Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Pertemuan Setelah Dosa
Di koridor sempit dek staf yang remang-remang, udara terasa pengap dan berat. Bau oli dan garam laut menempel di dinding yang lembab. Lampu neon berkedip pelan, menebar cahaya dingin yang memperjelas betapa muramnya tempat itu.
Shannara duduk di ranjang susunnya, memegangi selembar kertas yang sudah kusut di tangannya surat pengunduran diri. Matanya kosong, tatapannya menembus karat di dinding seolah mencari ujung penderitaan yang tak pernah datang. Ia hanya cangkang manusia yang kehilangan jiwa. Satu-satunya yang tersisa darinya hanyalah napas yang masih menolak berhenti.
Ia menunggu.
Menunggu kapal merapat.
Menunggu kebebasan yang terasa sama hampa dengan kurungan ini.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Bukan langkah Bayu yang kasar, melainkan langkah formal, tergesa-gesa, dan disertai aura otoritas yang asing di koridor itu.
Tok. Tok.
Ketukan di pintu itu singkat, tegas, dan menuntut.
Ketukan di pintu itu singkat, tegas, dan menuntut.
Nara tersentak. Jantungnya langsung berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya. Ia tahu. Itu bukan Bayu. Itu pasti seseorang dari manajemen. Atau lebih buruk...
"Shannara Althea. Saya tahu Anda di dalam. Buka pintunya."
Suara itu. Dalam dan familiar. Suara yang baru saja menghantui setiap mimpinya yang kejam. Suara yang terakhir kali ia dengar tiga hari lalu, diucapkan di antara isakan dan cengkeraman.
Sergio.
Seluruh tubuh Nara membeku. Ia tidak bergerak. Ia menahan napas, berharap pria itu akan menyerah dan pergi.
"Shannara. Jangan mempersulit dirimu. Aku tidak ingin menimbulkan keributan. Saya harus bicara. Ini penting." Suara Sergio kini terdengar lebih mendesak, hampir frustrasi.
Nara bangkit, rasa sakit menusuk di setiap memar di tubuhnya. Ia berjalan pelan, kakinya terasa seperti timah, menuju pintu. Tangannya gemetar saat meraih kenop. Ia tahu, melarikan diri sudah tidak mungkin. Keputusannya untuk menanggung kebohongan Risa harus ia jalankan sekarang.
Pintu terbuka.
Sergio berdiri di ambang pintu, tampak rapi dan berkuasa dalam setelan mahalnya, namun matanya memancarkan kegelisahan dan rasa bersalah yang menusuk.
Pandangan mereka bertemu.
Mata Sergio langsung terpaku pada Nara: wajahnya yang pucat, matanya yang sembab karena kurang tidur dan menangis, dan yang paling mencolok bekas kebiruan samar di pangkal lehernya yang coba ia tutupi dengan kerah kemeja seragam pelayannya yang kusut. Ia melihat tangan Nara yang menggenggam erat kertas, menampilkan memar hitam di pergelangan tangannya.
Darah serasa mengering di wajah Sergio. Itu benar-benar dia. Bukan Risa yang wajahnya bersih tanpa luka. Ini adalah bukti bisu dari kebrutalan malam itu yang ia yakini telah ia lakukan pada orang yang salah.
"Nara..." gumam Sergio, suaranya tercekat. Nama yang pernah ia ucapkan penuh cinta, kini diucapkan dengan rasa bersalah yang menghancurkan.
Nara menelan ludah, air matanya sudah kering, menyisakan tatapan kosong dan pasrah. Ia harus mengikuti naskah yang Bayu ancamkan.
"Tuan Sergio," katanya, suaranya lemah dan dipaksakan. Ia tidak berani menatap mata pria itu. "Anda... kenapa Anda di sini?"
"Aku datang untuk mencari tahu kebenarannya, Nara. Aku tahu Risa yang menemuiku. Dia bilang dia hanya membantumu. Dia bilang kamu... kamu terlalu panik dan malu. Apakah itu benar?"
Nara memaksa dirinya mengangguk. Kepala serasa berat. "Ya, Tuan. Risa ... dia tidak bohong. Saya panik. Saya ... saya salah masuk kamar. Saya mabuk, Tuan. Saya tidak sadar. Dan ketika saya tahu apa yang terjadi ... saya sangat malu. Saya tidak mau ada yang tahu. Saya yang minta Risa ... meminta kompensasi itu agar saya bisa diam dan melupakan semuanya."
Kata-kata itu terasa pahit, menjijikkan, dan memuakkan saat keluar dari bibirnya. Ia baru saja mengubah dirinya dari korban menjadi pemeras di mata Sergio.
Sergio menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, tetapi bukan karena marah, melainkan karena bingung. "Mabuk? Kamu yang mabuk?"
"Ya, Tuan," Nara menjawab cepat. "Saya yang ... tidak tahu diri. Saya yang mencoba mendekati Anda. Saya..." Ia berhenti, tidak sanggup melanjutkan kebohongan menjijikkan itu. Wanita murahan. Penggoda. Pemeras.
