Bagi seorang ibu selama khayat di kandung badan kasih sayang pada anak tak akan hilang. Nyawa pun taruhannya, namu demi keselamatan sang anak Suryani menahan rindu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosida0161, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maafkan Ibu Anakku
Dila mencari Mak Minah ke dapur.
"Mak!" Dari umur tiga tahun sudah dia kenal Mak Minah, makanya ia sudah fasih memanggil Mak pada asisten rumah tangga yang sudah seperti keluarganya sendiri itu.
"Ya Non ini Mak datang," tergopoh Mak Minah mendatangi Dila yang berdiri menunggu.
"Mak,"
"Ya,Non ada apa ya?" Serius sikap Mak Minah melihat non Dilanya terlihat seperti penting sekali mencarinya.
"Mak hari ini sukses masak bobor kelor untuk Adi, top!" Dila memberinya jempol, "Wah enak terasa kencurnya, wangi dan pas garamnya,"
Mak Minah senyum-senyum melihat paras cantik non majikan mudanya ini sangat puas kelihatannya dengan acara makan siang bersama calon suaminya.
"Serius, Non?"
"Sungguh makanya aku cari Mak ke sini, soalnya Adi tuh kayaknya tadi terkenang masakan ibunya, ya pokoknya sukseslah sayur bobor kelornya Mak Minah hari ini, sip,"
"Wah kalau begitu Mak harus menceritakan rahasianya pada Non tentang bobor kelor itu,"
"Pake rahasia segala, memangnya ada rahasia apa?!" Dila tampak penasaran.
"Rahasianya yang masak bobor kelor itu bukan Mak,"
"Beli maksudnya, memang ada yang jual, gitu?" Kejar Dila.
"Bukan beli, Non,"
"Jadi?"
"Mulai hari ini Nyonya menerima asisten rumah tangga baru untuk bantu bantu Mak masak,"
"Maksudnya asisten baru itu yang pandai masak bobor?"
Mak Minah mengangguk.
"Oh gitu,"
"Ya,"
"Kok dia bisa pas masakannya dengan ibunya Adi, ya?"
"Mungkin kebetulan saja, Non atau memang dia paham resep bobor dan takaran bumbunya, katanya, sih sayur favorit keluarganya, dan kesukaan anaknya,"
"Oh gitu,"
"Ya," angguk Mak Minah, "Oh itu orangnya," tunjuknya saat Suryani melintas, "Bik," panggilnya.
Suryani menoleh.
"Sini," tangan Mak Minah melambai.
Suryani langsung mendekat .
"Bik ini Non Dila putrinya Nyonya dan Tuan Sugandi,"
Suryani mengangguk santun pada Dila.
"Saya Bik Yani diterima bekerja di sini oleh Nyonya untuk membantu Mak Minah, Non,"
"Wah Mak punya teman yang hampir sebaya," ujar Dila mengingat dua asisten rumah tangga lainnya masih terbilang muda.
"Umur saya empat puluh tujuh tahun, Non," ujar Suryani.
"Mak sudah lima puluh enam tahun Non," ujar Mak Minah.
"Ya beda sembilan tahun, masih bisa berkolaborasi di dapur," tersenyum Dila.
Mak Minah dan Suryani saling pandang.
"Panggil Bik Yani atau Bibik terserah Non sajalah," ujar Suryani.
"Ada Mak ada Bibik," seru Dila, "Oh ya apa betul Bibik yang masak sayur bobor kelor tadi?" Kini perhatian Dila fokus pada Suryani.
"Ya, Non," angguk Suryani.
"Terima kasih ya, Bik, sayurnya enak, pas di lidah Adi, dia sangat suka dan puas tadi makannya," wajah Dila berbinar saat menyampaikan kalau Adi sangat menyukai olahan bobor kelor Suryani.
"Oh saya sangat tersanjung dan senang sekali mendengarnya, Non," dan Suryani sangat bahagia jika sayur berasal dari kampung itu memiliki nilai apalagi sampai disukai tunangan non majikannya.
"Ya katanya mirip dengan bobor kelor masakan ibunya,"
"Oh," berdetak jantung Suryani. Ia hanya membuatkan bobor kelor dulu untuk Adi anaknya. Apakah Adi tunangan Dila itu Adinya?
Ih tak mungkin!
Batinnya menolak ragu. Begitu banyak nama Adi di dunia ini. Lagipula begitu banyak seorang ibu memasak sayur atau lauk untuk anak mereka. Mungkin saja Adi tunangan non Dilanya dulu juga sering dibuatkan sayur oleh ibunya.Tapi kok sama jenis sayuran. Dan olahannya?
Suryani menolak percaya apalagi berharap Adi tunangan Dila itu Adinya. Begitu banyak cerita dan segala sesuatunya di dunia ini yang hampir mirip cerita satu dan lainnya.
"Terima kasih ya, Bik, kapan kapan tolong buatkan lagi bobor kelornya, ya, Bik,"
"Ya Non pasti saya buatkan. Terima kasih telah menyukai masakan sederhana saya,"
Dila sudah ke depan.
