Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba Di Kota Tianhe
Setelah selesai makan, Cuyo mengangkat kepalanya dari mangkuk, lalu meletakkan sumpit perlahan di atas meja.
“Hao’er, kita berangkat sekarang menuju Kota Tianhe,” ucapnya sambil menatap ke luar jendela, seakan matanya bisa menembus dinding dan melihat jalan panjang yang menanti.
Xu Hao segera berdiri, membersihkan sisa makanan dari bibirnya, lalu mengikuti langkah Cuyo keluar dari restoran. Udara segar pagi mulai menghangat, langit biru dihiasi awan putih tipis yang melayang pelan. Jalanan kota masih cukup ramai, namun setiap langkah mereka terasa ringan, seakan terbebas dari hiruk pikuk dunia fana.
Mereka berjalan hingga keluar dari gerbang kota. Dari kejauhan, pepohonan hijau rimbun menyambut seperti penjaga kuno yang sudah ada sejak ribuan tahun. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi dedaunan segar menguar dari hutan di depan. Begitu sampai di tepi hutan, Cuyo menghentikan langkahnya.
Dengan gerakan santai namun mengandung kekuatan, ia mengangkat tangan dan mengetuk cincin di jarinya. Cahaya perak memancar, lalu dari pusaran cahaya itu muncullah sebuah pedang panjang berkilau, bilahnya memantulkan cahaya matahari dengan kilatan tajam. Ukiran naga melingkar di pangkal bilah, seolah naga itu hidup dan siap terbang ke langit.
Pedang itu ia letakkan di tanah dengan hati-hati, ujungnya tidak pernah menyentuh lumpur meski diletakkan di permukaan. Xu Hao menatapnya dengan heran. “Kenapa paman membuang pedang itu? Sayang sekali, pedang ini kelihatannya sangat bagus.”
Cuyo tertawa kecil, suara tawanya dalam dan hangat. “Pedang ini bukan untuk dibuang, Hao’er. Kita akan menggunakannya untuk terbang menuju Kota Tianhe. Jauh lebih cepat daripada berjalan kaki.”
Mata Xu Hao membelalak, napasnya tercekat. “Jadi… jadi kita akan terbang, paman?”
“Tentu saja, Hao’er.” Cuyo melangkah ke samping pedang itu dan menepuk bilahnya ringan. “Berdirilah di atas badan pedang. Paman akan memegangimu dari belakang.”
Dengan hati berdebar, Xu Hao mengangguk. Ia menginjakkan kaki ke permukaan pedang. Anehnya, meski bilah itu tampak tipis, kakinya tidak tergelincir, melainkan seperti berpijak di tanah kokoh.
Cuyo lalu berdiri di belakangnya, kedua tangannya menepuk ringan pundak Xu Hao. “Sudah siap untuk terbang?”
“Siap, paman.” jawab Xu Hao.
Pedang itu mulai bergetar pelan, lalu perlahan-lahan terangkat dari tanah. Udara di sekitar mereka berputar lembut, dedaunan di bawah bergoyang. Xu Hao menatap ke bawah dengan rasa takjub. Semakin tinggi mereka naik, pemandangan berubah menjadi lautan hijau pepohonan, jalan setapak di hutan menjadi garis tipis seperti benang.
“Paman, ini… ini hebat sekali!” seru Xu Hao sambil tersenyum lebar.
Cuyo tersenyum tipis. “Ini belum seberapa, Hao’er.”
Dengan sentuhan ringan pada pedang, tubuh mereka meluncur lebih tinggi. Angin menerpa wajah Xu Hao, membawa aroma tanah, bunga liar, dan embun pagi. Xu Hao merentangkan tangannya, membiarkan angin menampar kulitnya. Rasanya seperti mimpi yang selama ini tak pernah ia bayangkan.
“Apa kau senang, Hao’er?” tanya Cuyo sambil melirik dari belakang.
“Aku senang sekali paman. Ini… ini seperti mimpi,” jawab Xu Hao sambil tertawa kecil.
Cuyo tertawa pelan, lalu mengelus rambut Xu Hao. “Syukurlah kau senang, Hao’er. Nanti paman akan mengajarimu cara menggunakan pedang terbang ini.”
Namun senyum Xu Hao sedikit meredup. “Paman, aku tidak memiliki bakat kultivasi. Bahkan aku tidak bisa mengeluarkan Qi.”
Cuyo terdiam sejenak, lalu pandangannya melembut. “Jika Hao’er ingin berkultivasi, paman akan mencari cara agar kau bisa. Tidak peduli sesulit apa pun jalannya.”
Mata Xu Hao membesar, hatinya dipenuhi harapan. “Benarkah, paman?”
“Tentu saja,” jawab Cuyo sambil tertawa ringan. “Tapi janji pada paman, jika kau berhasil berkultivasi, jangan pernah bermalas-malasan berlatih.”
“Aku janji, paman. Aku akan berlatih setiap hari agar tidak mengecewakan paman.”
“Bagus. Semangat seperti itu yang paman suka.”
Xu Hao tersenyum cerah. “Terima kasih, paman.”
“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Cuyo. “Sekarang bersiaplah, kita akan mempercepat terbangnya.”
Xu Hao menegakkan tubuhnya. “Baiklah, paman. Ayo percepat!”
Cuyo menekankan sedikit kekuatan pada pedang. Bilahnya bergetar, mengeluarkan dengungan tajam seperti nyanyian naga. Dalam sekejap, mereka melesat menembus udara. Awan-awan putih tersibak, dan di kejauhan, garis samar dinding kota Tianhe mulai terlihat di bawah sinar matahari pagi.
