Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diamnya Asha
Beberapa Hari Setelah Malam Itu
Ramadhan terus berjalan menuju ujungnya. Namun bagi Asha, hari-hari setelah malam itu terasa semakin sempit. Sejak kejadian dimana ustadz Alam memberitahu nya bahwa ustadz Alam meminta izin kepada orangtuanya untuk mengkhitbahnya, Asha benar-benar menarik diri. Ia tak lagi terlihat duduk bercengkerama dengan Naira dan Rayna, bahkan untuk sekadar sarapan bersama pun ia selalu punya alasan untuk pergi lebih dulu.
Besoknya Asha langsung menelepon kedua orangtuanya untuk tak menerima perilaku baik dari ustadz Alam, dan segera tolak lamaran tersebut dengan alasan bahwa Asha masih berencana untuk melanjutkan kuliah. Ia ingat saat dirinya menangis meminta sang ayah untuk menolak lamaran ustadz Alam, karena dirinya tidak ingin dipinang oleh seorang duda yang seumuran dengan ayahnya.
Flashback
"Assalamualaikum bu, ayah ada?" tanya Asha saat panggilan terhubung.
"Wa'alaikumsalam, ada Sha. Sebentar ibu panggil dulu," balas ibunya.
Asha menunggu cukup lama, kemudian terdengar suara deruan nafas sang ayah di seberang. Asha segera menarik nafas dalam, sebelum berbicara dengan ayahnya.
"Ada apa Sha?" tanya sang ayah padanya.
"Ayah, Asha belum siap nikah." jawab Asha to the point.
Kedua orangtuanya bingung, secara tiba-tiba Asha menelepon mereka, kemudian mengatakan hal tersebut, keduanya saling menatap satu sama lain.
"Tolong tolak lamaran ustadz Alam, siapapun itu ynag dateng kerumah dengan tujuan mau Minang Asha, tolong ditolak dulu, Asha mau kuliah dulu, makasih." terang Asha.
Sebelum keduanya menjawab perkataan Asha, terdengar Asha yang mengucap salam untuk menutup panggilan tersebut. Dan hal itu membuat kedua orangtuanya berfikir bahwa Asha memang belum ingin menikah.
Flashback off
Setelah panggilan dengan orangtuanya saat itu, Asha tak pernah lagi menelepon kedua orangtuanya. Entah karena kecewa keduanya tak membahas apapun perihal ustadz Alam yang datang kerumahnya, atau karena memang Asha sibuk. Wajah Asha kini nyaris tanpa ekspresi, hanya menyisakan bayang-bayang kelelahan yang terus menempel di matanya. Ia masih hadir dalam setiap rapat, masih memberi usulan dengan tenang dan terstruktur, tapi setelahnya ia akan segera pergi, seolah rapat hanyalah satu-satunya ruang di mana ia mengizinkan dirinya untuk bicara.
Naira dan Rayna awalnya mencoba bertanya, mencoba merangkulnya seperti biasa. Namun Asha hanya menanggapi singkat dan kaku, membuat keduanya akhirnya mengerti bahwa Asha sedang membangun tembok yang bahkan mereka pun tak bisa tembus. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Asha, mereka hanya tahu bahwa Asha menangis setelah kembali dari kantor ustadz Alam.
Sementara itu, Ustadz Alam tak pernah berhenti mencoba mengganggu Asha. Ia mencari-cari alasan untuk mendekati Asha. Mengirim pesan, menitip salam melalui santri, bahkan pura-pura memanggil Asha hanya untuk bertanya hal yang sepele. Tapi Asha tak pernah memberi celah lagi, Asha yang ramah pada siapapun, yang selalu segan pada siapapun, kini berbeda dari Asha yang mereka kenal.
Setiap kali melihat ustadz Alam datang, Asha akan segera memutar arah. Bila tak memungkinkan untuk menghindar, ia akan menunduk dan hanya menjawab seperlunya dengan sikap yang jelas menolak kedekatan. Ia tidak lagi peduli apakah sikap itu akan membuatnya tampak kasar dan tidak sopan di mata orang lain. Bagi Asha, menjaga dirinya jauh lebih penting daripada menjaga citra di mata mereka yang tak tahu apa-apa.
Sementara disisi lain ada Nael yang masih seperti malam itu. Tak pernah mengungkapkan apa pun, tapi matanya tak bisa bohong. Setiap kali Asha melintas, tatapannya akan mengikuti, namun tak berani menyapa. Ia sadar ia terlambat, sadar bahwa diamnya selama ini telah membiarkan orang lain melangkah lebih dulu. Tapi perasaan itu belum mati, dan ia belum sanggup menguburnya.
