NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:495
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 2

Kehidupan itu tidak bisa ditebak dan tidak bisa diterka. Ada peristiwa-peristiwa tak terduga terjadi di dalamnya tanpa diketahui. Mungkin jika peristiwa tidak terduga itu merupakan hal yang menyenangkan saat ini juga sang pemuda akan meloncat kegirangan sembari menyalakan kembang api. Tetapi dia hanya menunduk sambil berjalan, suara yang berkeliaran di telinganya seakan sunyi didengar. Revan, pemuda itu sangat mengharapkan bahwa ini hanyalah mimpi semata. Sayangnya ini adalah sebuah realita.

Revan membuka pintu kamar seseorang yang saat ini terus dikhawatirkannya. Nampak sang kembaran sudah sadar dari pingsannya dan kini Devan sedang duduk sembari memberikan senyuman khas anak kecil miliknya pada Revan. Mata Revan memerah, jutaan air mata sudah berdemo ingin keluar mengaliri pipi. Revan menahannya walau sesak. Benarkah dia harus kehilangan lagi?

Devan hanya terheran ketika melihat Revan hanya diam dan malah terus melangkah mendekatinya. Devan membulatkan matanya ketika Revan memeluknya dengan sangat erat, seolah Revan tidak menginginkannya untuk pergi barang sedetik saja.

"Maafin gue, maafin gue, maafin gue..." Revan terisak sambil terus memeluk Devan erat.

Hati Devan sangat sakit mendengar isakan Revan. "Ada apa? Lo bisa cerita sama gue Rev. Plis jangan nangis."

"Gue gagal jadi kakak yang baik buat lo Dev, gue gagal. Gue gak becus sama sekali." Isakan Revan masih sangat menyakitkan.

Devan menggeleng dalam dekapan Revan. "Lo tuh adalah kakak terbaik di dunia ini bagi gue, mau orang mandang kayak gimana lo adalah kakak yang paling gue sayang."

"Kalau gue terbaik, kenapa gue biarin penyakit sialan itu selama dua bulan ini ada di badan lo. Gue kakak yang bego." Revan mengepalkan tangannya erat.

Devan membisu, melirik kertas yang tergeletak di atas brankar. 'Leukimia stadium 2.' Dia sangat mengerti satu kalimat diagnosa tersebut. Dunia seolah berhenti berputar bagi Devan. Bagaimana dengan janjinya pada Revan? Hanya itu yang ada di pikirannya.

Devan tersenyum, menyembunyikan perasaannya yang hancur. Kalau dia hancur bagaimana Revan? "Kak gue akan lawan penyakit ini kok. Tapi sih kalau lo nya aja udah nyerah gini semangat gue malah turun loh."

Revan hanya bisa membisu.

"Mana ada semangat dong gue kalau orang yang harus nyemangatin gue aja putus harapan." Devan tersenyum dengan sangat tulus.

Kebisuan masih saja setia menemani Revan.

Devan menggenggam tangan Revan, menatap matanya dalam. "Gue percaya sama lo Kak. Kakak juga harus percaya sama gue."

"Maafin Kakak Dev, gue janji gue akan selalu kuat dan melakukan apapun demi kesembuhan lo." Revan akhirnya mampu menerima kenyataan ini.

Devan tersenyum mendengarnya, Revannya sudah kembali seperti dulu.  "Gitu dong, baru namanya kakak gue."

Percakapan itu terus berlanjut hingga hari mulai berubah menjadi pekatnya malam. Menyadari waktu yang sudah beranjak, sang sulung mengakhiri percakapan hangat mereka. Dia membenarkan letak tubuh Devan agar berbaring. Menandakan bahwa remaja berumur 16 tahun itu tengah menyuruh sang adik untuk mengistirahatkan tubuhnya. Mata adik kembarnya mulai memejam. Revan membenarkan selimut sang adik hingga menutupi dadanya. Tidak lupa dia mencium kening Devan dalam. Seolah memberi tahu sang adik bahwa dia sangat menyayanginya.

Pintu ruangan tertutup, Revan sudah beranjak meninggalkan kamar rawat adiknya. Tanpa dia ketahui bahwa Devan sekarang tidak lagi memejam. Remaja itu bangun dari posisinya, dia terduduk. Air mata itu meluncur tanpa dikomandoi. Sesak. Devan tidak marah karena vonis ini. Devan tidak menyalahkan takdirnya ini. Hanya saja dia begitu takut. Bukan karena bayangan kematiannya yang dekat, tetapi ketakutan bahwa mungkin dia akan melanggar janjinya pada Revan.

.

.

.

.

.

.

Setelah tiga hari dirawat, akhirnya Devan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Ini juga didukung dengan keadaannya yang semakin membaik. Kini Devan dan Revan sedang membereskan barang-barang untuk dibawa kembali pulang. Walau bisa dibilang hanha Revan saja yang sibuk membereskan semua barangnya.

