NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:834
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5.Tertangkap Basah

Cahaya siang tumbuh perlahan di jendela, membentuk gurat keemasan di dinding kusam apartemen. Di cermin, kuku‐kukuku bergetar saat ku oleskan lipstik warna mawar gelap—warna yang biasanya kupakai untuk menipu mata, bukan untuk dilihat apa adanya.

Kalea duduk di tepian ranjang, kaki terlipat, mata tajam memperhatikanku sama seperti delapan tahun lalu di panti asuhan ketika ia memeriksa lututku yang lecet.

“Kau tidak harus datang,” katanya.

“Justru aku harus,” bisikku. “Kalau aku kabur, maka dia menang.”

Kalea berdiri, menelusuri kamar, jemarinya meremas ujung kaus. “Kemenangan macam apa yang kau incar? Dia sudah membuatmu kehilangan pijakan hanya dengan satu video.”

Aku menoleh, menahan napas agar suara tak pecah. “Aku perlu tahu siapa yang sebenarnya membalik papan catur. Aku butuh tahu apakah aku masih Aurora yang mengendalikan permainan—atau hanya bidak yang menunggu diambil.”

Diam panjang. Lalu Kalea memelukku dari belakang. Detak jantungnya beradu dengan detak ku—dua gadis panti yang pernah bersumpah takkan menyerah pada dunia. “Kalau ia menyakitimu,” bisiknya, “aku hancurkan dia, Rora.”

“Giliran aku menjaga jalan pulang kita,” balasku, meski kata‐kata terasa getir di lidah.

---

 

Kensington Lounge menolak cahaya neon dan musik keras; di sini semuanya putih bersih, sejuk, dan mahal. Lantai marmer dipoles sedemikian rupa hingga memantulkan siluet siapa pun yang ragu.

Tristan duduk di pojok ruangan, punggung tegap, tangan kiri memegang gelas kristal—hanya air putih dingin, belum disentuh. Seperti malam di Violetta, matanya tak pernah diam, tapi tatapannya tak berkeliaran sia‐sia; seolah ia mengarsir sketsa takdir di udara.

Aku mengatur napas, melangkah mendekat.

“Tepat waktu,” katanya pelan ketika aku menarik kursi. “Kupikir kau akan bersembunyi.”

“Bersembunyi tak pernah ada di kontrak hidupku.”

Tristan mengangkat alis tipis. “Kau dan kontrak. Menarik.”

Pelayan mendekat; aku memesan teh chamomile, hanya agar ada yang kuteguk ketika aku memerlukan jeda. Begitu pelayan pergi, keheningan turun di antara kami seperti tirai tebal.

“Aurora,” mulai Tristan, menyebut namaku perlahan, seolah mencicipi bunyi setiap suku kata. “Tahukah kau apa hal paling berbahaya di dunia penipuan?”

“Kamera tersembunyi?”

“Tidak,” ia menoleh lembut, bibirnya melengkung tipis. “Kejujuran yang muncul pada waktu yang salah.”

Aku memejam mata sesaat, mencoba menahan denyut di pelipis. “Jadi kau ingin aku jujur di sini? Sekarang?”

“Tidak perlu. Aku ingin… melihat kapan jujur itu menyakitimu.”

Kata‐katanya menusuk lebih dalam dari ejekan mana pun. Aku mencondongkan tubuh, menjaga suara tetap stabil. “Kau memfilmkan malam itu.”

“Klub itu memfilmkan semuanya,” ralatnya tenang. “Aku hanya membeli rekamannya. Hank—manajer keamanan—punya hobi judi. Uang membuatnya lupa azas kerahasiaan.”

Aku menarik napas panjang. “Apa yang kau inginkan sebagai balasan diam?”

Tristan menaruh gelas, menyilangkan jari. “Balasan?” Ia terkekeh, rendah, nyaris sendirian di udara dingin lounge. “Aurora, aku tak sedang memerasmu.”

“Lalu apa?” suara­ku pecah sepersekian, lebih seperti teriakan anak remaja ketakutan ketimbang perempuan dewasa bergaun safir. “Kau pertontonkan video itu, kau bilang ingin lihat topengku runtuh. Apa itu bukan pemerasan… psikologis?”

Ia mencondongkan badan, napasnya hanya satu jengkal dariku. “Kurasa kau tak pernah benar‐benar ditelanjangi. Kau terbiasa melepas kancing emosimu sendiri, menawarkannya seperti suvenir kepada pria‐pria kesepian. Tapi tak ada yang melihatmu hingga ke tulang. Aku ingin tahu seperti apa Aurora ketika semua lapisan hilang.”

Aku terdiam. Ruangan terasa lebih panas, meski AC berhembus lembut. “Kau pikir aku semenarik itu?”

Tristan mengerjapkan mata pelan. “Menarik bukan kata yang kupakai. Kau—membuatku penasaran. Di bawah lakonan mu, ada sesuatu yang berjuang. Dan aku menghargai keberanian apa pun yang berjuang.”

