NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:295
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jangan Paksa Dirimu

Hujan baru saja reda ketika Rizal pulang dari perusahaannya. Udara Jakarta sore itu masih menyisakan bau tanah basah dan aroma bensin dari kendaraan yang lalu lalang. Lalu matanya menangkap sosok yang membuat langkahnya otomatis terhenti.

Yuna.

Gadis itu tengah berjalan pelan di trotoar, mengenakan dress lembut yang jatuh anggun di lutut, sepatu flat hitam sederhana, dan rambutnya dikuncir rendah. Di tangannya tergenggam erat serangkai bunga lily putih, terbungkus rapi dengan kertas cokelat gading. Wajahnya terlihat lelah namun penuh tekad.

Tanpa pikir panjang, Rizal segera menyalakan mesin mobilnya dan mengikuti gadis itu dari kejauhan, lalu menepikan mobil tak jauh dari tempatnya berhenti.

"Yuna!" Panggilnya, membuka jendela.

Gadis itu tampak kaget. Ia berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Antara heran, enggan, dan mungkin sedikit malu.

"Pak Rizal?" Gumamnya pelan.

"Aku lihat kamu dari mobil.” Ucap Rizal sambil keluar dari kendaraan.

"Kamu mau ke mana? Itu… bunganya?"

Yuna menatap bunga di tangannya sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan lirih.

"Saya mau ke makam Mamieh."

Rizal mendekat, berusaha tak membuatnya merasa terpojok.

"Biar saya antar."

“Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri.”

"Saya nggak bisa tenang tahu kamu jalan sendirian bawa bunga segar di trotoar seperti ini. Naiklah, saya serius."

"Terima kasih, tapi saya..."

“Yuna...” Rizal menyela dengan nada yang lebih dalam.

“Izinkan saya. Bukan sebagai atasanmu. Tapi… sebagai seseorang yang ingin memastikan kamu sampai dengan baik.”

Yuna terdiam, menimbang. Ada keraguan yang terlihat jelas dari caranya menggigit bibir bawah, dari sorot mata yang menelanjangi luka semalam dan tekanan pagi ini. Tapi akhirnya ia mengangguk, pelan.

“Baiklah.”

*****

Perjalanan menuju makam berlangsung dalam keheningan. Di tengah deru jalanan yang mulai ramai, hanya suara AC mobil yang terdengar lembut.

Rizal mencuri pandang beberapa kali. Yuna duduk tenang di sebelahnya, namun kedua tangannya menggenggam bunga itu erat, seolah menjadi satu-satunya pegangan dunia yang stabil baginya saat ini.

“Kamu nggak masuk kantor hari ini.” Ucap Rizal membuka percakapan.

“Saya pikir kamu sakit.”

Yuna tersenyum tipis.

“Anggap saja begitu, Pak.”

“Kalau karena canggung dengan..."

“Bukan karena Bapak.” Potong Yuna cepat.

“Bukan.”

Rizal menatapnya sejenak, kemudian kembali memfokuskan pandangannya ke jalan. Tapi hatinya terasa mencelos. Bukan karena dia? Tapi kenapa tetap ada jarak yang terasa membeku di antara mereka?

Mereka tiba di pemakaman sekitar dua puluh menit kemudian. Tanah masih becek dari sisa hujan, aroma dupa dari makam lain tercium samar. Yuna turun dengan tenang, dan Rizal mengikutinya tanpa berkata apa-apa.

Di bawah pohon kamboja tua, Yuna berlutut. Di depannya, batu nisan bertuliskan nama Mira Pitaloka, tahun kelahiran dan tahun wafat tertera di sana.

Rizal berdiri sedikit di belakang, menghormati keheningan yang Yuna ciptakan.

“Mami sangat menyukai bunga lily putih.” Ucap Yuna tanpa menoleh.

“Katanya, bunga ini melambangkan kemurnian niat. Dan ketenangan.”

Ia meletakkan buket bunga di atas nisan, lalu menyentuh permukaannya sejenak, seolah menghapus debu yang tak terlihat.

“Beliau meninggal waktu saya masih kuliah semester dua. Jatuh sakit mendadak. Satu-satunya alasan saya bisa bertahan waktu itu adalah karena saya janji di depan makamnya, saya akan jadi perempuan mandiri dan kuat.”

Rizal menunduk, ikut merasakan duka yang disuarakan dengan tenang itu.

“Saya kira saya sudah kuat, Pak. Tapi ternyata… belum cukup.”

Rizal mendekat satu langkah.

“Semua orang berproses, Yuna. Kekuatan nggak diukur dari berapa banyak luka yang bisa ditahan, tapi dari keberanian kita bangkit setelah dijatuhkan.”

“Kata-kata Bapak… mengingatkan saya pada seseorang.” Yuna tersenyum kecil.

“Siapa?” Tanya Rizal, pelan.