Sebenarnya Devan juga mencoba untuk membantu, tetapi Revan langsung menolaknya. Dengan alasan hal itu bisa membuat Devan lelah. Devan ingin sekali membantahnya tetapi melihat binar mata Revan yang serius membuat Devan hanya bisa menuruti apa yang diinginkan sang kakak.

Beberapa menit, akhirnya Revan sudah membereskan semuanya. Urusan administrasi untuk syarat kepulangan pasien sudah ditangani oleh Andrea. Devan dan Revan memang dijemput oleh mobil yang dibawa Andrea. Kali ini Revan tidak menolak karena memperhitungkan keadaan Devan yang masih lemah. Semua barang-barang sudah dimasukkan ke dalam mobil. Revan dan Devan langsung masuk ke dalam mobil. Baru beberapa menit perjalanan Devan sudah terlelap ke dalam mimpi. Hal itu membuat Revan dan Andrea tertawa ringan. Devan yang tertidur benar-benar polos seperti anak kecil.

Kini mereka sudah tibah di rumah Revan dan Devan. Meski begitu Devan masih betah dengan dunia mimpinya. Tidak tega untuk membangunkan, Revan memilih untuk menggendong Devan masuk ke dalam rumah. Setelah menidurkan Devan ke dalam kamar, Revan menghampiri Andrea yang duduk di ruang tamu.

"Tan makasih ya udah bantuin aku sama Devan. Maaf ngerepotin juga." Seperti biasa Revan itu adalah orang yang tidak pernah mau membebani orang lain.

Andrea hanya bisa tersenyum. Hafal sekali dengan sifat mandiri Revan. "Rev, kenapa minta maaf? Sebagai keluarga kamu tante itu wajib untuk mengurusi kalian tau. Dan sama sekali tante gak merasa direpotkan."

"Tapi banyak hal yang udah dilakuin keluarga tante buat kita. Biaya sekolah sampai kuliah nanti bahkan tante yang bayarin plus sama biaya rumah sakit kemarin." Revan merasa tidak enak karena dia belum bisa membalas semua kebaikan Andrea.

Andrea menjawab dengan lembut. "Udah tante bilang kan tadi, itu semua udah jadi kewajiban tante."

"Makasih banyak tante. Tapi untuk kali ini izinin Revan buat ikut sedikit bertanggung jawab. Mulai sekarang Revan akan cari kerja paruh waktu buat nambah biaya yang lain-lain. Di luar biaya sekolah. Tante pokoknya harus izinin Revan. Terlebih keadaan Devan sekarang, perawatannya bukan  sesuatu yang murah, Revan ngerti banget. Makanya izinin Revan ya tante. Revan gamau bebanin tante lebih dari ini. Revan janji Revan bakal bisa jagain Devan sebaik mungkin dan jadi pengganti papa sama mama yang baik untuk Devan." Kilat mata milik Revan terlihat begitu sungguh-sungguh. Di dalam pandangan itu tersimpan sebuah tekad yang besar.

Andrea mengelus lembut pundak milik Revan. "Sekalipun tante cegah kamu, kamu pasti akan ngelakuinnya bukan? Tapi dengan syarat disaat kamu memang sudah gak sanggup lagi wajib buat kamu datang ke tante."

"Makasih banyak tan, aku sayang tante." Revan memeluk Andrea membuat wanita itu tersenyum.

"Mungkin takdir yang sedang kalian jalanin lagi berat, tapi percaya Rev suatu saat nanti semua akan berubah jadi indah. Maka dari itu kamu harus tetap kuat supaya tetep bisa jadi penyokong Devan biar dia tetap mampu untuk berdiri." Andrea memberikan nasihatnya sebelum pamit pulang.

Suara alarm terdengar berbunyi nyaring di dalam kamar seseorang. Remaja itu meraba-raba meja mencari sumber suara bising yang hendak membangunkannya. Lengannya berhasil mendapatkan benda yang mengeluaran suara bising. Matanya sedikit membuka menatap sebuah angka yang tertera lalu sedetik kemudian dia kembali ke alam mimpi.

Namun detik berikutnya matanya membuka dan melebar. Ini sudah hampir pukul 7 pagi dan dia masih terbaring di atas tempat tidur. Devan langsung meloncat dari tempat tidurnya dan lekas masuk ke kamar mandi. Di hari ini dia ada ulangan dari salah satu guru killernya.

Setelah bersiap Devan langsung menuju meja makan. Dia melihat Revan yang sudah sangat siap untuk berangkat sekolah. Tanpa menyentuh sarapan, Devan langsung berlari menghampiri Revan yang sudah mau menaiki sepeda motornya. Revan menghentikan pergerakannya ketika Devan menghampirinya dengan seragam lengkap.

"Elah Rev, kok lo ninggalin gua sih?" Devan mendumel karena Revan malah mau berangkat sendiri.

Revan memandang Devan dari atas sampai bawah. "Lo yang ngapain? Pake seragam lengkap segala. Masih sakit juga."

"Lah kalau gue masih sakit mana ada gue disuruh pulang ke rumah." Devan itu paling bisa untuk membantah.