Ketika aku hendak menjawab, teh chamomile tiba. Asap tipisnya naik, mewarnai hening kami. Tanganku bergetar halus saat memegang cangkir.

“Aku menulis naskahku sendiri,” kataku akhirnya, menatap permukaan teh yang beriak ringan. “Malam itu di Violetta, kau merusak bab pertengahan.”

“Tak akan rusak kalau kau sanggup menulis ulang.”

“Menulis ulang… denganmu sebagai editor?”

“Ibuku penulis naskah,” ujar Tristan mendadak. Mata obsidian itu melunak secuil, seolah tirai singkat disibak. “Ia selalu bilang, ‘kalimat paling jujur muncul ketika karakter di ujung tebing’. Kau di tebing itu, Aurora.”

Napas ku tercekat. “Kau menjatuhkan aku.”

“Tidak,” bisiknya. “Aku berdiri di samping dan menunggu apakah kau terbang atau tercebur.”

Sejenak aku melihat sesuatu di matanya: gurat lelah yang sama seperti milikku saat menatap cermin pukul tiga pagi dan bertanya masihkah jiwa ini utuh.

“Kenapa begitu peduli?” tanyaku. “Kau bahkan tak kenal aku.”

“Kupikir,” Tristan menautkan jemari, “orang‐orang yang paling hancur bisa saling mengenali meski tak saling kenal.”

Kata‐kata itu mengguncang. Bibirku terbuka lalu tertutup, dada bergetar. “Jika kau harap aku mengaku, aku memang pecundang yang menjual fantasi.”

Ia menggeleng perlahan, suaranya merendah. “Pecundang tidak menjaga sahabat seperti Kalea. Pecundang tidak menolak menjual tubuh meski begitu mudah dijual. Kau cuma—terluka. Dan luka itu jadi senjata.”

Air panas chamomile menyengat lidahku; rasanya seperti meminum penyesalan cair. “Senjata bisa berbalik,” desis ku. “Luka bisa membunuh pemiliknya.”

“Karena itu kau butuh orang yang berani memegang bilahnya bersama‐sama.”

Aku menatapnya—tatapan lama dan panjang—dan untuk kali pertama kulihat pantulan diriku di mata obsidiannya, bukan sebagai penipu, tapi perempuan muda yang hilang arah.

“Bagaimana kalau aku tidak mau dipegang?”

“Luka akan berdarah lebih cepat,” katanya pelan, “tapi masih pilihanmu.”

Dalam kepala, suara Kalea bergaung: Rora, rasa ingin tahu itu bisa membunuh kita.

Ku letakkan cangkir, berdiri dengan hati yang terasa seperti pipa kaca tipis. “Aku belum memilih apa pun. Dan kau belum memegang apa pun.”

Tristan tak menahan ku, tapi suaranya menempel di punggungku saat aku berbalik. “Jangan terlambat memilih, Aurora. Di papan catur ini, waktu tak pernah adil.”

Langkahku goyah keluar lounge. Begitu pintu kaca tertutup di belakangku, napas jatuh bagai runtuhan tembok. Mata terasa panas, bukan oleh teh, tapi sesuatu yang lebih purba—takut sekaligus tertarik pada pria yang baru saja memperlihatkan sebagian dirinya namun menuntut seluruh ku.

---

 

Kalea menunggu di halte tak jauh, wajahnya pucat diterpa matahari siang. Aku memeluknya mendadak—pelukan yang terlalu cepat dan terlalu erat hingga punggungku nyeri.

“Aku… tertangkap basah,” bisikku di bahunya.

“Dia menyakitimu?”

“Tidak. Lebih buruk. Dia melihatku.”

Kalea menarik ku menjauh, menatap lekat, seolah mengecek apakah ada retak di tulang pipiku. “Kita bisa berhenti, Rora. Sekarang.”

Aku menggeleng lambat, air mata nyaris tumpah. “Kalau aku berhenti, berarti seluruh kebohongan ini menang. Aku harus tahu kenapa dia… mengerti aku.”

Kalea menggenggam tanganku, tangannya dingin. “Kalau begitu kita ubah rencana. Kau tak lagi sendirian di papan. Kita main berdua.”

Aku menarik napas gemetar. Di udara panas Jakarta, angin nyaris tak bergerak, tetapi dalam dadaku badai muncul. Untuk pertama kalinya sejak usia enam belas, aku takut bukan pada dunia—melainkan pada keinginan dalam diriku sendiri untuk dilihat, dipahami, dan dimaafkan.

Dan di kejauhan, suara lalu lintas siang terasa sepi, karena pikiran berulang di benakku: jika Tristan sudi memegang bilah luka ini, apa aku siap membiarkannya menusuk lebih dalam demi tahu rasanya hidup tanpa topeng?

.

.

.

Bersambung

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!