Namun, Sergio tidak terlihat lega dengan pengakuan itu. Justru sebaliknya, matanya menunjukkan keresahan yang makin dalam.
"Tidak, Nara. Kamu tidak mabuk. Dan aku tahu kamu tidak 'mencoba mendekatiku'," Sergio melangkah maju, tangannya terangkat seolah ingin menyentuh, tetapi ia menahan diri. "Risa dan Bayu datang padaku. Mereka mengarang cerita itu. Tapi ada yang janggal. Aku tahu mereka berbohong. Dan kini, kamu mengulanginya. Kenapa, Nara? Kenapa kamu melindungi mereka? Mengapa kamu mengambil alih aib ini?"
Nara tersentak.
Bagaimana Sergio bisa tahu? Apakah Bayu dan Risa tidak becus? Atau Sergio ... apakah dia melihat sesuatu di mata Nara?
"Saya ... saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan," Nara tergagap. Ia harus berpegangan pada cerita yang sudah ia sepakati. "Mereka tidak berbohong. Hanya ... saya terlalu malu."
"Malu?" Sergio menggeleng. Ekspresi jijik yang tersembunyi kini terpancar di wajahnya. Jijik pada dirinya sendiri, bukan pada Nara. "Aku yang seharusnya malu! Aku ingat malam itu, Nara. Aku ingat sentuhanku. Aku ingat cengkeramanku! Aku ingat bagaimana aku menyakitimu!"
Ia menunjuk memar di pergelangan tangan Nara. "Aku tahu bukan Risa yang memilikinya. Aku tahu itu kamu. Dan aku tahu kamu tidak akan pernah memeras siapapun. Aku kenal kamu, Nara."
Nara menunduk, air mata yang tadi kering kini menggenang lagi. Ia tidak menyangka Sergio akan mengingat detail sekelam itu. Ia tidak menyangka Sergio akan 'mengenalinya'.
"Aku tidak butuh uangmu, Tuan," bisik Nara, melanggar naskah yang Bayu berikan. "Ambil kembali. Saya hanya ingin pergi. Saya ingin semua ini berakhir."
"Itu tidak akan berakhir, Nara!" Suara Sergio meninggi. Ia meraih bahu Nara, menahannya dengan lembut tapi tegas. "Kenapa kamu berbohong untuk mereka? Aku sudah tahu Bayu punya rekaman CCTV. Apakah dia mengancammu? Apakah dia mengancam akan menyebarkan aib ini jika kamu tidak melindungi Risa?"
Nara membeku. Semua pertahanannya runtuh di hadapan pertanyaan telanjang itu. Ia tidak bisa lagi menahannya. Ia melihat masa lalunya, kehancurannya, dan masa depan suramnya berputar di depan matanya.
"Ya!" seru Nara, air mata mengalir deras. Ia membiarkan kejujuran yang pahit keluar. "Ya! Mereka menjebak saya! Mereka pakai saya! Dan Bayu... dia bilang dia akan menghancurkan saya dengan CCTV itu. Dia bilang dia akan bilang saya anak dari wanita... pekerja malam. Dia bilang saya akan dicap memeras dan perselingkuhan. Dia akan menghancurkan semua yang sudah saya bangun!"
Nara terisak, melepaskan surat pengunduran diri yang jatuh ke lantai. "Saya tidak punya pilihan. Saya harus melindungi diri saya sendiri. Saya harus mengambil alih semua aib mereka!"
Sergio mendengarnya dalam keheningan yang panjang dan mematikan. Ia melihat kerapuhan di mata Nara, yang kini bukan lagi korban pemerkosaan, melainkan korban manipulasi yang lebih kejam.
Wajah Sergio mengeras. Tidak ada lagi rasa bersalah murni, kini yang ada adalah amarah yang dingin dan perhitungan.
"Mereka tidak hanya meracuniku, Nara," desisnya, suaranya penuh dendam. "Mereka juga menggunakanmu sebagai umpan. Dan kini, mereka mengancammu. Mereka salah. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi."
Sergio melepaskan Nara. Ia mengambil ponsel dari sakunya, matanya berkilat tajam.
"Davin," kata Sergio, suaranya tenang, tetapi suasananya seperti badai yang baru datang. "Blokir semua akses data dan media sosial Bayu Hartono. Siapkan tim legal. Aku ingin Bayu dan Risa ditahan saat kapal bersandar. Tuntut mereka atas penipuan, pemerasan, dan ancaman. Dan pastikan semua bukti CCTV Bayu disita. Sekarang!"
Nara menatap Sergio, matanya melebar karena terkejut. Ia tidak menyangka kejujurannya akan memicu perang.
"Tunggu, Sergio— Ah maksud saya ... tuan Sergio! Jangan!" Nara meraih lengannya. "Kalau anda melakukan itu, ceritanya akan bocor. Aku ... aku akan tetap hancur. Semua orang akan tahu."
Sergio menoleh padanya, tatapannya dingin dan meyakinkan. "Tidak, Nara. Kamu tidak akan hancur. Aku yang akan membereskan ini. Kali ini, aku akan melindungimu. Kamu tidak sendirian."