Yuna menatap ke kejauhan.

“Guru olahraga saya dulu.”

 “Beliau sangat hebat, ya?” Rizal tertawa lirih.

“Dulu dia pergi tiba-tiba. Berhenti mengajar karena katanya ingin membantu keluarganya. Saya nggak tahu kabarnya lagi. Mungkin dia sudah menikah.”

Rizal menelan ludah. Sekujur tubuhnya terasa membeku. Ia tahu, ini bukan saat yang tepat untuk mengungkap kebenaran, tapi hatinya ingin bicara.

“Saya belum menikah.”

Yuna menoleh, meski hatinya berdebar. Tapi dia tetap membatasi dirinya, terlebih dia akan segera menikah karena keputusan ayahnya tidak akan pernah bisa dia lawan.

“Ternyata saya yang akan menikah lebih dulu.” Ucap Yuna dengan sengaja, agar dia tak lagi berharap pada laki-laki yang pernah di cintainya.

Yuna kembali memandangi batu nisan ibunya, kali ini dengan lebih tenang. Sebagian dari beban yang menghimpit dadanya sejak pagi perlahan luruh bersama hembusan angin yang lembap. Rizal berdiri diam di sampingnya, menjaga jarak, tapi hatinya bergejolak.

Pernyataan Yuna sebelumnya, bahwa ia akan menikah, menyambar pikirannya seperti petir di langit cerah.

Menikah.

Kata itu mengendap dalam dadanya, menyisakan getir yang tak ia mengerti. Ia memang tidak pernah mengaku secara terbuka, tapi dalam diam, perasaannya pada Yuna tumbuh. Sejak awal, sejak pertemuan kembali mereka yang begitu tak terduga. Sejak hari-hari ketika ia mendapati dirinya menanti sapaan singkat darinya di kantor.

Tapi sekarang…

Perempuan itu akan menjadi milik orang lain.

"Dia... pria yang baik?" Rizal akhirnya bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.

Yuna menoleh perlahan, mengernyit bingung.

"Maaf?"

Rizal menatap lurus ke depan, berusaha bersikap tenang.

"Calon suamimu. Orangnya baik?"

Yuna terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke depan.

"Saya belum tahu, Pak. Bahkan… saya belum pernah bertemu langsung dengannya. Saat pertemuan tadi pun, dia nggak dateng."

Ia mengembuskan napas berat, menatap bunga yang baru ia letakkan.

"Itu perjodohan pilihan Papi. Saya diminta menikah dengan pria yang katanya mapan dan… pantas untuk masa depan saya."

Rizal membeku.

Belum pernah bertemu?

"Jadi… kamu belum tahu siapa dia?"

Yuna mengangguk pelan.

"Iya. Baru akan dikenalkan dalam pertemuan tadi, tapi dia nggak dateng. Katanya dia anak kenalan lama papi dan sudah cukup umur untuk berkeluarga. Saya nggak tahu banyak tentang dia, tapi semalam saya nggak sengaja dengar kakak saya ngobrol... mereka bilang pria itu bukan orang yang baik. Banyak gosip buruk tentangnya. Saya nggak tahu harus percaya yang mana."

Hati Rizal terasa ditusuk.

Tapi Yuna tak tahu.

Yuna di jodohkan dengan laki-laki yang sama sekali belum pernah dia temui, begitu juga dengan Rizal. Ibunya sibuk mencarikannya jodoh bahkan sampai menyewa biro jodoh.

Dunia seolah mempermainkan mereka.

"Kalau kamu nggak yakin." Ucap Rizal lirih.

“Jangan paksa dirimu." Imbuhnya.

Yuna menoleh.

"Kadang saya merasa hidup saya bukan milik saya sendiri, Pak. Seperti pion dalam permainan orang-orang dewasa yang selalu merasa paling tahu apa yang terbaik. Padahal saya cuma ingin hidup tenang, kerja dengan baik, punya keluarga kecil yang bisa saya sayangi tanpa takut disakiti."

Pasalnya, dia trauma dengan yang namanya pernikahan. Ayahnya menikah lagi dengan Sania disaat kuburan sang ibu yang tananya bahkan belum sepenuhnya kering.

Rizal menahan napas.

"Itu bukan harapan yang berlebihan, Yuna. Kamu berhak mendapatkannya. Dari orang yang benar-benar menghargai kamu."

Tatapan mereka bertemu sesaat. Hening. Tapi dalam keheningan itu, ada kerinduan yang belum sempat diberi nama. Ada luka yang belum sempat disembuhkan. Dan ada jarak, yang entah siapa yang akan berani melangkah lebih dulu untuk memperkecilnya.

Yuna tersenyum kecil.

"Terima kasih sudah mengantar, Pak."

Rizal membalas senyuman itu, namun dadanya terasa kosong.

"Selalu, Yuna. Kapan pun kamu butuh."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!