Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Akhirnya kita lulus
Aula besar Crystal Heights International School hari itu dipenuhi senyum, bunga, dan kamera. Pita-pita warna emas dan putih menggantung rapi di langit-langit, menghiasi ruangan dengan nuansa elegan dan hangat. Hari ini adalah hari perpisahan, momen yang ditunggu dan ditakuti sekaligus.
Di barisan kursi depan, para orang tua duduk dengan pakaian rapi. Di antara mereka, duduk pasangan suami istri dengan gaya yang sangat terpandang. Siapa lagi kalau bukan Papa dan Mama Achazia. Sementara itu di sisi lain aula, Elvareon duduk di kursi siswa bersama Kaivan. Jas hitam pinjaman yang ia kenakan sedikit kebesaran, namun ia tetap duduk tegak, sesekali menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
Achazia duduk di tengah barisan murid perempuan. Gaun putih sederhana namun anggun melambai di lututnya, rambutnya disanggul setengah, dan senyumnya tipis. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Elvareon. Tapi ia tak menoleh. Tak berani.
"Achaza, apakah kamu gugup?" bisik Brianna, yang duduk di sampingnya.
Achazia tersenyum canggung. "Sedikit."
Brianna menoleh ke arah orang tua di barisan depan. "Papa kamu kan ada di sana. Elvareon juga. Kamu takut mereka saling tahu?"
Achazia hanya mengangguk pelan.
Acara dimulai dengan sambutan kepala sekolah. Lalu satu demi satu guru naik ke podium memberi pidato pendek dan harapan-harapan masa depan.
“Dan kini, mari kita dengarkan pidato dari salah satu siswa terbaik kita tahun ini. Nilai sempurna, dedikasi tinggi, dan inspirasi bagi banyak teman-temannya... Elvareon Delacroix.”
Tepuk tangan menggema di seluruh aula. Elvareon berjalan pelan menuju podium, membawa kertas kecil di tangannya. Semua mata tertuju padanya, termasuk Achazia... dan papanya.
Disitu Achazia baru tahu kalau nama belakang Elvareon adalah Delacroix. Dan tentu saja Elvareon juga belum tahu apa nama belakang Achazia.
“Selamat pagi Bapak Ibu Guru, orang tua, dan teman-teman yang saya sayangi,” ucap Elvareon membuka.
“Saya berdiri di sini bukan karena saya merasa istimewa. Saya berdiri di sini karena saya tahu... saya hampir tidak pernah percaya bisa sampai di titik ini.”
Ia menunduk sesaat, menarik napas.
“Saya berasal dari keluarga yang tidak punya banyak. Tapi saya beruntung dikelilingi teman-teman baik, guru-guru yang percaya pada saya, dan... seseorang yang membuat saya ingin terus berusaha meskipun rasanya berat.”
Pandangan Elvareon sempat menyapu barisan murid perempuan, berhenti sejenak di arah Achazia duduk.
Achazia menunduk cepat.
“Lulus dari sekolah ini bukan akhir. Ini awal. Tapi bagi beberapa dari kita... awal itu tidak selalu mudah. Tidak semua orang tahu ke mana akan pergi. Tidak semua orang punya kesempatan. Tapi saya percaya, selama kita punya alasan untuk melangkah, kita akan sampai.”
Tepuk tangan kembali terdengar, lebih panjang kali ini. Bahkan kepala sekolah berdiri dan memberi isyarat hormat. Elvareon turun dari podium, kembali ke kursinya. Di barisan orang tua, Papa Achazia memperhatikan pria itu dengan tatapan yang sulit ditebak.
Sesi pembagian sertifikat dimulai. Satu per satu nama dipanggil. Achazia maju dengan anggun. Elvareon juga. Saat keduanya kembali ke bangku masing-masing, pandangan mereka sempat bertemu. Tak ada kata. Hanya senyum kecil yang dipaksakan dan mata yang menahan ribuan hal.
Setelah sesi formal selesai, para siswa dan orang tua mulai menyebar. Aula berubah jadi foto dan pelukan. Guru-guru dihampiri dengan ucapan terima kasih. Beberapa siswa menangis pelan, sadar bahwa masa-masa indah ini telah selesai.
Di pojok aula, Kaivan menepuk pundak Elvareon.
"Bro, pidato mu sangat keren. Tapi kau lihat? Papanya Achazia dari tadi melirikmu terus."
Elvareon hanya tertawa kecil. “Aku ngerasa sih.”
