Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05 - Kenangan Masa Lalu
Begitu mendengar isi pesan itu, Aiden langsung menghentikan jalannya rapat.
“Rapat selesai.” ucapnya dingin, lalu beranjak keluar dari ruangan.
Setelah Aiden dan Harris pergi, semua orang langsung menghela napas lega.
Beberapa bersandar lemas di kursi mereka, tampak kelelahan sekaligus ketakutan. Mereka selamat hari ini...
Di dalam ruang kerja Aiden, Harris membacakan isi pesan yang baru saja ia terima. Pesan itu berisi informasi lengkap tentang Anya.
Kantor Aiden berada di lantai 21 lantai paling atas gedung milik Atmajaya Group. Ruangan itu didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Meja kerja besar berwarna hitam menghadap langsung ke jendela tinggi yang dulunya memperlihatkan pemandangan kota.
Namun sejak kecelakaan itu, tirai jendela selalu tertutup rapat. Tak setitik pun cahaya matahari diizinkan masuk. Ruangan itu kini tampak suram, gelap, dan dingin—seperti hatinya yang tak lagi mengizinkan cahaya menyentuhnya.
Anya Tedjasukmana. Usia 20 tahun.
Putri tunggal dari Deny Tedjasukmana dan Diana Hutama. Deny adalah CEO dari Tedja Group, sementara Diana adalah pembuat parfum.
Keduanya bercerai saat Anya berusia sepuluh tahun. Setelah itu, Deny menikah lagi dengan Mona Wijaya, seorang janda dengan seorang anak perempuan bernama Natali.
Sejak perceraian itu, Anya tinggal bersama ibunya di rumah kecil dan sederhana. Namun tiga tahun lalu, ibunya menderita penyakit jantung dan akhirnya koma.
Seperti yang sudah Aiden duga, kejadian semalam memang berkaitan dengan Natali Tedjasukmana.
Semalam, Anya menemui Natali dengan harapan bisa meminjam uang demi membayar biaya rumah sakit ibunya. Tapi alih-alih menolong, Natali justru memanfaatkannya untuk lepas dari perjodohan dengan Aiden.
Natali memang licik. Ia menghapus semua rekaman CCTV hotel dan menyuap semua orang yang terlibat agar tutup mulut. Ia pikir rencananya sudah rapi dan sempurna.
Tapi dia tidak tahu siapa lawannya sekarang. Untuk seorang Aiden Atmajaya, tak ada yang mustahil.
Jika uang tak cukup untuk membuat saksi berbicara, Aiden masih punya seribu cara untuk membuat mereka buka suara.
Salah satu pelayan yang mengantar Anya ke kamarnya akhirnya mengaku bahwa Natali lah dalang di balik semua ini. Ia mencampur minuman Anya dengan obat, lalu menyuruh dua pelayan membawanya ke kamar Aiden saat Anya tak sadarkan diri.
Aiden mendengarkan laporan itu dengan ekspresi datar dan tanpa emosi. Harris tak mampu membaca apa yang sedang dipikirkan bosnya.
Sejujurnya, Harris terkejut melihat sikap Aiden kali ini. Selama ia bekerja untuk pria itu, belum pernah sekalipun ia melihat Aiden menunjukkan ketertarikan pada seorang wanita.
Hidup Aiden selama ini hanyalah tentang pekerjaan. Bahkan setelah kecelakaan dan kehilangan penglihatannya, Aiden justru tenggelam lebih dalam dalam rutinitas kerja seolah mencoba melarikan diri dari dunia.
Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, Aiden memintanya menyelidiki seorang wanita. Apa sebenarnya yang membuat bosnya begitu tertarik pada gadis bernama Anya itu?
Aiden mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah ingin menghapus kekacauan di pikirannya sejak pagi.
Pikirannya kembali pada kamar hotel yang ia tinggalkan pagi tadi. Kamar tempat ia menghabiskan malam yang begitu indah, sekaligus tempat kebahagiaannya runtuh.
Anya... wanita itu...
Wanita yang tidak mengenalnya.
Wanita yang tidak mengingatnya.
Tapi di sisi lain, Aiden tak bisa mengusir wajah Anya dari benaknya.
Rambut panjang hitam yang terurai indah. Tatapan matanya yang dalam dan gelap. Wajah putih yang mudah memerah. Lesung pipinya yang manis saat ia tersenyum. Dan bibir kecilnya yang merah seperti...
Buah ceri.
