"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam Pertama
"Akhirnya keluar juga," gumam Rada pelan, nyaris tanpa suara, begitu melihat pintu rumah di hadapannya terbuka.
Langkah Indira perlahan menuruni anak tangga teras rumah dengan gerakan yang tenang. Bahkan terlalu tenang. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Blus warna lilac membalut tubuhnya, tampak kontras dengan sorot mata yang dingin dan wajah datar tanpa ekspresi.
Akan tetapi, justru itulah yang membuat Rada tak bisa mengalihkan pandang. Ia terpaku, seolah melihat sesuatu yang selama ini benar-benar dirindu.
Rada buru-buru turun dari mobilnya. Ia bergegas membuka pintu depan dan berdiri sambil mempersilakan.
"Silakan, Dira," ucapnya, berusaha terdengar santai. Padahal jantungnya berdebar tidak karuan.
Indira menatap sang mantan sekilas sebelum masuk ke dalam mobil tanpa banyak komentar.
Bau parfum yang lembut langsung memenuhi kabin. Rada kembali ke tempatnya di balik kemudi. Ia segera menyalakan mesin, lalu melajukan mobil perlahan keluar dari pekarangan.
Perjalanan menuju restoran berlangsung dalam keheningan. Sesekali Rada melirik ke samping, berusaha mencuri pandang ke arah wanita yang kini resmi menjadi calon istrinya itu. Namun, Indira tetap menatap ke depan, seolah tak peduli siapa yang duduk di sebelahnya.
Rada menghela napas. "Gak apa-apa. Kamu gak boleh nyerah, Rada!" tekadnya dalam hati, menyemangati diri sendiri.
Setibanya di restoran yang terletak di pusat kota, seorang pelayan menyambut mereka dengan ramah dan mengantar ke meja yang sudah Rada pesan sebelumnya. Meja yang terletak di pojok dekat jendela dengan pemandangan taman kecil berhiaskan lampu-lampu temaram, menjadi pilihan Rada untuk makan malam pertama dengan sang mantan setelah lama tak berjumpa.
Alunan musik akustik dari panggung kecil di pojok ruangan membuat suasana jadi terkesan romantis. Penyanyi membawakan lagu cinta lama yang seharusnya bisa membuat malam itu terasa hangat. Namun, tidak bagi Indira.
Ia duduk dengan tenang, menyantap makan malamnya dengan anggun tapi dingin. Tatapan matanya kosong, seolah sedang menghitung detik untuk segera pulang.
Rada mencoba mencairkan suasana dengan candaan ringan, atau pertanyaan acak seputar masa putih abu-abu mereka.
"Kamu masih inget si Jojo gak, Dir?"
Suapan Indira terhenti. Ia menatap pada Rada sebentar, lalu mengangguk pelan.
"Dia udah punya anak 3! Gak tanggung-tanggung, kan? Ternyata gak lama dari lulus SMA waktu itu, dia langsung nikah. Menurutku terlalu kecepatan, sih. Menurut kamu gimana, Dir?"
"Terserah dia, sih." Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Indira disertai ekspresi datar. Membuat Rada mulai merasa tak nyaman.
Pikiran pria tampan yang masih mengenakan setelan kantor itu jadi terbang ke mana-mana. Benaknya bertanya, apakah Indira dipaksa menerimanya atas permintaan kedua orang tua? Jika iya, maka Rada tak bisa membiarkan wanita itu merasa tersiksa hidup bersamanya kelak.
Setelah beberapa lama terdiam, akhirnya Rada mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk bertanya, "Kamu terima aku bukan karena terpaksa, kan?"
Pertanyaan itu terdengar pelan, tapi cukup jelas untuk masuk ke telinga Indira di tengah musik lembut yang mengalun.
Wanita berbulu mata lentik itu sejenak menghentikan makannya. Ia mengambil tisu dan mengelap sudut bibir dengan gerakan pelan, lalu mendongak.
"Menurut kamu, apa mungkin aku terima kamu cuma-cuma?" tanyanya balik, tajam tapi tenang.
Rada terdiam. Lidahnya seketika terasa kelu.
"Aku gak bisa batalin pernikahan karena gak mau keluargaku malu. Bukan karena bener-bener mau sama kamu," lanjut Indira tanpa ragu.
"Tapi kamu gak dipaksa sama orang tuamu buat terima aku, kan?" tanya Rada ragu.
Akan tetapi, wanita di depannya justru merespon dengan anggukan kepala. "Aku udah cukup dewasa buat bikin keputusan sendiri."
Syukurlah. Setidaknya kini Rada tahu jika jawaban yang tadi ia dengar memang keinginan Indira. Ya ... meski masih dengan terpaksa.
Tak apa. Rada akan menganggap semua ini sebagai langkah awal agar ia bisa kembali merebut hati seorang Indira Ayudhia.
"Aku yakin suatu saat bisa taklukin hati kamu lagi, Dira," gumamnya dalam hati.
***
Selesai makan malam, Rada tak langsung mengantar Indira pulang seperti dugaan wanita itu. Alih-alih berbelok ke arah jalan raya utama, mobil mereka justru melaju lebih jauh ke pusat kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu pertokoan.
