"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.
" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.
Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.
Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.
Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maxwel Nasution
1 minggu kemudian..
Hari itu, gedung megah National University of Singapore dipenuhi lautan toga hitam dengan selendang biru yang berbaris rapi.
Seorang laki-laki bertubuh tegap berdiri di antara mereka. Wajahnya tampan, rahangnya tegas, sorot matanya memancarkan rasa haru sekaligus kebanggaan. Di tangannya tergenggam erat map biru berlogo kampus bergengsi itu.
Di kursi undangan, Koh Tion duduk dengan pakaian batik biru yang sederhana namun tetap memberi kesan elegan. Senyumnya tak pernah lepas, penuh kebanggaan melihat putra sulungnya berdiri sejajar dengan orang-orang cerdas dari berbagai negara. Di sampingnya, Willyam, abang Max juga tampak haru. Di pangkuannya ada seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun, anaknya sekaligus cucu pertama Koh Tion, yang sesekali berceloteh tanpa tahu betapa istimewanya hari itu.
Suara pembawa acara tiba-tiba menggema di seluruh aula.
"Master of Business Administration, Maxwel Nasution!"
Tepuk tangan bergemuruh. Max melangkah mantap ke panggung, jantungnya berdebar, namun senyum lebar merekah begitu rektor menyematkan selendang kehormatan ke pundaknya. Cahaya blitz kamera berkilat silih berganti, mengabadikan momen penting itu.
Usai prosesi, Max turun dari panggung dan langsung menghampiri keluarganya.
Tanpa ragu, Koh Tion meraih putranya ke dalam pelukan erat.
"Papah bangga, nak. Selamat ya" ucapnya dengan suara bergetar.
" iya, pah… terima kasih" balas Max, menahan rasa haru.
Begitu pelukan dilepas, Max mengelus pucuk kepala ponakannya yang berada dalam gendongan Willyam.
"Hei, Liam. Lihat, paman sekarang keren kan?" godanya sambil tersenyum.
Max lalu melepas toganya dan dengan iseng meletakkannya di atas kepala si kecil. Tentu saja toga itu kebesaran, sampai-sampai wajah bocah itu tertutup. Gelak tawa pun pecah.
"Uncel… ini besaaal!" protes Liam polos sambil memegangi kain toga dengan kedua tangannya.
"Besar ya? Ya sudah, berarti ini buat uncel aja" Max terkekeh sambil kembali mengambil toga itu.
Mereka kemudian berjalan keluar dari gedung, bergabung dengan kerumunan wisudawan lain yang juga sedang berbahagia bersama keluarga. Di lapangan kampus yang luas, seorang fotografer profesional yang sudah Max sewa berdiri siap mengabadikan momen.
Sesi pemotretan pun dimulai. Dan untuk foto pertama, Max berdiri di samping Koh Tion, ayah yang paling berjasa dalam perjalanan hidupnya dengan senyum penuh syukur.
Setelah sesi foto bersama, Willyam dan istrinya ikut berpose, sementara Liam berpindah ke gendongan Max. Bocah kecil itu tampak nyaman sekali di pelukan pamannya.
Memang sejak dulu Liam lebih akrab dengan Max, karena Max selalu punya cara membuat anak-anak betah di dekatnya. Tak heran, banyak anak kecil menyukai Max yang sabar dan penuh perhatian.
Begitu sesi pemotretan selesai dan seluruh rangkaian acara wisuda usai, mereka pun bergegas menuju mobil. Willyam bersama istri dan anaknya masuk ke satu mobil, sementara Max mengendarai mobilnya bersama Koh Tion.
Mobil melaju meninggalkan area kampus, menyusuri jalanan Singapura yang masih ramai sore itu. Dari speaker mobil, musik santai mengalun pelan, dan Max ikut bersenandung tipis mengikuti irama. Suasana hening sesekali pecah oleh nada lirih suaranya.
"Max,,," suara Koh Tion memanggil, tenang namun tegas.
"Iya, pah?" Max sempat menoleh singkat sebelum kembali fokus ke jalan.
"Setelah ini, kamu punya rencana apa?" tanya Koh Tion, menatap putranya penuh arti.
Max menarik napas sebentar. "Akuu,,mau bangun bisnis, pah."
"Max!" panggilan Koh Tion kali ini lebih tegas, membuat Max mengernyit dan menoleh sekilas.
"Kenapa, pah?" tanyanya.
Koh Tion menatap lurus ke depan. Suaranya pelan tapi sarat harapan.
"Kamu… tolong terusin bisnis papah ya?"
Max terdiam. Dalam hatinya ada sedikit benturan. Ia sebenarnya sudah merintis bisnis furnitur di Singapura, dan usahanya mulai menunjukkan hasil. Perlahan ia menjawab, matanya tetap fokus ke jalan.
"Pah… aku udah punya bisnis di sini."
"Max…" nada suara Koh Tion melembut tapi penuh penekanan. "Papah sekarang sudah tua. Papah pengen santai, gak mau terus-terusan ngurusin bisnis."
"Ya kan papah bisa cari karyawan lagi buat bantuin" ucap Max, mencoba memberi jalan keluar.
Tapi Koh Tion menggeleng pelan. "Masalah keuangan, papah gak bisa sembarangan percaya sama orang lain. Tolonglah, nak. Kamu yang teruskan bisnis papah di kampung."
Ia menoleh, menatap Max dengan penuh keyakinan.
"Papah percaya, dengan kemampuanmu… bisnis itu bukan cuma bisa bertahan, tapi berkembang pesat. Kamu anak yang cerdas, punya jiwa bisnis yang kuat. Papah yakin, suatu hari nanti bisnis itu bisa punya banyak cabang, bukan cuma di Indonesia, bahkan sampai luar negeri."