"Dia tahu kamu suka anaknya?"
"Belum. Dan semoga tidak."
Tak jauh dari sana, Achazia berdiri bersama Brianna dan kedua orang tuanya. Tapi matanya terus saja mencuri pandang ke arah Elvareon.
"Achazia, kamu mau foto bareng?” tanya Brianna.
“Mau, tapi jangan dekat-dekat Elvareon. Aku takut Papa curiga lagi.”
Namun semuanya berubah saat sesi foto kelompok dilakukan. Semua siswa disuruh naik ke panggung. Berdiri berdampingan. Takdir berkata lain: Elvareon berdiri tepat di sebelah Achazia.
“Wah… dunia memang sempit,” bisik Elvareon pelan.
Achazia mencubit lengan jasnya halus. “Ssshh, jangan ngomong apa-apa.”
Mereka tersenyum di depan kamera, pura-pura biasa. Tapi hati mereka tidak bisa berpura-pura.
Acara mulai usai. Orang tua mulai pulang. Para siswa masih tertahan, saling menulis pesan di kertas atau menukar nomor ponsel.
“Achazia,” panggil Papa dari pintu aula. “Kita sudah bisa pulang.”
Achazia mengangguk. Ia melangkah menjauhi kerumunan, tapi sempat menoleh ke belakang. Elvareon masih duduk, memandangi sertifikatnya dengan pandangan kosong.
Brianna menghampiri Achazia cepat.
“Achazia, kamu tidak mau pamit?”
Achazia menggigit bibir. “Aku takut Papa makin curiga.”
Brianna menghela napas. “Oke. Aku saja yang mengatakannya nanti.”
Sore itu, langit Crystal Heights benar-benar mendung.
Di kamar masing-masing, dua hati merenung.
Achazia berbaring sambil membuka brosur universitas, tapi pikirannya melayang pada sepeda biru pudar dan senyum itu.
Elvareon duduk diam di meja belajarnya, menatap satu lembar brosur kedokteran yang sudah lama ia simpan.
Di bagian bawah brosur itu, tertulis kecil:
“Biaya masuk tahun pertama: Rp 75.000.000.”
Ia mendesah.
Tak ada angka sebesar itu dalam hidupnya. Bahkan rumahnya saja tidak senilai segitu.
Malamnya, obrolan keluarga memenuhi meja makan Achazia.
“Sayang, kamu sudah tentukan mau kuliah di mana?” tanya Papa.
“Aku... masih bingung, Pa.”
“Kamu cocoknya di kedokteran, atau teknik. Jangan macam-macam pilih jurusan yang tidak jelas masa depannya.”
Achazia hanya mengangguk. Tapi dalam hatinya, dia masih memikirkan dua hal: make up... dan Elvareon.
Sementara itu di rumah Elvareon...
“Ibu, kalau aku dapat beasiswa penuh, Ibu izinkan aku kuliah, kan?” tanya Elvareon pelan.
Ibunya menoleh dengan lembut. “Ibu selalu izinkan kamu jadi apapun, nak. Tapi… kamu harus tahu… mungkin ibu tidak bisa bantu apa-apa soal uang.”
Elvareon mengangguk. “Aku mengerti, Bu.”
Dia memandangi langit malam dari jendela kamarnya.
“Tuhan… kalau aku tidak bisa kuliah, apakah itu berarti aku tidak cukup layak?”
Elvareon lalu mengambil ponselnya. Dia mengingat percakapannya dengan Achazia kemarin saat mengantarnya ke rumah. Dia ingat bahwa dia meminta instagram Achazia namun gadis itu menyuruhnya untuk mencari sendiri.
Dengan senang hati Elvareon mencari nama pengguna instagram Achazia, dan selang beberapa waktu akhirnya dapat. Benar, instagramnnya tidak privat. Elvareon lalu mengikuti Achazia di instagram.
Dia menggulir instagram Achazia. Dengan jarinya dia scroling postingan gadis itu. Di postingan itu dia memosting fotonya bersama keluarganya. Ada yang berjalan-jalan di pantai, restoran, bahkan luar negri. Melihatnya saja sudah membuat Elvareon murung.
"Apa memang seharusnya aku melupakan Achazia saja ya?" ucapnya dalam hati.
Dia lalu melihat bahwa Achasia mengikuti instagramnya kembali. Senyumnya mengembang dan ingin mengirim pesan tapi dia ragu. Dia berperang di kepalanya. Dia berpikir seharusnya dia segera melupakan Achazia.