Perjalanan di atas pedang terbang memakan waktu cukup panjang. Angin yang menerpa dari segala arah mulai membawa aroma baru, bukan lagi hanya wangi hutan dan tanah basah, melainkan bau asap dapur, aroma rempah, dan samar-samar bau logam dari pandai besi yang bekerja di kejauhan.
Dari ketinggian, cakrawala perlahan menyingkap pemandangan megah. Di tengah dataran luas, sebuah kota raksasa berdiri kokoh. Dindingnya menjulang tinggi, terbuat dari batu abu-abu pekat yang seakan sudah menghadapi seribu musim tanpa runtuh. Bendera-bendera besar dengan lambang naga berwarna emas berkibar gagah di setiap menara pengawas.
Cuyo menunjuk ke arah depan, suaranya tenang namun penuh makna. “Itu gerbang Kota Tianhe, Hao’er. Mulai sekarang, kota itu akan menjadi rumahmu.”
Mata Xu Hao berbinar, tak mampu menyembunyikan rasa kagumnya. “Kota itu… sangat besar, paman. Di kota sebesar itu, di mana aku akan tinggal?”
Cuyo menoleh, menatap anak muda itu dengan tatapan hangat. Ia mengulurkan tangan, mengelus rambut Xu Hao yang tertiup angin. “Tentu saja kau akan tinggal di tempat tinggal paman.”
“Dimana paman tinggal?” Xu Hao bertanya lagi, suaranya dipenuhi rasa penasaran.
“Nanti Hao’er juga akan tahu,” jawab Cuyo sambil tersenyum tipis. “Bersiaplah, kita akan turun.”
Xu Hao mengangguk. Pedang terbang itu mulai menukik perlahan, menembus awan tipis. Dari atas, gerbang kota terlihat semakin jelas. Pintu gerbang itu terbuat dari kayu hitam yang diperkuat dengan lapisan logam, tingginya setara dengan tiga rumah tingkat. Ukiran naga raksasa menghiasi kedua sisi pintu, matanya seolah memandang setiap orang yang masuk, menguji niat mereka.
Begitu mereka mendarat tidak jauh dari gerbang, tanah terasa mantap di bawah kaki. Cuyo menyimpan pedang terbangnya kembali ke cincin penyimpanan, lalu menatap Xu Hao. “Ayo, Hao’er. Kita masuk ke kota.”
Xu Hao mengangguk dan mengikuti langkah paman.
Dua prajurit berjubah perak dengan lambang Klan He di dada berdiri tegak di sisi gerbang. Wajah mereka keras, tubuh mereka berotot, dan setiap gerakannya memancarkan disiplin. Begitu melihat Cuyo, kedua prajurit itu segera menunduk dalam-dalam.
“Patriark Cuyo,” ucap mereka serentak dengan suara hormat, namun tidak berani berbicara lebih banyak.
Tanpa memperlambat langkah, Cuyo melangkah masuk bersama Xu Hao. Begitu melewati gerbang, dunia seolah berubah. Jalan utama terbentang lebar, cukup untuk dilewati sepuluh gerobak besar berdampingan. Lantai jalannya tersusun dari batu-batu persegi yang dipoles halus, berkilau di bawah cahaya matahari.
Di kanan kiri, deretan bangunan tinggi berdiri, sebagian besar berupa toko dan rumah makan. Bau sup panas, roti panggang, dan daging bakar bercampur menjadi satu, memenuhi udara. Pedagang berteriak menawarkan barang dagangan, anak-anak berlarian sambil membawa permen, sementara kereta kuda lewat membawa muatan penuh.
Xu Hao memandang ke kanan dan kiri, matanya tak berhenti bergerak. Segala sesuatu terasa begitu baru dan menakjubkan. Ia melihat pedagang obat tradisional dengan rak penuh botol giok, pandai besi yang memalu pedang hingga memercikkan api, dan bahkan seorang pengamen tua yang memainkan seruling bambu di tepi jalan.
Cuyo melirik ke arah Xu Hao. “Apa kau ingin berbelanja camilan, Hao’er?”
Xu Hao menggeleng cepat. “Tidak perlu, paman.”
“Kalau begitu, kita langsung menuju rumah paman.”
Mereka berjalan santai, namun langkah Cuyo penuh wibawa. Orang-orang yang lewat sering menoleh, sebagian bahkan membungkuk sedikit ketika tatapan mereka bertemu dengan pria itu. Jalan utama terus membentang hingga mencapai sebuah perempatan besar. Cuyo lalu berbelok ke arah kanan.
Jalan di sisi kanan ini tidak kalah megah, namun suasananya sedikit berbeda. Jika jalan utama dipenuhi teriakan pedagang dan hiruk pikuk perdagangan, jalan ini lebih tenang, meski tetap ramai. Bangunan di sini tampak lebih mewah, dengan dinding tinggi dan pintu gerbang besar. Di beberapa tempat, terlihat lambang-lambang keluarga bangsawan yang diukir di atas pintu.
Setelah berjalan beberapa saat, Cuyo akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang megah. Pintu kayunya terbuat dari kayu merah tua, dihiasi ukiran naga dan burung phoenix yang seolah hidup. Di atasnya tergantung papan hitam besar dengan tulisan “Klan He” berwarna emas yang berkilau memantulkan sinar matahari.
Cuyo menoleh ke Xu Hao, senyumnya tenang. “Hao’er, kita sudah sampai di kediaman paman.”
Di balik gerbang itu, halaman luas dan bangunan bergaya paviliun menanti.