NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:856
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH

Hari-hari pertama Amara sebagai istri keluarga Atmadja terasa seperti berjalan di atas bara. Rumah besar itu megah, pelayan ramah, makanan berlimpah—tetapi semua dingin. Tidak ada senyum tulus, tidak ada sapaan hangat. Semua mata memandangnya dengan dua rasa: ingin tahu dan meremehkan.

Pagi itu, ia turun ke ruang makan besar. Meja panjang dipenuhi hidangan lengkap: sup ayam, roti panggang, buah segar. Namun kursi-kursi kosong membuat ruangan terasa sunyi. Saat ia hendak duduk, suara langkah tumit terdengar.

Meylani masuk, anggun dengan gaun satin biru. Senyumnya tipis, tatapannya tajam. “Oh, sudah bangun rupanya. Kukira pengantin baru biasanya begadang.”

Amara terdiam. Ia tahu ucapan itu bukan basa-basi.

Meylani menuang kopi ke cangkir, lalu duduk di ujung meja. “Nikmati rumah ini selagi bisa, Amara. Banyak yang masuk ke keluarga besar ini, tapi tidak semuanya bertahan lama. Aku sudah lihat lebih dari satu yang akhirnya tersingkir.”

Kata-kata itu membuat sendok di tangan Amara gemetar. Ia memilih menghirup supnya tanpa balasan.

Tak lama, Selvia muncul. Rambutnya masih basah habis mandi, wajahnya segar, tapi matanya menusuk. Ia tidak menyapa Amara, hanya duduk di kursi sebelah Meylani.

“Papa mana?” tanya Selvia singkat.

“Sudah ke kantor,” jawab Meylani. “Seperti biasa, sibuk. Sekarang rumah ini punya ratu baru.” Ia melirik Amara sambil tersenyum sinis.

Selvia menatap Amara penuh benci. “Dia bukan ratu. Dia perusak. Dia merampas ayahku sekaligus sahabatku.”

Amara menunduk, menahan air mata yang ingin pecah. “Selvia, aku tidak pernah berniat seperti itu.”

“Diam!” Selvia menepuk meja. “Aku tidak ingin mendengar alasanmu. Mulai sekarang, jangan berani-berani bicara padaku seolah kita masih sahabat. Kau hanya orang asing yang kebetulan tinggal di sini.”

Hening membeku. Pelayan pura-pura sibuk, tak berani menoleh. Amara merasakan tubuhnya kaku. Ia ingin berdiri dan pergi, tapi kedua kakinya terasa berat.

Hari-hari berikutnya tidak lebih baik. Setiap langkahnya di rumah besar itu diikuti bisikan. Pelayan berbisik di dapur, sepupu-sepupu keluarga Atmadja yang datang berkunjung menatapnya dari ujung kepala sampai kaki, lalu tertawa kecil.

Suatu siang, ia lewat di koridor dan mendengar dua pelayan bergumam.

“Cantik sih, tapi kasihan. Jadi istri karena utang keluarga.”

“Paling sebentar lagi ditinggalkan. Bagas kan dingin, tidak pernah tahan lama dengan siapa pun.”

Amara menahan napas, lalu berjalan cepat. Di kamarnya, ia menutup pintu dan menekan wajah ke bantal. Hatinya sakit, tapi ia bertekad tidak akan menangis di depan mereka.

Suatu sore, Bagas pulang lebih awal. Amara sedang duduk di ruang tamu membaca buku ketika ia masuk.

“Kau tampak lelah,” kata Bagas, meletakkan jas di sofa.

Amara mendongak. “Aku baik-baik saja.”

“Jangan bohong,” suaranya datar. “Aku tahu mereka tidak menerimamu. Meylani, Selvia, bahkan pelayan.”

Amara menggertakkan gigi. “Kalau kau tahu, kenapa kau biarkan?”

Bagas duduk di kursi seberang. “Karena aku ingin melihat bagaimana kau bertahan.”

“Bertahan?” Amara hampir tertawa getir. “Aku bukan prajuritmu, Bagas. Aku manusia. Aku punya hati. Aku kehilangan sahabatku, aku dijadikan bahan gosip, aku dihina di rumah ini, dan kau hanya duduk menonton.”