Revan memutar matanya malas. "Tapi masih harus istirahat."

"Istirahat mulu siap geraknya kapan coba?" Devan malah mempelesetkan pernyataan Revan.

Revan menghembuskan nafasnya kasar. Lalu dia berucap tegas. "Devano lo bisa gak kalau dikasih tau gak usah bantah? Kalau kata gue lo harus istirahat ya istirahat."

"Iya iya maaf. Tapi Rev plis hari ini tuh ada ulangan, Bu Sheila lagi. Kalau gue gak ikut susah banget minta susulan ke dia. Ya ya ya kak Revan izinin gue sekolah ya?" Devan mulai merengek, baginya ini adalah senjata terkuat untuk Revan.

Terdengar helaan nafas dari Revan. "Ok.. Ok gue izinin. Dengan catatan cuma belajar, gak ada makan pedes, minum dingin dan ngelakuin kegiatan-kegiatan yang berat."

"Ah elah peraturan perundang-undangan mana lagi itu?" Devan mendengus mendengar persyaratan yang diajukan Revan.

"Lo tinggal iyain aja atau gue berangkat sendiri sekarang juga." Revan heran, adiknya ini selalu saja bisa menjawab perkataannya dengan jengkel.

Devan mendengus. "Iya gue nurut. Dah puas?"

"Gitu dong, gih pake jaket dulu." Revan kembali memerintah.

Devan heran cuaca sekarang sedang sangat terik. "Rev ini udah kayak di Arab Saudi lo tau, tambah pake jaket makin panas macem sahara."

"Oke Devano, gue berangkat ya istirahat di rumah ya." Revan mulai menstater sepeda motornya.

Devan segera memakai jaketnya dengan cepat. "Ok. Ok lo menang, udah nih gue pake."

Devan menaiki sepeda motor Revan. Mereka berdua akhirnya berangkat menuju sekolah. Revan tertawa ringan, dia masih mendengar gerutuan Devan yang sedang dibonceng olehnya. Mereka sudah tiba di sekolah lima menit sebelum pintu gerbang ditutup. Untung saja jarak sekolah tidak terlalu jauh. Devan dan Revan berpisah untuk menuju kelas masing-masing.

Baru saja Devan duduk di bangkunya, Bu Sheila sudah datang memasuki ruangan kelas. Untung saja dia datang sebelum Bu Sheila kalau tidak dia pasti sudah dihukum dan tidak boleh ikut ulangan.

Di tengah ulangan itu Devan menggeram. Bukan karena soalnya yang terbilang sulit tetapi karena Ardli yang terus saja menyikutinya. Sahabatnya itu pasti tidak belajar lagi.  Devan untung saja sudah menyelesaikan soalnya. Meski sangat berat hati, Devan akhirnya memberi sedikit contekan pada Ardli

Mata pelajaran Bu Sheila sudah mau habis. Satu per satu siswa sudah menyerahkan lembar kertas ulangan mereka. Termasuk Devan dan Ardli. Semua murid bernafas lega setelah Bu Sheila meninggalkan ruangan kelas mereka. Pelajaran mereka terus berlanjut hingga pukul 12.00.

Akhirnya salah satu bunyi bel yang membuat mereka bahagia berbunyi. Apalagi jika bukan bel tanda istirahat. Devan dan Ardli langsung pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang sudah berdemo ingin dimasuki oleh makanan. Ardli memesan seporsi lumpia basah sementara Devan dia hanya memesan bakso yang dibening.

"Lah tumben lo gak diem-diem minta ke gue buat nambahin sambel ke mangkuk lo?" Ardli heran, tumben sekali Devan tidak membangkang.

Devan tersenyum mendengarnya. "Kalau gue bilang karena gue lagi sakit gimana?"

"Sakit digigit kutu aja lo mah paling. Tar juga sembuh." Ardli mengeluarkan candaannya.

Devan menunduk. Meski akan membuat sahabat sejak kecilnya itu bersedih, Devan akan tetap mengatakannya. "Leukimia stadium 2 Dli."

"Apa Mia? Gebetan baru lo?" Ardli dengan polosnya bertanya.

Devan pasrah. Ardli memang sedikit ya begitulah. "Gue sih pengennya jawab begitu, tapi gue rasa beda dengan persepsi lo. Coba deh lo inget sedikit tentang pelajaran IPA."

Ardli mulai berpikir. Sebuah penjelasan terlintas di benaknya. Mulutnya terkatup rapat. Dan tidak ada sedikitpun kalimat candaan yang terbesit di otaknya. "Ka...kanker darah? Devano kalo lo bohong dan ngeprank sumpah prank lo gaada lucu-lucunya tau gak?"

Devan hanya terdiam memandang Ardli dengan dalam.  Meski Ardli tak sepintar Devan dia tahu maksud semua ini. Yang dikatakan Devan adalah kejujuran.

"Dev gue mohon lo jangan pernah pergi. Lo harus bertahan Dev." Ardli memohon dengan tulus dan terlihat ada air mata di dalam kelam bola matanya.