Dan yang paling menyadari hal itu adalah Ustadz Alam. Ia tak suka melihat tatapan itu, tatapan penuh makna dari Nael, yang hanya tertuju pada satu sosok yaitu Asha. Tatapan yang seolah berkata bahwa hati Asha bukan untuk siapa pun selain dirinya. Dan itu cukup untuk membuat dada Ustadz Alam menghangat oleh rasa tidak terima.
"Ingin bersaing, tapi gak punya kemampuan, cih!" gumamnya setiap melihat tatapan Nael pada Asha.
Dalam setiap rapat, setiap pertemuan di mana Asha dan Nael hadir, Ustadz Alam selalu memperhatikan mereka dengan tajam mencari celah, menebak-nebak, lalu menyusun rencana untuk kembali membuat Asha seolah tunduk padanya.
Namun satu hal yang tak ia sadari adalah, Asha bukan lagi gadis yang bisa ditekan dengan otoritas. Ia sedang belajar menjadi perempuan yang tahu haknya, dan tahu bagaimana menjaganya. Di balik diamnya yang sekarang, ada rencana besar ustadz Alam yang sudah ia hancurkan, yaitu ingin memperistrinya.
Dan kini, ia tak ingin siapa pun mengatur pilihannya, apalagi mencuri masa depannya hanya karena merasa paling berhak.
Rapat Evaluasi Menjelang ******Penutupan****** Pesantren kilat
Sore itu, ruangan aula kecil dipenuhi para asatidz dan asatidzah, sebuah agenda rapat besar menjelang penutupan program pesantren kilat. Semua duduk saling berhadapan, dan sebuah meja panjang yang menjadi pembatas diantara mereka. Tak lupa beberapa kertas dan laptop mengisi meja, berdesakan dengan camilan ringan dan buah-buahan. Asha duduk di sisi paling ujung, seperti biasa ia hanya diam dan tak banyak bicara, kecuali jika benar-benar perlu.
Ustadz Alam memimpin rapat dengan suara lantang, terlihat percaya diri seperti biasanya. Semua mata fokus memperhatikannya, khawatir mereka telat mencatat apa yang disampaikan beliau.
"Baik, jadi kita sepakat ya, lusa anak-anak kita bawa ke lapangan untuk kegiatan kemah. Biar mereka lebih rileks, setelah itu, malamnya kita adakan buka bersama dan pembagian hadiah."
Beberapa pengajar mengangguk setuju, sebagian lainnya hanya diam. Namun Asha angkat tangan perlahan, membuat beberapa mata langsung tertuju padanya.
"Afwan ustadz, saya mohon izin untuk beri masukan," ucapnya dengan tenang.
Ustadz Alam mengangguk, "Silahkan ustadzah Asha."
"Kalau boleh saya usul, kegiatan kemah itu mungkin lebih baik kita adakan di luar bulan Ramadhan. Sementara sekarang ini kita sudah di penghujung program, anak-anak juga sedang difokuskan ibadah, hafalan, dan persiapan khataman. Mengalihkan fokus mereka sekarang, mungkin bisa mengganggu ritme yang sudah kita bentuk selama hampir sebulan." usulnya, kemudian kembali fokus menatap layar laptop karena ustadz Alam yang tak mengalihkan pandangannya.
Suasana hening beberapa detik. Naira dan Rayna saling lirik dengan bangga namun tak berani menyela. Ustadz Nael menatap Asha lekat-lekat, nyaris tak berkedip.
"Gimana maksudnya ustadzah?" tanya salah satu pengajar ikhwan.
"Saya usul supaya kegiatan lapangan diganti sama buka bersama, atau malam penghargaan yang lebih sederhana tapi bermakna. Fokus ke spiritual, bukan euforia. Karena kalo berkemah, selain harus mengeluarkan biaya tambahan, saya khawatir para pengajar kecapean." jawab Asha.
"Apalagi bagi pengajar yang ingin mudik jauh bertemu keluarga, itu sangat menguras tenaga," sambungnya menjelaskan maksud dari usulannya tadi.
Beberapa ustadzah terlihat mengangguk setuju. Ustadz Fahmi kemudian berseru, "Wah setuju banget tuh. Anak-anak udah pada semangat banget mau khatam Qur’an bareng."
Semua tertawa kecil, kecuali ustadz Alam yang tampak tidak ikut tertawa. Pandangannya tajam ke arah Asha, tapi Asha tak peduli. Ia menatap lurus ke depan, tidak bermaksud untuk menyombongkan diri, hanya berusaha agar pria tua itu tidak lagi seenaknya padanya, ataupun orang lain.