Bagas menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau kau bisa melewati semua ini, kau akan lebih kuat dari siapa pun di rumah ini. Dan saat itu, tidak ada yang bisa menjatuhkanmu.”

Amara menatapnya dengan mata basah. “Kau tidak tahu rasanya jadi aku.”

“Aku juga tidak tahu rasanya jadi kau,” jawab Bagas. “Tapi aku tahu rasanya jadi orang yang semua orang ingin jatuhkan. Kau hanya perlu belajar satu hal: jangan pernah menunjukkan kelemahan di depan mereka.”

Amara terdiam. Kata-kata itu dingin, tapi entah kenapa ada sedikit kebenaran di dalamnya.

Malam itu, Amara berjalan di taman belakang rumah. Lampu taman menyinari jalan setapak, aroma melati mengisi udara. Di bangku kayu dekat kolam, Selvia duduk sendirian.

Amara ragu, tapi akhirnya mendekat. “Sel…”

Selvia langsung bangkit, wajahnya keras. “Jangan panggil aku begitu. Kau tidak berhak.”

“Dengarkan aku sebentar. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku tidak mencari ini semua. Aku hanya mencoba menyelamatkan keluargaku.”

Selvia tertawa pahit. “Menyelamatkan keluargamu dengan menghancurkan keluargaku? Kau pikir alasan itu cukup? Kau pikir aku akan percaya?”

Air mata Amara jatuh. “Aku masih sahabatmu, Selvia. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah membencimu.”

Selvia menatapnya lama, lalu menggeleng. “Sahabat tidak akan pernah tidur di ranjang ayah sahabatnya sendiri. Ingat itu, Amara. Kau sudah mati bagiku.”

Ia pergi, meninggalkan Amara sendirian di taman, hancur oleh kata-kata itu.

Keesokan paginya, surat kabar memuat foto-foto pernikahan mereka. Headline berbunyi: Cinta atau Kontrak? Pernikahan Kilat Bagas Atmadja dengan Mahasiswi Miskin Jadi Sorotan.

Amara menatap koran itu di meja makan. Tangannya bergetar. Ia merasa dunia menertawakan dirinya.

Bagas masuk, meraih koran, lalu merobek halaman depan tanpa ekspresi. “Jangan pedulikan mereka.”

“Bagaimana aku bisa tidak peduli? Semua orang membicarakanku. Di kampus, di luar, bahkan di rumah ini. Aku sendirian, Bagas!”

Bagas menatapnya tajam. “Kau bukan sendirian. Kau istriku. Dan kalau mereka menyakitimu, mereka juga menantangku.”

Ada ketegasan di suaranya yang membuat Amara terpaku. Untuk sesaat, ia melihat sekilas sisi Bagas yang lain—bukan hanya dingin, tapi juga pelindung. Namun perasaan itu cepat hilang, tertutup oleh kenyataan pahit.

Malam harinya, Amara kembali ke balkon kamarnya. Angin dingin meniup rambutnya. Ia menatap kota yang berkilau di kejauhan.

Hidupnya berubah total. Ia kehilangan sahabat, dibenci banyak orang, tapi ia juga menemukan kekuatan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.

Di dalam hatinya, tumbuh tekad kecil: ia tidak akan menyerah. Kalau semua orang ingin menjatuhkannya, ia akan membuktikan bahwa dirinya pantas bertahan.

Pernikahan ini mungkin dimulai sebagai perjanjian. Tapi ia akan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih besar: jalannya untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya.

Dan di balik semua rasa sakit, ada bisikan samar: mungkin suatu hari, Bagas akan melihatnya bukan hanya sebagai solusi… tetapi sebagai pilihan.

Keesokan harinya, keluarga besar Atmadja mengadakan makan malam khusus. Amara dipanggil ikut serta. Meja panjang penuh makanan mahal, piring berlapis emas, lilin kristal di tengah. Semua orang berpakaian rapi, suasana tampak anggun, tetapi di balik senyum ada duri.