Devan memakan baksonya dan mendengus. "Apaan sih gue bukan orang yang gampang nyerah kok. Apalagi gue masih punya janji buat Revan. Udah ah wajah lo gak cocok melow-melowan makin jelek kayak cunguk."

"Nih orang ya belum pernah ngerasain ditendang kudanil." Ardli yang tadinya serius sedikit kesal karena balasan Devan.

Devan memasang pose berpikir. "Pernah kok."

"Lah kapan? Gue mau terima kasih sama tuh kudanil." Tanya Ardli sedikit heran.

Devan menunjuk muka Ardli. "Pan kudanilnya lo Dli."

"Gue tendang beneran lo Devano!" Kesal Ardli pada Devan meski tidak sepenuhnya serius.

Devan tersenyum karena berhasil menjahili Ardli. Baguslah sahabatnya sudah ceria lagi. Meski kenyataan ini memang menyedihkan yang diinginkam Devan hanyalah melihat orang-orang yang disayanginya tetap tersenyum.

.

.

.

.

.

Sementara itu di sebuah kelas lain terlihat 3 orang remaja berkumpul. Salah satu diantara mereka tampak sedang menatap ponselnya dan menuliskan beberapa kata. Matanya sibuk dengan serius menulusuri setiap hal yang ada di dalam ponselnya.

Dua orang lainnya, Raka dan Kian hanya bisa saling pandang satu sama lain. Merasa aneh dengan tingkah sahabatnya yang satu ini yang tidak kunjung ke luar sejak bel istirahat dibunyikan. Raka mendekati Revan, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya membuat sahabatnya iyu sampai tidak mau beranjak.

"Lowongan kerja? Lo cari loker buat siapa Rev?" Raka sedikit heran.

Revan menjawab tanpa mengalihkan fokus pandangannya. "Buat gue Ka."

"Oy oy lo mau kerja karena bosen sekolah? Jangan segitunya kali Rev. Sayang lo tuh bintang kelas, pinter lagi jalanin aja dulu ya." Kian langsung ikut menimpali pembicaraam Raka dan Revan.

Revan berhenti sejenak dari kegiatannya. "Gak lah gue gak bakal sampe putus sekolah kayak gituh. Gue harus cari tambahan uang buat gue, terlebih Devan."

"Devan? Anak itu minta sesuatu yang mustahil ke lo Rev?" Raka tahu kadang permintaan Devan itu tidak masuk akal.

Revan sudah selesai dengan catatannya. "Kalau bisa gue emang pingin bikin sesuatu yang mustahil bagi Devan itu jadi mungkin."

Kian menggelengkan kepalanya. "Tuh anak ya, lo tuh coba jangan nurutin kemauannya terus."

"Gue bakal lakuin apapun asal adek gue sembuh Ka, Yan." Kedua orang itu bisa melihatnya bagaimana Revan menundukkan kepalanya dan pandangan sendu yang begitu mengiris.

Raka tahu ada suatu beban tambahan yang pasti sedang dipikul oleh sahabatnya ini. "Apa terjadi sesuatu pada Devan?"

"Devan gue sakit Ka, dia sakit kanker darah. Gue takut Ka, gue takut oksigen yang harusnya gue hirup suatu saat nanti akan pergi." Kalimat ini mengutarakan semua rasa frustasi milik Revan.

Mulut Kian terkatup. Sementara Raka memegang lembut pundak Revan. "Rev lo harus kuat. Lo tahu bahwa keajaiban Tuhan itu nyata bukan? Lo gak boleh nyerah Rev. Lo harus kuat. Disaat seperti ini lo adalah orang yang harus kuat dari siapapun juga, karena gue yakin Devan bakal terus berjuang karena liat lo yang semangatinnya terus."

"Yang dibilang Raka bener Rev. Asalkan kita terus berusaha dan berdoa, Tuhan akan memberikan hadiahnya." Kian ikut memegang pundak Revan, seolah menyalurkan semangatnya juga untuk Revan.

Revan memandang kedua sahabatnya itu. "Makasih ya, kalian berdua emang sahabat gue yang paling baik."

Revan sangat bersyukur meski ditengah rasa kesepian dan cobaannya yang bertubi-tubi, dia masih memiliki orang-orang yang menyayanginya dan juga adiknya.  Mengingat adik, Revan belum menanyakan kabarnya. Dia mengetikkan pesan singkatnya pada Devan.

To: My Devano adik imut.

Dev lo udah makan kan?

To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang

Udah kok tadi ngebaso.

To: My Devano adik imut.

Gak pake pedes kan? Kalo lo boong gue tau loh.

To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang

Nggak Rev nggak elah gak boong.

To: My Devano adik imut.

Udah minum obatnya? Lo tau kan lo gak boleh telat minum obat.

To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang

Udah 'mommy' udah

To: My Devano imut.

Good boy baby. Tar gue tunggu di parkiran ya baby. Kangen pengen uyel-uyel lo.

To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang

Jijik sumpah. Lama-lama gue bawa lo ke pskiater juga Rev. Gila lo.