Max kembali terdiam. Ada rasa bimbang di hatinya, antara usaha yang sudah ia bangun sendiri dan harapan besar seorang ayah. Ujung-ujungnya, ia hanya menghela napas pelan.
"Aku,,,pikir-pikir dulu ya, pah."
Koh Tion tak menuntut jawaban lebih. Ia hanya menepuk pundak putranya dengan senyum kecil, seolah percaya pada waktu yang akan memberi keputusan terbaik.
Mobil Willy perlahan memasuki area parkir sebuah restoran bernuansa Tionghoa. Max mengikuti di belakang dan memarkirkan mobilnya tak jauh dari sana. Mereka turun hampir bersamaan, lalu berjalan menuju pintu restoran.
Max sengaja memilih ruang VIP di rooftop. pemandangan laut Singapura terhampar indah, angin sore bertiup lembut menerpa wajah mereka. Koh Tion duduk di samping Max, sementara Willy bersama istri dan anaknya duduk berhadapan.
Sambil menunggu pesanan datang, Max sibuk memainkan ponselnya. Ia berniat mengunggah momen kelulusan ke story media sosial. Namun matanya mendadak tertumbuk pada sebuah notifikasi,
Mita_aja mulai mengikuti anda balik.
Kening Max berkerut, lalu jemarinya dengan refleks mengetuk akun itu. Lima postingan muncul. Max mendengus geli, matanya tertahan di salah satu foto Mita berseragam honorer sambil membentuk love dengan tangannya. Captionnya seperti tulisan mamak-mamak fb pro
[Assalamualaikum semua.. apa kabar?]
Max nyaris ngakak. "Alay banget kamu, Mita" gumamnya pelan, bibirnya menahan tawa.
Dari seberang meja, Willy yang memperhatikan gelagat adiknya langsung mengangkat alis. "Kenapa lo, Max? Cekikikan sendiri begitu."
Max buru-buru menggeleng, wajahnya dibuat-buat serius. "Enggak apa-apa… ehem."
Willy menyeringai penuh curiga. "Pasti lagi chattingan sama pacar, kan?"
"Apasih, Bang… sotoy banget!" Max melotot.
Koh Tion yang dari tadi diam ikut nimbrung, menatap anak bungsunya. "Kamu sudah punya pacar, Max? Kalau ada, kenalin lah ke Papah"
Max mendesah pelan, tangannya refleks mengusap tengkuk. "Ya Tuhan, enggak ada, Pah… Aku masih betah sendiri."
Koh Tion menggeleng tak percaya. "Kamu ini, umur udah 27. Wajah ganteng gitu, masa iya enggak ada yang suka?"
Max tersenyum miring, nada suaranya dibuat sedikit sombong. "Yang suka banyak, Pahhh,,Tapi yang aku suka, enggak ada."
"Hah? Masa iya, dari kecil sampai sebesar ini kamu nggak pernah suka sama siapa pun? Kamu masih normal kan, Max?" canda Koh Tion sambil pura-pura menepuk-nepuk lengan kekar anak bungsunya itu.
"Astaga, Pah…" Max menghela napas panjang, lalu menegakkan badan dengan wajah serius tapi dibumbui senyum miring. "Aku sehat walafiat, stamina juga kuat,,,laki banget malah. Cuma ya itu, aku belum ketemu tipe cewek yang bener-bener bikin aku jatuh hati."
Koh Tion mengangguk, meski matanya masih sempat menyipit penuh curiga. Tapi sebelum Max sempat menambahkan alasan lain, hidangan demi hidangan mulai berdatangan. Meja VIP di rooftop itu kini dipenuhi aroma sedap. Hot pot mengepul, daging sapi segar siap dipanggang, kepiting Alaska yang menggoda, sampai aneka masakan khas Tionghoa lainnya.
Uap dari hot pot menari di udara, dan Max sibuk memanggang daging sambil sesekali meniup panasnya. Di sisi lain Liam, si kecil yang cerewet itu mulutnya nggak kalah sibuk.
"Mamii… Iyamm mau itu!" tunjuknya polos pada sepiring salad sayur.
"Mau sayur, Nak?" tanya istrinya Willy, perempuan cantik berambut lurus sebahu. Liam mengangguk cepat, dan sang ibu dengan sabar menyuapkan potongan sayur ke mulut anaknya.
Wajah Liam langsung berbinar. "Enyak, Mah!" serunya riang dengan logat cadelnya.
Koh Tion ikut gemas, ia lalu mengangkat sepotong kepiting Alaska dengan sumpit. "Liam mau ini nggak, Nak?"
“Mau opa!” jawab Liam antusias, sampai matanya berbinar makin lebar.
Koh Tion terkekeh, berdiri sedikit dan menyuapkan daging kepiting ke mulut cucunya. Liam mengunyah sambil manggut-manggut puas, membuat semua yang ada di meja ikut tertawa kecil.
Suasana sore itu terasa begitu hangat. Angin rooftop berhembus lembut, berpadu dengan cahaya matahari senja yang keemasan. Tawa, obrolan ringan, dan aroma masakan memenuhi udara.
Max diam-diam merasakan sesuatu di dadanya, sebuah kehangatan yang jarang ia akui. Walau ibunya sudah tiada sejak ia berusia setahun, Koh Tion tidak pernah mengurangi cinta dan perhatiannya. Bagi Max, sang ayah adalah panutan sekaligus idolanya.
Dan dalam hati, ia berjanji kelak bila sudah punya istri dan anak, ia ingin menjadi suami yang bertanggung jawab, juga ayah yang selalu memberikan cinta sebesar yang ia terima selama ini.
____
Jangan lupa like dan komen...
Tunggu bab selanjutnya yaaa🥰