"Tuh kan Bik, baru satu kali masak bobor kelor sudah langsung cocok, wah hebat,' Mak Minah memuji Suryani.
Suryani tersenyum ,"Syukurlah resep sederhana disukai Non majikan,"
"Karena pas dengan selera sang kekasih," lanjut Mak Minah.
"Alhamdulillah itu namanya rejeki, Mak,"
"Keberuntungan," ujar Mak Minah.
Sendirian melepas lelah di kamar Suryani termenung. Pikirannya kini ke sayur kelor yang begitu disukai oleh Adi tunangan non majikannya.
Suryani tak akan pernah lupa peristiwa tersedia sepanjang hidupnya. Berpisah dengan anak tercintanya, karena kesalahan yang tak dimengerti dan disengaja anaknya.
Terbayang perpisahannya dengan Adi dulu. Terbayang raut muka anaknya yang pucat karena ketakutan harus pergi meninggalkannya, sesuai dengan perintahnya.
"Jangan sebut nama Ibu pada siapa pun, jangan bilang Adi anaknya Ibu Suryani, ya,"
"Ibu,"
"Adi harus nurut sama pesan Ibu, ya kalau sayang sama Ibu,"
"Adi sayang ibu," angguk Adi dengan air mata berlinang.
Lagi Suryani mencium untuk terakhir kalinya ubun ubun Adi.
"Adi dimana kamu, Nak, Ibu rindu, Ibu kangen ingin melihatmu," air matanya terus mengalir ingat pada perpisahannya dengan Adi dua puluh tahun lalu.
"Maafkan Ibu telah mengusirmu, Nak, Maafkan Ibu telah membiarkanmu hidup sendirian tanpa perlindungan Ibu," rasa cemas dan khawatir memenuhi rongga dadanya. Khawatir Adinya dulu jatuh ke tangan orang yang salah. Lalu dididik dengan cara liar yang kelak membuat anaknya itu terbiasa dengan kehidupan bebas yang tak beraturan, hingga menuntunnya pada jalan salah.
Jika sampai anaknya salah jalan bukan saja dirinya telah membuat anaknya menempuh kekeliruan di dunia ini. Namun juga tanggung jawabnya pada Tuhan nya sangatlah berat.
Tugas orang tua adalah memberi kasih sayang dan membimbing anaknya di jalan yang benar. Bukan seperti dirinya yang membiarkan Adi dulu berkeliaran tanpa perlindungan. Sendirian di usia muda tanpa terasa tujuan, tanpa sanak saudara.
Merinding Suryani membayangkan keadaan Adi waktu ia lepas dulu. Miris hatinya, bagaimana rasa takut Adi menapaki hidup seorang diri di luar rumah.
Tak terbayangkan bagaimana seandainya anaknya itu dianiaya. Dirampok dan disakiti, lalu dipekerjakan sebagai pengemis. Kurang makan dan hanya kerja dan kerja.
"Maafkan Ibu, Nak, maafkan Ibu Adi," rasa sedih yang tak akang kepalang membludak dalam dadanya.
"Ya Allah hamba telah menjadi Ibu yang tidak amanah atas titipanMu. Ampunkan hamba ya Allah. Tuntunlah anak Hamba Adi di jalanmu. Jika saat ini ia berada di jalan yang tak diridhoimu, tariklah dia ya Allah supaya bertaubat dan menempuh jalan yang benar."
Semua kebersamaannya dengan Adi kecilnya dulu berkelebat di benaknya. Kebersamaan ibu dan anak anak yang saling menyayangi. Hingga pada perpisahannya yang mengantarkan anaknya menjadi Luntang Lantung, dan bergelandang di luar rumah.
Seandainya dulu Adinya bukan bocah tujuh tahun, barangkali masih bisa mengatur dirinya. Mencari kos tempat tinggal dengan uang pemberiannya yang sebenarnya cukup banyak untuk biaya hidup anaknya.
Sayangnya Adi waktu itu terlalu kecil untuk berpikir kearah sana.
Seandainya saja dulu ia punya waktu untuk mengantarkan Adi ke rumah penitipan. Mungkin anak itu hidupnya bisa teratur. Tempat penitipan anak akan mengarahkan pada kebaikan. Disekolahkan dan mungkin saja saat ini Adinya sudah bekerja atau entah kuliah dengan beasiswa.
Tapi tak ada waktu untuk itu. Dan kini ia cemas jika Adi yang saat ini umurnya sudah mencapai dua puluh tujuh tahun itu, akan menapaki kehidupan keras tanpa modal pendidikan, dan hanya bermodal sebagai anak jalanan.
"Aku ibu yang gagal membesarkan dan mengantarkan anakku pada cita citanya," keluh Suryani lirih.
"Adi ingin jadi guru, Bu, seperti Pak Guru yang memberi pelajaran pada muridnya," terbayang Adi kecil dengan bola mata berbinar menceritakan cita cita mulianya.
Bersambung