tanpa takut. Rahangnya mengeras, tangan kirinya mengepal di sisi tubuhnya. Nafasnya menjadi tidak beraturan, menandakan bara api di dadanya mulai menyala.

“Apa kamu sadar dengan siapa kamu bicara barusan?” tanyanya pelan namun tajam, seperti pisau yang mengiris perlahan. Suara Zevian tak lagi keras, tapi justru itulah yang menakutkan—tenang, datar, namun mengintimidasi.

Nayara tidak menjawab. Ia hanya menatap Zevian dengan mata yang mulai berkaca-kaca, bukan karena takut, tapi karena kesal dan frustasi. Dunia seolah berbalik dalam semalam—dan ia terjebak dalam kehidupan orang yang tak bisa ia pahami.

Zevian menunduk sedikit, wajahnya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Nayara yang masih duduk di ranjang dengan tubuh tegang. Hawa panas dari napasnya menyapu pipi Nayara, membuat jantung gadis itu berdebar lebih cepat—bukan karena cinta, tapi karena ketegangan yang tak tertahankan.

“Jangan pernah mengulangi kata itu lagi. Saya bisa jadi lebih dari sekadar ‘gila’, jika itu yang kamu inginkan.” Suaranya terdengar pelan, namun seperti gemuruh petir di tengah hujan badai. Nayara menelan ludah, dadanya naik turun karena emosi yang bercampur aduk. Ia ingin melawan, tapi tubuhnya seperti kehilangan kekuatan. Meski begitu, lidahnya tetap tajam.

“Kalau Anda pikir aku akan tunduk hanya karena ancaman, Anda salah besar. Aku tidak takut pada pria arogan yang hanya bisa menyandera orang lain.” ucap Nayara lirih, tapi penuh keberanian. Ia berdiri perlahan, menatap Zevian tepat di mata. Sekilas, mata Zevian memancarkan keterkejutan. Tapi itu hanya sepersekian detik. Setelahnya, yang tampak adalah wajah datar penuh dominasi.

Tanpa peringatan, tangannya kembali terulur, meraih dagu Nayara dan menahannya agar tetap menatapnya. Sentuhannya tidak lembut—ada tekanan, ada kekuasaan yang ingin ditunjukkan.

“Mungkin kamu memang tidak takut… tapi kamu harus tahu, Nayara,” ujarnya seraya mendekat, “saya tidak pernah menyandera siapa pun. Aku hanya mengambil milik saya.” lanjut nya yang membuat Nayara mengeleng cepat.

“Aku bukan milik Anda.” desis Nayara, matanya menyalak.

“Belum.” bisik Zevian dengan nada dingin, Ia kemudian melepaskan dagu Nayara dan menarik napas panjang, seperti menahan emosi yang nyaris meledak. Lalu, ia menunjuk piring makanan di meja.

“Terakhir kali saya peringatkan. Makan… sebelum aku kehilangan semua kesabaran yang tersisa.” Ujar nya yang membuat Nayara menatap mangkuk itu, lalu kembali ke wajah Zevian. Ia tahu pria itu bukan tipe yang hanya menggertak—dan untuk pertama kalinya, ia merasa terpojok dalam permainan yang tak pernah ia daftarkan.

Namun, satu hal yang pasti—ia tidak akan menyerah semudah itu.

Nayara tidak bergeming. Sorot matanya kosong, namun rahangnya mengeras menahan segala rasa tidak nyaman yang menggunung di dalam dadanya. Ia tetap diam di tempat, membiarkan keheningan menelan ruang luas kamar itu.

Hingga akhirnya, suara dingin Zevian kembali terdengar—lebih rendah, lebih mengancam.

"Berhentilah bicara, dan makan ini atau saya akan melakukan hal yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya," ucap Zevian pelan, namun sarat tekanan. Nada suaranya membuat udara seolah menegang, seperti pisau yang menggores tipis di kulit, menyakitkan tapi tak terlihat.

Nayara mengerjap, menunduk sebentar, lalu menatap pria itu dengan jengkel yang terbungkus takut. Hatinya membara karena dipaksa, tapi tubuhnya seolah tak punya pilihan.

"Dasar tuan gila," umpatnya pelan sambil menggeram, kemudian meraih mangkuk di hadapannya dengan gerakan cepat namun enggan. Sebenarnya, ia ingin tetap menolak. Ia ingin melempar mangkuk itu ke wajah Zevian. Tapi kalimat ancaman barusan cukup untuk membuat nyalinya ciut.

Tangannya gemetar saat mengambil sendok. Bukan karena lapar—melainkan karena amarah dan ketakutan yang bercampur, mengaduk perasaannya menjadi benang kusut yang sulit diurai. Zevian menyandarkan tubuhnya sejenak, lalu menghela napas pendek. Tatapannya menurun ke arah Nayara, kemudian ia beranjak dari posisinya.

"Begitu saja susah," gumamnya, nyaris tak terdengar, lalu menambahkan, "Saya akan pergi ke kantor. Tenang saja, kamu tak akan kelaparan lagi. Akan ada asisten rumah tangga untukmu, jadi kamu tinggal suruh-suruh saja." Tambahnya dengan nada suaranya acuh, seperti sedang memberi informasi pada sekretarisnya, bukan pada seorang gadis yang baru saja dipaksanya makan.