Meylani duduk di samping seorang bibi tua dari pihak Bagas. Dengan suara cukup keras agar semua mendengar, ia berkata, “Lucu sekali, ya. Keluarga sebesar ini, akhirnya punya menantu baru yang… bahkan belum lulus kuliah. Betapa murahnya standar sekarang.”

Beberapa orang tertawa kecil. Amara menunduk, menggenggam sendok erat-erat. Pipinya panas, tapi ia menahan diri.

Bibi tua itu melirik Amara. “Kau kuliah jurusan apa?”

“Desain, Bu,” jawab Amara pelan.

“Desain? Hm… menarik. Tidak ada hubungannya dengan bisnis keluarga ini. Semoga saja kau tidak jadi beban.”

Kali ini, Bagas yang angkat bicara. Suaranya datar tapi tajam. “Amara tidak perlu membuktikan apa pun malam ini. Cukup duduk di sini sudah membuktikan bahwa dia bagian keluarga ini.”

Hening seketika. Meylani pura-pura tersenyum, lalu mengalihkan topik. Tapi Amara merasakan satu hal: untuk pertama kalinya, Bagas membelanya di depan semua orang.

Esok harinya di kampus, gosip masih tidak berhenti. Kali ini dosen pun ikut menyindir.

“Saudari Amara,” kata seorang dosen saat ia terlambat masuk kelas, “rupanya jadi istri konglomerat membuatmu lupa aturan akademik?”

Seluruh kelas tertawa kecil. Amara menahan napas, lalu menjawab dengan suara jernih, “Mohon maaf, Pak. Saya tidak lupa. Saya hanya manusia yang masih belajar menyesuaikan diri.”

Dosen itu terdiam, mungkin tidak menyangka Amara berani bicara. Seisi kelas hening beberapa detik sebelum kegiatan belajar berlanjut.

Saat keluar kelas, Amara melihat Davin menunggu. “Kau masih sanggup?” tanyanya.

Amara menatap lurus ke depan. “Aku harus sanggup. Aku tidak akan memberi siapa pun alasan untuk merendahkanku lagi.”

Davin mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap cemas.

Malamnya, di rumah besar, Amara mendapati Bagas masih bekerja di ruang kerjanya. Kertas-kertas berserakan di meja, laptop menyala.

“Masih sibuk?” tanya Amara ragu.

Bagas mendongak. “Selalu.” Ia mengamati wajah Amara sejenak. “Hari ini berat?”

Amara menarik napas. “Ya. Tapi aku belajar satu hal: semakin aku diam, semakin mereka menginjak. Jadi aku tidak akan diam lagi.”

Ada kilatan singkat di mata Bagas, entah kagum atau sekadar pengakuan. Ia menutup laptopnya. “Itu yang harus kau lakukan. Jangan biarkan mereka menulis ceritamu. Kau yang menulis sendiri.”

Amara menatapnya, hatinya bergetar oleh kata-kata itu. Untuk sesaat, ia melihat Bagas bukan hanya lelaki dingin yang memaksanya menikah, tapi juga seseorang yang mungkin bisa mengajarinya cara bertahan di dunia yang keras.

Namun sebelum ia bisa menjawab, suara Meylani terdengar dari luar. “Bagas, semua orang sudah pulang. Mengapa kau masih repot dengan gadis itu?”

Bagas tidak menoleh. “Karena dia istriku.”

Jawaban itu sederhana, tapi menembus dada Amara lebih dalam dari yang ia kira.

Malam itu, Amara kembali ke kamarnya dengan hati campur aduk. Ia sadar pernikahannya bukan dongeng, melainkan medan perang. Tapi setidaknya, untuk pertama kali, ia tahu ia tidak sepenuhnya sendirian.

Ia menatap cermin, lalu berkata pada dirinya sendiri dengan suara lirih, “Aku tidak akan kalah. Jika mereka ingin menjatuhkanku, aku akan berdiri lebih tinggi.”

Dan dengan itu, sebuah tekad baru lahir: ia akan menjadikan rumah penuh musuh ini sebagai panggung untuk membuktikan siapa dirinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!