 
                            Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Pertama
Bel pelajaran terakhir berbunyi, tapi suaranya terasa jauh, teredam oleh deru amarah di dalam kepalaku. Aku tidak membereskan bukuku. Aku tidak peduli dengan tas yang tergeletak di lantai. Prioritasku hanya satu.
Aku langsung menuju ruang UKS.
Ruangan itu berbau antiseptik. Rio terbaring di salah satu ranjang, matanya terpejam. Perban kecil menempel di pelipisnya, tapi aku tahu cederanya lebih dari sekadar luka luar. Dokter sekolah, seorang wanita paruh baya yang tampak lelah, sedang berbicara pelan dengan guru olahraga.
"Gegar otak ringan," aku mendengar dokter itu berkata. "Dia harus diobservasi. Orang tuanya sudah dihubungi."
Gegar otak. Mereka memberinya gegar otak hanya untuk mengirimiku sebuah pesan.
Aku berdiri di ambang pintu, hanya menatap. Rio terlihat pucat di bawah cahaya lampu neon. Teman satu-satunya di dunia ini, terbaring tak sadarkan diri karena aku. Karena siapa aku sebenarnya. Perasaan bersalah menusukku, tajam dan dingin, tapi dengan cepat tergantikan oleh sesuatu yang lebih keras: determinasi.
Ini tidak akan terjadi lagi.
Aku tidak langsung pulang. Aku menunggu. Aku duduk di bangku taman yang menghadap ke tempat parkir, tempat yang memberiku pandangan jelas ke gerbang utama. Aku adalah pemburu yang sabar. Aku bisa menunggu berjam-jam, berhari-hari jika perlu. Tapi aku tahu aku tidak perlu selama itu. Mereka terlalu sombong, terlalu ceroboh.
Benar saja. Sekitar tiga puluh menit kemudian, saat sekolah sudah mulai sepi, aku melihat targetku. Raka. Dia berjalan sendirian, bersiul santai sambil memainkan ponselnya, menuju toilet pria di dekat aula olahraga. Jauh dari gedung utama. Tempat yang sempurna.
Aku berdiri dan mulai berjalan, langkahku tenang dan tidak terburu-buru. Aku tidak ingin menarik perhatian. Aku mengikutinya dari jarak yang aman, setiap gerakanku terukur. Dia masuk ke dalam toilet, dan beberapa detik kemudian, aku menyusul.
Aku mendorong pintu dan langsung menguncinya dari dalam.
Klik.
Suara kecil itu terdengar seperti letusan pistol di dalam ruangan yang sunyi dan bergema.
Raka, yang sedang berdiri di depan wastafel, tersentak kaget. Dia berbalik, dan ekspresi santainya langsung hilang begitu melihatku. Wajahnya mengeras.
"Ngapain lo di sini? Ngunci pintu segala," katanya, mencoba terdengar garang, tapi ada sedikit getar di suaranya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya berjalan pelan ke arahnya.
Lampu neon di atas kami mulai berkedip liar, mengeluarkan suara mendengung yang tidak stabil. Suhu di ruangan terasa anjlok beberapa derajat. Tetesan air dari salah satu keran yang bocor tiba-tiba berhenti total. Keheningan menjadi absolut.
Raka menelan ludah. Matanya bergerak liar dari lampu ke keran, lalu kembali kepadaku. Keberaniannya menguap. "Lo... lo mau apa?"
"Aku mau bicara," kataku, suaraku terdengar datar, tanpa emosi. "Tentang bola basket."
"Itu kecelakaan, sumpah!" sergahnya cepat. "Gue nggak sengaja!"
Aku sudah berada tepat di depannya. Dia lebih tinggi dariku beberapa senti, tapi saat itu, dia tampak seperti menyusut.
"Jangan berbohong padaku," desisku. "Aku merasakan energi Adhitama pada bola itu. Aku tahu itu disengaja."
Wajahnya memucat. "Gue... gue cuma disuruh!"
"Aku tahu," kataku. "Dan karena itu, aku akan memberimu sebuah pesan untuk disampaikan kepada tuanmu."
Sebelum dia sempat bereaksi, aku mengulurkan tanganku—bukan untuk memukul, hanya untuk mencengkeram bagian depan seragamnya. Aku menariknya dan membantingnya ke dinding keramik di belakangnya.
BRAK!
Benturannya cukup keras untuk membuat beberapa ubin retak. Raka terkesiap, napasnya tercekat. Aku tidak menggunakan banyak tenaga. Tidak perlu. Dia menatapku dengan mata terbelalak, dipenuhi teror murni. Dia mencoba mendorongku, tapi lenganku terasa seperti baja. Dia tidak bisa bergerak.
Aku mencondongkan tubuhku, wajahku hanya beberapa inci darinya.
"Ini bukan tentang aku," kataku pelan, setiap kata kuucapkan dengan penekanan yang dingin. "Ini tentang Rio. Kalian menyeret orang yang tidak bersalah ke dalam permainan kalian. Kalian melanggar aturan."
Aku bisa merasakan tubuhnya gemetar.
"Sampaikan ini pada Adhitama, dan pada siapapun yang memberinya perintah," lanjutku. "Jika terjadi sesuatu lagi pada Rio—segores kecil pun—aku tidak akan lagi mengirim pesan. Aku akan datang langsung untuk kalian semua. Paham?"
Dia mengangguk dengan panik, terlalu takut untuk bicara.
"Aku butuh jawaban verbal," kataku.
"Pa-paham," jawabnya terbata-bata.
Aku menatap matanya selama beberapa detik lagi, memastikan pesanku tertanam dalam di benaknya. Lalu, aku melepaskan cengkeramanku. Dia langsung merosot ke lantai, terbatuk-batuk dan gemetar hebat.
Aku berbalik, berjalan ke arah pintu seolah tidak terjadi apa-apa. Lampu berhenti berkedip. Suhu kembali normal. Tetesan air dari keran kembali terdengar.
Aku membuka kunci dan berjalan keluar, meninggalkan Raka yang masih meringkuk ketakutan di lantai toilet.
Aku tidak merasa puas. Aku tidak merasa lega. Aku hanya merasa dingin. Pesan telah dikirim. Bidak catur telah kugerakkan. Dan aku tahu, balasan dari sang raja tidak akan lama lagi.