To: My Devano imut.

Pan gue gila karena lo Dev.

To: Kakak H*mo kamvret tapi sayang

NAJIS. NAJIS. Pas pulang pasti gue tabok lo Rev!

Revan tersenyum melihat jawaban terakhir yang diberikan Devan padanya. Sebuah kesenangan tersendiri bagi Revan jika berhasil  menjahili sang adik. Revan sudah bisa membayangkan bagaimana ekspresi sang adik saat ini. Mata bulatnya pasti membola dengan memasang pose ngambek. Memikirkan itu membuat Revan gemas sendiri.

Sementara itu Ardli yang tidak sengaja melihat chat diantara kakak beradik itu hanya bisa cengo. Sebenarnya apakah dunia sudah mau kiamat atau apa sih? Sekarang makin banyak hal yang seperti ini.

"Anjir, Dev gue saranin lo mulai saat ini jauh-jauh dari si Revan." Ardli ngeri sendiri untuk membayangkannya.

Devan menatap Ardli dan menghembuskan nafasnya. "Kalau bisa gue bawa dia ke biro jodoh dari dulu."

"Nggak waras nggak waras." Ardli menggelengkan kepalanya.

Tiba-tiba saja bunyi notifikasi pesan di ponsel milik Devan kembali terdengar.

From: Kakak H*mo kamvret tapi sayang

Kalau si Ardli bilang gue gak waras, tiati dia juga ntar gue incer.

Saat itu juga Ardli merasa semakin ngeri. Sementara di kelas sana Revan tertawa puas karena berhasil juga menjahili sahabat Devan.

.

.

.

.

.

.

Hari berikutnya di pagi hari Devan mengernyit bingung melihat Revan memasak sambil bersenandung ceria. Kakak kembarnya itu seperti sedang mendapatkan sesuatu jackpot yang besar. Dia juga tidak mengomelinya karena tadi Devan cukup susah untuk dibangunkan.

Bahkan sampai saat Revan meletakkan semua makanan di meja, kakak kembarnya itu terus bersenandung. Devan merasa khawatir apakah kesehatan jiwa Revan sudah terganggu? Karena penasaran, Devan secara tiba-tiba menarik Devan dan mendudukkannya secara paksa. Meraba kening sang kakak.

"Lah gak panas?" Devan mengeluarkan ekspresi bingungnya.

Revan memandang aneh sang adik. "Lah emang gue gak sakit kok."

"Tapi gue pikir lo sakit sih. Sakit jiwa tepatnya." Devan langsung mengungkapkan.

Revan memandang kesal Devan. "Sembarangan lo! Gue jahit juga tuh mulut."

"Abisnya lo nari-nari gaje, nyanyi-nyanyi gaje. Masih mending sih kalau suara lo enak didenger, lah ini boro-boro." Devan kembali ke posisinya dan mulai memakan sarapannya.

Revan menghela nafasnya, menahan kesal. "Mulut lo tuh ya kalo ngomong. Gak tahu orang lagi seneng apa."

"Seneng? Seneng kenapa? Ditembak cewek lo? Ah syukur deh kalau emang bener, akhirnya lo tobat juga Rev." Devan bersyukur sekali jika memang itu terjadi.

Revan mulai ikut memakan sarapannya. "Cuwak cewek lo ah. Masalah cewek gampang banyak kok yang ngantri ke gue, satu sekolah malah."

Devan mencibir. "Nah nah mulai kan ke-PDannya. Jadi kalau bukan karena cewek kenapa lo cengar-cengir kayak tadi Rev?"

"Gue diterima kerja Dev. Kerja paruh waktu di *WCD. Susah kan cari kerjaan part time, tapi gue langsung diterima dong." Revan terlihat sangat bahagia tidak melihat ekspresi Devan yang mulai menyendu.

Devan berkata pelan. "Emang harus banget ya? Apa ini karena penyakit gue? Sampe lo harus kerja kayak gituh. Gue tau perawatan dan obat yang gue dapet gak murah kan. Gue bebanin lo ya Rev..... Kalau gituh mending.."

"Mending 'Gue gak usah dikemo dan berhenti minum obat aja' kalau gue denger kalimat itu keluar dari mulut lo, gue lebih baik mati sekarang juga!" Kalimat Revan memang tidak membentak tetapi tersirat jelas nada tinggi yang tercantum di dalamnya.

Devan menunduk, mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. "Maaf Rev, gue gak maksud..."

Ada getar yang terdengar keluar dari mulut Devan.  Revan menghembuskan nafasnya, berjalan perlahan menuju sang adik. Direngkuhnya tubuh Devan ke dalam pelukannya. Seolah memberitahu bahwa dia tidak marah padanya.

"Gue lakuin semua ini buat lo Dev, jadi tolong jangan pernah bilang kayak gitu lagi. Karena bagi gue, semua impian yang gue miliki udah ada di lo Dev." Revan berucap dengan sangat lembut.