Indira menoleh dengan tatapan bingung. "Kita mau ke mana?”
"Ke mall. Kita belanja buat mahar sama seserahan."
"Apa?" Seketika wanita itu menegakkan punggungnya. "Sekarang?"
"Hem. Sekarang."
"Tapi, Rad ... aku capek. Masih bisa besok atau lusa, kan? Sekarang pulang, ya ...." Sungguh ia ingin segera merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk dan bermimpi indah di sana. Berharap saat terbangun nanti, hidupnya tak memiliki masalah seperti saat sebelum memutuskan menikah dengan Adnan.
"Gak bisa," tolak Rada sambil tersenyum. "Waktu kita udah sempit. Kamu sendiri yang bilang gak mau bikin keluarga malu, kan? Jadi ya... kita harus siapin semuanya dari sekarang biar gak ada kekurangan."
Spontan Indira mendengus pelan. "Dasar nyebelin! Banyak alasan!" ketusnya sembari membuang pandangan ke luar jendela.
Rada terkekeh. "Emang gitu kenyataanya, Dir. Cuma dalam hitungan hari lagi kita akan nikah. Udah gak ada waktu buat tunda-tunda persiapan."
Sungguh Indira ingin menyangkal. Namun, tak bisa sebab apa yang dikatakan Rada memang benar.
Setelah beberapa detik hening, akhirnya wanita cantik itu menyerah. Ia menyandarkan kepala ke kursi mobil sembari menatap Rada malas. "Tapi jangan lama-lama, ya."
"Siap, Calon Istri."
"Dih!"
***
Suasana di pusat perbelanjaan cukup ramai, tapi tidak padat. Suhu ruangan yang sejuk langsung menyambut keduanya ketika melangkah masuk.
Toko perhiasan menjadi tujuan pertama Rada. Ia membiarkan Indira memilih dengan leluasa. Satu set perhiasan—anting, kalung, dan cincin berwarna rose gold akhirnya menjadi pilihan untuk dijadikan mahar.
Ya ... meskipun tadi wanita itu sempat menolak mati-matian.
"Aku gak mau! Aku bukan cewek lebay yang suka barang-barang kayak gitu!" tolak Indira beberapa saat lalu.
"Ini bukan masalah suka atau enggak, Dira Sayang. Tapi buat mahar."
"Ya ... tetep aja gak mau!"
Huft!
Sepertinya Rada benar-benar harus lebih meluaskan kesabaran.
"Okey. Kalau gak mau perhiasan, maunya apa? Barang lain? Uang?"
Diam. Indira sendiri bingung ingin meminta mahar apa pada Rada. Wajar, mereka, kan, memang tidak berencana menikah sebelumnya.
"Hm, mau apa?" tanya Rada lagi.
Kali ini Indira pasrah. Ia mengangguk saja dan mulai memilih satu set perhiasan yang ada dalam etalase toko.
Selesai dengan urusan mahar, mereka berpindah ke butik pakaian wanita, toko kosmetik, tas, dan perlengkapan lainnya untuk seserahan. Indira tampak lebih tenang, meski tetap tak banyak bicara. Ia memilih barang seperlunya dengan tempo cepat, seolah memang tidak niat. Tak seperti kebanyakan calon pengantin yang penuh semangat menyambut prosesi besar dalam hidup mereka.
Akan tetapi, Rada tak tersinggung sama sekali. Ia tetap sabar menemani sang mantan yang kini sudah menjadi calon istrinya itu. Rada tahu, kini hatinya sedang berhadapan dengan dinding yang sudah lama membatu.
"Udah beres semua, kan? Ayo, pulang!" ajak Indira setelah semua barangnya dibayar oleh Rada. Namun, pria itu malah menggeleng, membuat Indira mengerutkan dahi.
"Masih ada satu tempat lagi," kata Rada sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.
"Lagi?"
"Hm. Toko aksesoris," jawabnya cepat. "Barangkali kamu perlu sesuatu yang ada di sana," ucapnya yang segera menarik lembut tangan Indira.
Sontak wanita cantik itu membolakan mata, menatap tangannya yang kini digenggam Rada. "Ck! Berani banget dia pegang tangan aku!" gerutunya dalam hati.
Tiba di gerai aksesoris yang dipenuhi warna-warna pastel dan rak-rak kecil yang tersusun rapi, Indira langsung berjalan pelan menyusuri lorong. Matanya hanya sekilas melirik barang-barang yang dipajang. Ia tampak bosan, tapi tidak protes. Sementara Rada mengikutinya dari belakang.
Hingga tiba-tiba langkah Indira terhenti di depan sebuah rak alat tulis kecil yang tak terlalu mencolok. Ia terdiam dengan tatapan yang tertuju pada sebuah binder mungil berwarna biru pudar. Sangat mirip dengan binder miliknya yang merupakan pemberian Rada saat mereka masih duduk di bangku SMA.
Rada yang menyadari keterpakuan Indira pun ikut mendekat pelan. Ia menatap barang yang menjadi pusat perhatian wanita itu sambil tersenyum kecil. Lantas berbisik, "Kamu masih simpan binder itu, Dir?"
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'