Semua gambaran itu melekat kuat di kepala Aiden. Terutama saat Anya terlelap di ranjang, rambutnya berserakan di bantal, bibirnya terbuka sedikit dalam tidurnya yang tenang.
Tapi kenapa… kenapa Anya tidak mengenalinya?
Aiden masih ingat jelas ekspresi kecewa dan sedih yang muncul di wajah Anya saat menyadari mereka telah menghabiskan malam bersama. Ekspresi itu menghancurkan semangat Aiden menghancurkan harinya.
Ia masih ingat tatapan kosong Anya. Seolah-olah semalam bukan apa-apa. Seolah-olah hari itu adalah pertemuan pertama mereka.
Ekspresi curiga Anya ketika ia menyebutkan namanya, seakan Aiden adalah orang asing baginya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apa Anya hanya berpura-pura tidak mengenalnya?
Aiden menyisir rambutnya dengan kasar, membuat gaya rambut rapi yang tadi tertata kini jadi berantakan. Tapi ia tidak peduli.
Hanya satu hal yang terus mengisi pikirannya saat ini:
"Kenapa kamu nggak mengenaliku, Nya?"
Anya membuka pintu rumahnya dengan langkah lesu. Hari ini benar-benar terasa panjang dan melelahkan baginya.
Ia terbangun di kamar hotel mewah yang tak dikenalnya dan bersama seorang pria asing yang menghabiskan malam dengannya.
“Aku bahkan tak tahu apa yang terjadi semalam...”
Ingatannya terlalu kabur untuk mengingat kejadian semalam. Yang ia tahu, ia telah kehilangan kehormatan yang selama ini ia jaga rapat-rapat, sesuatu yang seharusnya ia berikan hanya untuk suaminya kelak.
Kenyataan itu makin menyakitkan saat ia tahu siapa pria itu tunangan Natali, Aiden Atmajaya. Ia telah tidur dengan tunangan saudari tirinya sendiri!
Dan pria itu bukan sembarang pria. Ia dikenal sebagai pria kejam, dingin, dan tak berperasaan. Banyak orang menyebutnya monster tanpa hati.
Namun itu belum cukup. Ia masih harus jatuh lebih dalam dihina, disalahkan, dan dipukuli oleh Mona, ibu tiri Natali, atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.
Anya tidak merebut tunangan siapa pun. Justru Natali sendirilah yang menjebaknya!
Tapi apa yang bisa Anya lakukan? Bagaimana bisa ia menjelaskan semua kejadian yang absurd ini?
Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya, bahwa Natali-lah yang menjebaknya dan mengirimnya ke kamar hotel Aiden? Siapa yang akan percaya? Cerita itu terdengar terlalu gila, bahkan bagi dirinya sendiri.
Ia duduk di kursi ruang tamu, menyandarkan tubuh lelahnya dan menatap langit-langit rumah.
Rambut hitam panjangnya berantakan, pipinya masih sedikit bengkak, dengan bekas cakaran yang terlihat jelas. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Untuk bergerak sedikit saja, rasanya seperti disiksa.
Sakit, kecewa, marah...
Semua perasaan itu bercampur aduk. Air mata mulai memenuhi matanya, lalu jatuh satu per satu ke pipinya yang memar.
“Apa salahku? Kenapa semua ini harus terjadi padaku?”
Matanya menyapu sekeliling rumah kecil itu rumah yang dibeli ibunya setelah bercerai dari ayahnya dulu. Rumah sederhana yang sangat kontras dengan kemewahan rumah Natali sekarang.
Ia tak mengerti, kenapa Natali tega melakukan semua ini padanya?
Natali punya segalanya ayah dan ibu yang lengkap, rumah mewah, hidup berkecukupan. Sementara dirinya hanya hidup berdua dengan sang ibu…
Natali dimanjakan sejak kecil, selalu mendapat apa yang ia inginkan. Sementara Anya harus bertarung sendirian sejak ibunya jatuh sakit.
Lalu kenapa Natali begitu tega?
Apa yang masih kurang dari hidup Natali sampai ia harus menghancurkan hidup Anya juga?
Meski mereka bukan saudara kandung, Anya tak pernah menyangka Natali bisa sejahat itu.
Sebelum pergi keluar, Anya mengecek isi dompetnya. Wajahnya makin lesu saat melihat uang yang tersisa hanya beberapa lembar ratusan ribu. Bagaimana bisa ia membayar biaya rumah sakit ibunya dengan sisa uang sebanyak itu?
“Lalu aku harus bagaimana sekarang?”