Ada setitik air yang terjatuh dari sudut mata Devan namun segera dihapusnya. Devan mulai menganggukkan kepalanya. "Gue juga akan berjuang Rev, makasih karena lo selalu jadi penopang hidup gue."

"Gue juga makasih dek, karena kamu udah jadi oksigen yang bisa kakak hirup ditengah semua cobaan ini. Jadi kakak mohon sekali lagi jangan pernah coba untuk menghilang oke?" Revan mengacak surai lembut milik Devan.

Meski hatinya sangat penuh keraguan, Devan menganggukan kembali kepalanya. Apa boleh dia membuat janji lagi untuk Revan? Di saat janji yang sebelumnya belum tentu bisa dirinya penuhi.

.

.

.

.

.

.

Di kelas IPS Devan suasana nampak meriah dan riuh. Kali ini mereka tengah membahas mengenai acara makrab. Malam keakraban yang diadakan setiap setahun sekali. Ini sangat dinantikan oleh semua murid di kelas IPS itu. Bahkan oleh Devan. Dia tahun kemarin juga ikut, acaranya sangat seru dan mengasyikan apalagi dengan pemandangan gunung yang menakjubkan.

Akhirnya semua murid sudah memutuskan bahwa makrab mereka akan diadakan di daerah Ciwidey Bandung. Tentu saja hal itu semakin membuat Devan terlihat senang. Dia belum pernah kesana sebelumnya. Sampai pulang sekolah keceriaan tidak kunjung luntur dari wajahnya.

Sampai pulang akhirnya Devan membicarakan hal yang sedang diinginkannya. Tetapi pada saat itu juga keceriaannya memudar. Revan memandangnya dengan lurus. Pandangannya tajam seolah tidak ingin dibantah.

"Gak boleh." Tegas dan lugas.

Devan memprotes keputusan Revan. "Kenapa gak boleh? Tahun kemarin aja gue ikut."

"Tapi pulangnya lo demam tinggi dan gak sekolah selama tiga hari." Revan menjelaskan kejadian tahun lalu.

"Rev, kalau gue maksa tetep mau pergi gimana?" Devan tetap memaksakan kemauannya.

Revan mendelik, menatap marah pada Devan. "Sekarang gue balikin. Kalau gue tetap maksa lo gak boleh ikut gimana?"

"Rev, cuma satu hari satu malam itu juga pergi sabtu pulang minggu siang. Disana juga ada temen-temen yang lain. Ardli juga ada." Sekali lagi Devan mencoba membujuk kakak kembarnya.

Revan menggelengkan kepalanya, keputusannya tetap sama. "Bisa gak sih gak usah ngeyel kalau dikasih tahu?"

"Gue gak ngeyel, gue cuma lagi minta izin dari lo. Yodah kalau lo gak ngasih izin gue minta izin ke tante Andrea aja." Devan mencoba mencari alternatif lain.

Revan mencoba menahan amarahnya tetapi gagal. "Devano!" Bentakan keluar dari mulut Revan. "Sekali gue bilang gak boleh berarti gak boleh! Kondisi lo tuh udah beda dari dulu! Sadar diri!"

Devan mematung mendengarnya. Cukup syok dengan kalimat terakhir Revan. Hingga akhir Revan tidak mengubah keputusannya. Devan juga sudah tidak bisa membantahnya dengan kalimat apapun. Karena sudah tidak mau berdebat lebih panjang lagi, Revan memutuskan untuk masuk ke kamarnya tanpa mau menoleh pada sang adik.

.

.

.

.

.

Keesokan harinya berjalan seperti biasa, seolah pertengkaran semalam sama sekali tidak terjadi. Revan yang bersikap seperti biasanya, mengomel karena Devan susah dibangunkan dan kejahilannya untuk menggoda sang adik. Devan juga melakukan hal yang sama. Dia tidak ingin memperpanjang hal yang kemarin malam terjadi. Karena Devan tidak mau melihat Revan marah lagi.

Revan dan Devan memakan sarapannya dengan tenang. Ini hari jumat, pelajaran di sekolah juga cukup sedikit. Waktu untuk masuk kelas pun masih terbilang cukup lama, jadi mereka bisa sedikit bersantai dulu. Terlebih untuk Devan, dia bisa memainkan game kesayangannya. Mata milik Devan terus saja tidak beralih dari benda kotak yang ada di tangannya.

Revan sendiri sudah menyelesaikan sarapannya. Dia mulai membereskan piring bekas makannya. Namun ketika melirik Devan, anak itu sama sekali belum menghabiskan sarapannya. Revan menggeleng saat melihat Devan sedang sibuk bermain game.

Revan sengaja menunggu agar Devan cepat menghabiskan sarapannya. Tetapi sudah mau 10 menit berlalu, anak itu tidak menyentuhnya juga. Karena kesal dengan cepat Revan menghampiri Devan dan mengambil ponselnya itu.

"Ah Rev siniin hp gue, kalau mau main lo juga kan punya hp sendiri!" Devan kesal karena Revan mengambil ponselnya tiba-tiba.

