Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duabelas
Langkahnya terhenti saat suara guru mengintrupsi. Tepat diambang pintu semua siswa-siswi menatap datangan Aletha.
“Istilah tanam paksa?”
Aletha menatap Dewi, wanita paruh baya yang baru saja menggemakan suara pada kelas 11 Fisika satu.
“Cultuurstelsel, salah satu kebijakan kolonial Belanda tahun 1830 sampai 1870, sisten tanam paksa yang mengerahkan masyarakat untuk menanam tanaman yang laku di Eropa, seperti kopi, teh,”
“Cukup, silahkan duduk”
Khalil tersenyum saat yang lain justru melongo karena penjelasan Aletha jauh lebih kongkrit dari penjelasan yang Dewi barusan mulai.
“Lain kali tinggalkan saja tas kamu, supaya Ibu tidak menganggap kamu bolos, Aletha” Dewi kembali duduk ke tempatnya, mencatat absensi yang belum sempat dia lengkapi pada kolom terakhir nama Aletha.
“Tujuan pemerintah kolonil Belanda melaksanakan sistem tanam paksa adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk masuk ke kas negara”
Aletha menatap slide yang berganti lebih cepat dari pembahasan. Itu artinya sudah setengah jalan pelajaran ini dimulai.
“Siapa yang bisa membantu membaca penjelasan tentang aturan tanam paksa?”
Sebelum tangan pria itu terangkat lebih tinggi, Aletha sudah lebih dulu menjadi fokus. Dewi mengembalikan slide setelah tangan gadis itu turun, arah pandang yang stabil bahkan saat penjelasan dilayar menghilang.
“Pemilik tanah wajib menanam 20 persen atau seperlima dari luas tanah yang dimiliki untuk tanaman ekspor, untuk rakyat yang nggak punya tanah harus bekerja 65 hari dalam setahun, jika terjadi kegagalan panen itu tanggung jawab pemerintah,”
Dewi menatap kedua manik dingin yang mengarah padanya. Tatapan kosong yang menjelaskan secara detail, pada materi yang belum pernah diajarkan sebelumnya. Apakah pernyataan Aletha adalah siswi yang jenius adalah bukan gosip belaka?
“Seluruh hasil panen wajib diserahkan pada pemerintah melalui bupati atau pimpinan lokal setempat”
“Ada yang mau menambahkan?”
“Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan pada rakyat”
Dewi kembali membuka slide setelah suara Khalil menutup pernyataan Aletha. Kembali menjelaskan secara lebih detail dari penjelasan kaku Aletha dan tambahan sedikit oleh Khlail.
Pagi menjelang siang ini akan jadi pelajaran sejarah terpanjang sepanjang Dewi mengajar. Tatapan penuh introgasi dari Aletha benar-benar membuatnya tidak nyaman. Dan Aletha menyadari itu. Makannya dia meminta ijin untuk kekamar mandi, walau sebenarnya tujuan utamanya sekarang bukan kesana.
Justru pada lapangan terbuka, tempat terakhir kali dia ijin karena haid hari pertama. Dinding yang penuh grafity, tempat yang jadi latar dari foto yang diambil oleh Revano dan teman-temannya kala itu.
Kepalanya memiring sejenak, kalimat ‘biarkan seni yang berbicara’ terus menggema dipikirannya. Seakan nada suara Revano terrekam jelas walaupun belum pernah dia dengar sebelumnya
—
“Mau mengatakan sesuatu?”
Kalau bicara soal suasana, Dokter Utomo sudah biasa menghadapinya. Bertemu dengan Aletha untuk bertama kalinya adalah kesempatan luar biasa sepanjang hidupnya jadi psikiater. Bukan sesuatu hal yang harus ditakuti atau semacamnya, hanya perlu sedikit belajar, dan sabar.
“Apa sekolah barumu menyenangkan?”
“Dokter sudah bertanya hal yang sama untuk kedua kalinya”
Pria itu tersenyum, “Kamu bukan pengidap ASPD, hanya butuh sedikit lebih terbuka agar kamu punya teman. Athena, kamu bukan pembunuh”
Gadis itu menatap. Dingin dan menusuk, mungkin dua kata itu cukup mendeskripsikan keberadaan Aletha saat ini. Dengan seragam hitam yang menemaninya dari pagi, sampai perjalanannya menuju ‘rumah sakit jiwa’, maksudnya rumah milik Utomo yang sudah dijadikan tempat psikolog pribadi.
“Saya suka dituduh demikian, saya menikmati walaupun membuang banyak waktu berharga saya karena keparat itu menjebloskan saya ke penjara”
“Athena, kejadian itu masih terbayang dipikiran kamu?”
“Buat apa melupakan kenangan manis itu?” Aletha tersenyum miring.
Dokter Utomo menghela napas. Selain kesabaran, jiwa yang lebih gila memang pantas juga untuk menghadapi jiwa gila lainnya. Helaan napas kembali terdengar setelah pria tu menoleh pada jam dinding diruangannya. Senyum yang tidak jauh berbeda dari saat dirinya menyambut kehadiran Aletha dua puluh menit yang lalu.
“Kamu luar biasa, menjalani sesi kali ini tanpa berniat untuk kabur”
Aletha menelan ludah, melirik pada detik jam yang terus berputar. Tumben. Biasanya gadis itu sudah gelisah dan ingin segera melarikan diri dari sesi percakapan tidak penting bersama Dokter Utomo. Kabur lewat jendela kamar mandi, pamit membeli minuman dingin, atau kabur saja saat Dokter Utomo sedang mengangkat telepon.
“Kamu mengalami hari yang berliku akhir-akhir ini, jadi wajar saja kamu kebingungan”
“Saya suka tersesat ditengah hutan, berteman dengan serangga liar atau binatang buas, mereka adalah cinta sejati saya”
“Menurutmu, kenapa kamu suka mengubur kucing mati di siang hari dan membiarkan kecoa menemanimu tidur dimalam harinya?”
Aletha memutar bola mata, benarkah pertanyaan ini termasuk dalam sesi terapinya? Saat Dokter Utomo menganggap gadis itu betah dengan sesinya, justru dia sendiri yang membuat Aletha semakin tidak betah. Dengan pertanyaan-pertanyaan gila yang akan dijawab dengan jawaban gila Aletha.
“Perilakumu tidak mencerminkan penderita ASPD, kamu masih punya empati”
“Saya hanya sedang malas membunuh kecoa itu, lagian dia bisa pergi dari kamarku kapan saja”
Dokter Utomo masih diam, menunggu jawaban selanjutnya mengenai kuncing yang sempat gadis itu kubur tempo hari. Sepertinya, gelar penguntit jauh lebih tepat untuk Utomo, dari pada seorang psikiater yang katanya akan membantu Aletha sembuh dari penyakit mentalnya. Walaupun informasi tidak penting ini dia dapat dari Kasandra, tapi tetap saja dia penguntit.
“Mesin penggiling tidak akan membuat baunya hilang, itu menusuk tulang hidung saya”
Sama-sama merupakan jenis gangguan kepribadian antisosial, namun psikopat cenderung lebih manipulatif, karismatik, dan memiliki kontol diri yang sangat baik dan mampu merencanakan tindak kejahatan dengan detail.
To Be Continue...