"Baik, nanti kita bicarakan ulang lagi formatnya, kita tutup sampai disini dulu rapat kita hari ini." ujar Ustadz Alam singkat, menahan nada kecewa.
Setelah rapat usai, ustadz Alam lebih dulu berpamitan, sebelumnya beliau memberitahu ketiga pengajar perempuan yang lajang, dan 5 pengajar pria untuk ikut bersamanya nanti malam setelah melaksanakan sholat tarawih.
"Lagi lagi kegiatan diluar job," gerutu Rayna yang diangguki oleh semua.
Akhirnya para pengajar mulai keluar dari ruangan, sebagian masih membahas ide Asha tadi. Di sudut tangga, Naira mendekatinya pelan-pelan.
"Sha, makasih ya... akhirnya ada juga yang berani nyuarain isi kepala kita dari tadi," gumam Naira sambil menggenggam lengannya.
Asha hanya mengangguk kecil, ia juga merasa puas dengan sikapnya tadi. Melihat Asha yang mulai bisa diajak bicara, Naira pun segera memanfaatkan waktu agar Asha mau mengatakan keresahan yang Ada di hatinya.
"Udah mau cerita belum? Aku penasaran kamu kenapa beberapa hari ini," tanya Naira pada Asha.
Asha tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya pelan, kemudian berlalu lebih dulu. Di kejauhan, ia kembali berpapasan dengan Ustadz Alam. Refleks, ia menunduk dan segera membelok ke arah berbeda. Ustadz Alam sempat melirik ke arah Nael, yang juga berjalan di dekat sana. Tatapan mereka sempat bertemu, ada perang diam yang terasa di udara.
Nael menatap Asha yang menjauh, lalu mendekat ke Fahmi dan Dafa yang berdiri di dekat papan pengumuman.
"Masih dipendem aja perasaan nya?" goda Fahmi.
Nael menghela nafas panjang, kemudian menatap punggung Asha yang sudah semakin menjauh.
"Ane sempet ketemu sama orangtuanya di kantor kemarin siang," ucap Nael sendu.
"Trus gimana? Udah ngomong apa belum?" seru Fahmi semangat.
Nael mengangguk pelan, kemudian menghela nafas berat, membuat Fahmi dan Dafa merasa muak.
"Tarik nafas mulu elah! Buruan gimana kelanjutannya? Jangan kebanyakan narik nafas!" ujar Dafa yang kesal.
"Matilah ane kalo gak narik nafas!" balas Nael dengan tawanya.
"Yeuuu gorila satu ini malah ngelawak!" sahut Fahmi yang juga ikutan kesal.
"Buruan apa kata orangtuanya?" desak Dafa tak sabaran.
"Maaf ya nak sebelumnya, Asha titip pesan sama kami supaya kami gak nerima lamaran ikhwan manapun sebelum Asha lanjut belajar dan lulus," ucap Nael menirukan cara berbicara ibu Asha.
"Trus antum jawab apa?" rasa penasaran Fahmi sudah berada di ubun-ubun.
"Ane jawab 'Kira-kira kalo saya tunggu sampai Asha selesai masa pendidikannya gimana bu?'"
"Trus ibunya cuman ngasih jawaban begini," Nael memperlihatkan gaya ibu Asha saat dirinya mengatakan hal tersebut.
"CUMAN NYIPITIN MATA? YANG BENER AJA NAEL, JADI JAWABAN PASTINYA APAAN?" tanya Fahmi emosi saat ia melihat Nael yang memperagakan ekspresi ibu Asha, yaitu memberikan senyuman saja.
Disclaimer matanya ibu Asha sipit, jadi kemungkinan respon Fahmi begitu karena Nael peragainnya sampe merem.
"Gak tau," jawab Nael asal.
Fahmi dan Dafa membuang nafas kesal, pria didepannya ini memang harus banyak belajar seputar cinta, agar tak kecuri start lagi oleh bapak tua bangka itu.
"Lagian untuk saat ini juga gak mungkin ambil hatinya Asha, dia udah makin jauh dan sulit digapai," kata Nael pada kedua temannya.
"Bukan makin jauh, Nael," jawab Dafa. "Dia cuma lagi nyari tempat dimana dia bisa jadi dirinya sendiri, sementara sekarang segala sesuatunya diatur sama Bapak ketua kita." sambung Dafa.
Nael hanya mengangguk, ia mengerti apa yang diucapkan oleh Dafa. Untuk saat ini mungkin ia harus membiarkan Asha dengan dirinya yang sekarang, jika memang harus berbicara, alangkah baiknya tunggu sampai mereka tidak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.