Revan memasukkan ponsel Devan segera ke dalam tas miliknya. "Sarapan lo abisin dulu terus minum obat, baru gue kasihin nih hp."

"Bentar kali, masuk kelas juga masih lama tar juga gue abisin kok. Siniin cepetan daily gue belum kelar itu." Devan mulai mencoba mengambil tas Revan untuk mendapatkan ponselnya.

Sayang tangan Revan lebih cepat memegang ponsel Devan. "Bodo amat, nih gue uninstall nih game."

"Gue makan nih gue makan Revano, susah lagi kalau lo unistall gue harus ulang dari awal lagi nanti." Devan tau kalau Revan itu tidak pernah main-main dengan ancamannya.

Revan tersenyum menang. "Oke gue sita dulu hp lo sampe lo selesai minum obat."

"Cerewet dasar ibu-ibu." Devan mencibir pelan.

Revan bertanya dengan pandangan menyeramkannya. "Bilang apa lo barusan?"

"Gue bakal sarapan terus minum obat Kak Revanku sayang." Devan sengaja menekankan kata-kata di kalimat terakhirnya tadi.

Senyum kemenangan kembali terhias di wajah Revan. Devan sudah melakukan apa yang diperintahkannya, bahkan adiknya itu juga membereskan bekas makannya. Sebuah kemajuan ah atau mungkin keajaiban yang luar biasa. Baru saja mereka akan berangkat menuju sekolah, Revan menerima sebuah telepon.

Ternyata dia mendapat telepon dari atasannya. Revan diminta untuk menggantikan salah satu karyawan disana yang tidak dapat masuk di akhir pekan. Dia juga diminta untuk menginap karena toko itu akan mengadakan sebuah event yang cukup besar. Revan sangat ingin menolak tapi dia tidak bisa, apalagi dia baru kemarin-kemarin diterima disana. Pada awalnya Revan sedikit khawatir setelah menjelaskan ini pada Devan, tetapi adiknya itu terlihat baik-baik saja dan meyakinkan Revan bahwa dia bisa menjaga dirinya dengan baik.

Tanpa diketahui Devan memang sedikit senang karena Revan ada pekerjaan mendadak seperti itu, dengan acara menginap segala. Kalau begitu Devan mempunyai cara untuk ikut acara makrab di hari tersebut bersama teman satu kelasnya. Maafkan Devan, kali ini dia memang tidak bisa melewatkan kegiatan tersebut.

.

.

.

.

.

.

Weekend ini jadi hari yang sempurna bagi Devan. Setelah semua hal yang terjadi Devan memang merasa dirinya membutuhkan refreshing. Untung saja Revan sudah pergi dari jam 5 pagi tadi. Devan dengan tenang mempersiapkan barang-barangnya dan mulai pergi ke sekolah dimana mereka menetapkan tempat berkumpul disana.

Ardli cukup terkejut melihat Devan yang juga ikut dalam makrab kali ini. Bukannya Devan dilarang untuk ikut dalam acara makrab tahun ini? Bagaimana bisa anak itu datang dengan wajah ceria ke tempat ini sekarang.

Devan dengan cepat duduk di atas sepeda motor milik Ardli. Sementara Ardli tetap memasang wajah kebingungannya. Melihat itu Devan mengerti bahwa Ardli membutuhkan penjelasannya.

"Gue boleh ikut kok tenang aja." Devan memberikan penjelasannya.

Ardli bertanya heran. "Tapi Dev, gue tau banget kalau Revan itu gak pernah ngubah keputusannya. Kok bisa?"

"Revan lagi ada kerjaan ngedadak dia pulangnya besok pas kita juga pulang. Jadi gak akan ketahuan kalau gue ikut makrab." Devan memberi tahu Ardli agar sahabatnya itu tidak terlalu panik.

Ardli terkejut mendengar penjelasan Devan. "Lo ngapain coba? Revan kalau tau bisa marah besar dia. Udah ah mending gue anter lo balik lagi."

"Plis lah Dli gue udah kelamaan diem di rumah mulu, sekali-kali gue juga butuh refreshing. Refreshing juga bagus kok buat kesehatan." Devan merayu sahabatnya ini dan jangan lupa dengan tatapan memelasnya.

Ardli menghembuskan nafasnya kasar. "Ok. Ok. Lo ikut. Tapi lo harus tetep barengan sama gue, jangan lakuin aktivitas berat apapun."

"Lah kok gituh sih? Emangnya gue masih kecil apa?" Devan menolak perlakuan Ardli tersebut.

Ardli tetap pada keputusannya. "Kalau gak mau sekarang juga gue anter lo balik lagi ke Revan."

Devan memutar bola matasnya malas.  "Iyah! Gue nurut! Lama-lama lo jadi nyebelin kayak Revan tau gak."

"Bodo amat, ayo berangkat sekarang." Ardli tidak mempedulikan protesan Devan.

Mereka semua mulai berangkat menuju lokasi. Devan memandang sekitarnya dengan berbinar. Sudah lama sekali dia tidak melihat pemandangan dan merasakan udara segar seperti ini. Setelah tiba mereka langsung membangun tenda.