Ia lalu berjalan menuju walk-in closet yang berada di sisi kiri kamar—sebuah ruangan kecil yang nyaris sebesar kamar tidur orang biasa. Pintu gesernya terbuka otomatis begitu Zevian mendekat, memperlihatkan interior bergaya kontemporer minimalis berbalut nuansa abu-abu gelap dan cokelat kopi. Cahaya lampu LED tersembunyi di sepanjang rak kayu walnut menyinari deretan jas mahal yang tergantung rapi, tersusun menurut warna dan musim.

Di sudut ruangan, rak sepatu tertata elegan dengan puluhan pasang sepatu kulit, boots, dan sneakers edisi terbatas. Di sisi lainnya, dasi, jam tangan, manset, dan parfum mewah tertata dalam laci kaca yang terbuka otomatis ketika disentuh. Ruangan itu begitu steril dan berkelas—seperti pemiliknya: dingin, teratur, dan tak memberi ruang untuk kesalahan.

Zevian memilih setelan jas berwarna navy dengan garis potongan tegas. Ia memadukannya dengan kemeja putih bersih dan dasi tipis berwarna senada. Tangannya cekatan mengancingkan kemeja, merapikan kerah, lalu menyemprotkan sedikit parfum ke pergelangan tangan dan leher—aroma khas yang hangat dan maskulin, meninggalkan kesan kuat bahkan setelah ia pergi.

Sementara itu, Nayara masih duduk terpaku di tepi ranjang. Sendok di tangannya kini tak hanya sekadar alat makan—melainkan simbol sisa-sisa kendali yang masih bisa ia genggam. Matanya menatap punggung Zevian yang berbalik arah, dan di dalam sorot itu, tak ada lagi hanya ketakutan.

Yang tersisa kini adalah diam yang perlahan berubah menjadi bara: perlawanan tanpa suara, tapi menunggu saat yang tepat untuk menyala.

Sepuluh menit kemudian, Zevian muncul kembali dengan penampilan yang lebih sempurna—kemeja putih yang terpasang rapi, jas navy yang terkesan formal namun tetap elegan, dan dasi yang terikat sempurna di lehernya. Penampilannya begitu sempurna, setiap detailnya terasa dihitung dan tanpa cela. Ia melangkah mendekat dengan langkah tegas, mata yang tajam menatap Nayara yang masih duduk di tepi ranjang, memandangi mangkuk bubur yang kini hampir kosong.

“Sudah selesai?” tanya Zevian, suaranya datar namun mengandung perintah yang sulit untuk ditolak. Ia mengamati Nayara dengan tatapan yang sulit dibaca, meski di balik itu ada rasa puas—meskipun wanita ini menolak, setidaknya ia berhasil membuatnya makan.

“Aku kenyang,” jawab Nayara, menyerahkan mangkuk itu dengan cepat, meskipun isinya masih terlihat banyak, seolah tidak berkurang sama sekali. Ia menatap Zevian dengan tatapan kosong, mencoba menyembunyikan amarahnya yang masih membara.

Namun, sebelum Nayara sempat menyadari, Zevian sudah bergerak cepat, mencium bibirnya dengan tiba-tiba—tanpa persetujuan, tanpa peringatan. Ciuman itu cepat dan tak terduga, membuat Nayara membeku sejenak.

“Apa yang Anda lakukan?!” bentak Nayara, matanya terbuka lebar, darahnya mendidih. Ia cepat-cepat mengusap bibirnya kasar dengan punggung tangan, mencoba menghapus jejak yang ditinggalkan oleh pria itu. Tidak ada ruang untuk kehalusan—hanya rasa jijik yang menguasai dirinya. Ia jelas tak terima diperlakukan seperti itu oleh pria asing yang bahkan tak sedikit pun ia kenal.

"Manis!" ujar Zevian sambil mengusap bibirnya dengan sensual, senyuman tipis menghiasi wajahnya yang tak merasa bersalah sedikit pun. Ia lalu menyodorkan segelas air putih kepada Nayara, berharap ia akan menerima dan meredakan ketegangan yang tercipta. Tapi Nayara yang masih kesal menepis gelas itu begitu saja, dan dengan satu gerakan cepat, air itu tumpah, gelas pun pecah berserakan di lantai.

“Kasar sekali jadi wanita,” ujar Zevian sambil tersenyum kecil, namun ada kilatan kekaguman di matanya. Walaupun Nayara menunjukkan sikap yang keras dan menantang, Zevian menikmati cara wanita itu menolak dan melawan. Baginya, itu justru membuatnya semakin tertarik.

“Saya pergi dulu, sweety. Saya akan pulang cepat. Dan ingat, jangan kemana-mana, kamu mengerti?” kata Zevian, suaranya kali ini lembut namun penuh penekanan, seakan perintah terakhir yang harus diikuti. Tapi Nayara tak memberikan jawaban apapun. Ia hanya diam, matanya menatap punggung Zevian yang mulai bergerak menuju pintu kamar.

"Sweety... memangnya dia siapa," ujar Nayara dengan gerutuan, suaranya serak dan penuh rasa frustrasi. Ia menggelengkan kepala dan menatap punggung Zevian yang menghilang di balik pintu kamar, suara langkah kakinya yang mulai menjauh semakin memudar, namun perasaan kesal di dalam hati Nayara tetap menggebu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!