Devan Ardli berada di dalam satu tenda yang sama. Banyak kegiatan alam yang mereka lakukan. Devan juga ikut serta, walau Ardli yang lebih banyak melakukan aktivitas. Udara disini sangat segar, pantas saja banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri yang mengunjungi tempat ini.

Di sisi lain ternyata Revan sudah pulang malam ini. Eventnya berakhir lebih cepat dari dugaan. Jadi dia tidak perlu menginap. Revan sangat senang jadi dia tidak perlu meninggalkan Devan cukup lama. Tetapi dahinya langsung mengerut saat mulai memasuki rumah.

Tidak biasanya rumah dalam keadaan gelap. Devan itu selalu menyalakan lampu. Entah kenapa perasaan Revan menjadi sangat tidak tenang. Dia segera menuju kamar Devan. Namun keadaan kamar itu sangat rapi. Hal yang membuat jantungnya berpacu dengan sangat cepat adalah karena Revan tidak menemukan keberadaan adiknya disana.

Revan mencari keberadaan Devan dimana-mana, tetapi tidak kunjung dia temukan juga. Revan juga menelepon Andrea tantenya meski tengah malam begini. Tetapi Andrea menjawab bahwa Devan tidak ada di tempatnya saat ini. Revan panik takut terjadi hal yang sangat tidak diinginkan terjadi pada Devan. Berbagai hal buruk terlintas di pikirannya.

Revan langsung mencoba menghubungi ponsel Devan. Dia cukup bernafas lega ketika ponselnya sudah tersambung. Tetapi lama sekali Devan mengangkatnya. Matanya langsung melebar ketika suara seseorang mulai menyapanya.

"Dev lo dimana? Gue gak nemuin lo di rumah? Lo gak kenapa-napa kan?" Revan langsung menyerbunya dengan pertanyaan.

Tidak ada lagi jawaban yang membalasnya.

"Devano kalau kakak lo nanya tuh jawab!" Revan jadi panik kembali karena Devan tidak menjawabnya lagi.

Sekarang ada sebuah suara familiar yang mulai terdengar. "Dli ngapain lo pegang-pegang hp gue, berisik tau tidur lagi besok baru pulang kan."

"Re..revan Dev... Dia udah pulang." Ardli bicara sangat pelan.

Devan menguap tidak menanggapi. "Apaan sih, si Revan baru pulang besok sama kayak kita. Lo ngelindur kali."

Ardli langsung menunjukkan nama yang tertera disana. Devan langsung bangun dan segera mengambil ponselnya dari tangan Ardli. "R....R .... Rev kerjaan lo udah beres?"

"Sebutin lo dimana sekarang." Dingin, tidak ada ekspresi dari wajah Revan.

Devan berucap pelan. "Acara makrab yang di Ciwidey."

"Sekarang juga beresin barang lo, gue jemput kesana." Lagi-lagi Devan tidak bisa menangkap ekspresi Revan.

Ini sudah sangat malam, Devan menolaknya. "Gue besok pulang kok bareng yang lain, gue juga baik-baik aja disini."

"Gue. Kesana. Sekarang." Penuh penekanan. Hingga akhirnya Revan memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.

Seperti orang gila Revan mengendarai sepeda motornya. Dia tidak mempedulikan semua suara kendaraan yang mengklaksoninya. Di pikirannya saat ini hanyalah Devan. Hanya dalam waktu setengah jam Revan sudah tiba di lokasi.

Dengan kasar dia memarkirkan sepeda motornya. Matanya dengan tajam menelusuri arah mencari keberadaan seseorang.

"Kak Revan..." Devan berucap pelan sekali terlalu takut dengan kilat yang penuh amarah itu.

Revan segera mengambil tas Devan dan memakainya. Menarik lengan Devan dengan keras. Revan sama sekali tidak mengeluarkan suaranya barang sedikitpun. Devan meringis karena tarikan Revan.

Ketakutannya semakin bertambah saat Revan mulai memboncengnya. Revan melajukan sepeda motornya dengan sangat cepat. Devan menunduk takut. Semarah-marahnya Revan, dia tidak akan sampai seperti ini. Mereka sudah tiba di rumah dengan cepat. Revan membanting pintu masuk rumh dengan sangat keras. Dia mendudukkan Devan dengan kasar di atas kursi. Sementara adiknya itu masih menunduk, terlalu takut untuk sekedar memandang wajah Revan.

"Asal lo tahu kekecewaan gue ke lo lebih besar dari semua kemarahan gue ke lo Devano." Revan berucap dengan sangat dingin dan berlalu meninggalkan sang adik begitu saja.

Devan sudah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Lebih baik Revan memarahi ataupun memukulnya saja daripada seperti ini. Dia sangat sakit mendegar kalimat itu. Bagaimana dia melihat bahwa sirat amarah itu ternyata lebih banyak mengandung luka.

Revan menulikan pendengarannya meski isakan sang adik terdengar semakin keras.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue......

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!