Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang Lengket
Pagi hari di Jakarta. Matahari menyengat tanpa belas kasihan, memantul di atas aspal panas dan kap mobil berdebu. Suasana padat seperti biasa—deru motor, klakson, pedagang kaki lima berteriak menawarkan lontong sayur dan rokok eceran. Tapi untuk Ajie, semuanya terasa asing.
Langkahnya berat menyusuri trotoar sempit di bilangan Kalideres, mengikuti Melly yang berjalan di depannya sambil membawa tas kanvas besar.
"Ke mana kita?" tanya Ajie, suaranya agak serak setelah semalaman tak tidur.
"Ke sumbernya," jawab Melly singkat.
“Lo bisa gak ngomong kayak orang normal, bukan kayak agen rahasia?”
Melly menoleh sekilas, senyum sinis menghiasi wajahnya. “Kalo lo tahu separah apa kasus ini, lo bakal pengen pake topeng juga.”
Ajie mendesah, lalu mempercepat langkahnya. Bahu mereka nyaris bersentuhan saat mereka berbelok ke gang sempit yang tembus ke pasar onderdil—tempat yang hanya diketahui oleh para montir veteran dan pemburu suku cadang langka. Tempat ini bukan cuma pasar, tapi semacam urat nadi dari dunia bengkel bawah tanah.
“Tunggu... kita ke sini?” gumam Ajie. “Dulu tempat ini jual kampas rem bajakan sama kabel bodong.”
“Sekarang mereka juga jual informasi,” bisik Melly.
Mereka masuk ke sebuah kios kecil di ujung gang—tertutup terpal dan bau besi tua yang menusuk. Di dalam, seorang pria tua berambut putih berdiri membelakangi mereka, sedang membersihkan semacam pompa oli besar.
“Bang Ucup,” sapa Melly pelan.
Pria itu menoleh. Matanya kecil, licik, dan tak pernah lepas dari pandangan mencurigai.
“Melly...” gumamnya. “Kukira lo udah mati di Thailand.”
“Masih ada napas sedikit,” jawab Melly sambil mengangkat dua jari. “Gue butuh data. Tentang pengiriman cat dari perusahaan luar. Yang ilegal.”
Bang Ucup menyipitkan mata. “Cat?”
Ajie melangkah maju. “Yang warnanya nggak normal. Mengkilap kayak logam. Disuplai ke bengkel tempat gue kerja.”
Pria tua itu mengerutkan kening. Lalu ia mengambil kunci, membuka laci berkarat, dan mengeluarkan map plastik penuh dengan kertas kusam dan label-barcode.
“Mereka nyebutnya Project WN-13,” katanya. “Cat khusus buat kendaraan militer ringan. Tapi bocor ke industri sipil. Pake jalur pasar gelap. Lo kerja di Bengkel Laksana, ya?”
Ajie mengangguk cepat.
“Ya... mereka dapet batch dari importir tak resmi. Dikirim dari Batam, masuk lewat pelabuhan kecil. Ada cap perusahaan Altheron, tapi semua disamarkan.”
Melly menunduk membaca salinan faktur yang ditunjukkan Bang Ucup. Logo Altheron disamarkan sebagai nama perusahaan cat lokal: "PT Warna Hidup."
"Licik banget," gumam Melly.
Ajie hanya bisa menatap daftar itu. Semuanya legal di atas kertas, tapi ia bisa melihat celah-celah manipulasi. Tanda tangan palsu. Stempel logistik tiruan. Dan sekarang cat itu ada di dalam tubuhnya.
“Kalau mereka tahu lo masih hidup,” kata Bang Ucup sambil melirik tajam ke Ajie, “lo bakal jadi target. Entah buat dihabisin... atau dikurung buat dijadiin kelinci percobaan.”
Ajie bergidik.
“Terima kasih, Bang,” kata Melly cepat, lalu menggamit lengan Ajie. “Kita pergi.”
Begitu mereka keluar dari kios, Ajie menarik nafas dalam. “Gue gak percaya ini beneran kejadian. Semua ini kayak... film fiksi ilmiah.”
Melly menatapnya sebentar. “Ini dunia yang lo masukin sekarang. Dan sayangnya, pintunya udah lo lewatin.”
Mereka berjalan cepat menuju parkiran motor tua milik Melly. Sebuah CB lama, meski bodinya kumal, suaranya masih halus. Melly menyerahkan helm ke Ajie.
“Gue gak suka bonceng cewek,” kata Ajie setengah bercanda.
“Gue juga gak suka bonceng cowok,” sahut Melly sambil nyengir.
Mereka tertawa pendek, lalu tancap gas meninggalkan pasar onderdil. Tapi belum jauh, suara sirene polisi tiba-tiba terdengar dari belakang. Dua mobil Patwal memotong jalan, lalu satu unit kendaraan lapis baja tak dikenal muncul dari arah berlawanan.
“Apa-apaan ini?” seru Ajie.
“Pegangan!” seru Melly.
Motor menukik tajam ke gang sempit, nyaris menabrak gerobak siomay. Tembakan peringatan terdengar dari belakang. Orang-orang berhamburan.
“Kenapa mereka nembak?” tanya Ajie panik.
“Mungkin karena lo viral, Jie!” balas Melly. “Atau mereka bukan polisi beneran!”
Ajie menoleh, dan matanya menangkap sesuatu yang aneh. Dari salah satu kendaraan yang mengejar, muncullah sosok tinggi besar memakai seragam mirip taktis, tapi tanpa logo apapun. Wajahnya tertutup masker logam. Tapi yang paling mengerikan adalah lengannya—bukan lengan manusia. Sebuah alat seperti penyembur dipasang di tangan kanan.
Dorr!!
Ledakan kecil meledak di depan mereka. Jalanan bergetar. Melly membelok mendadak dan nyaris jatuh, tapi bisa menguasai motor.
“Lo punya ide?” teriak Ajie.
“Gue selalu punya ide!” jawab Melly sambil merogoh tas selempangnya.
Dari dalamnya, ia menarik sesuatu—semacam tabung silinder dengan kabel-kabel terjuntai. Dalam waktu singkat, dia sambungkan ke knalpot motor. “Tahan napas!”
Saat tombol dipencet, knalpot menyemburkan kabut tebal berwarna hitam pekat seperti bom asap.
Motor mereka menghilang dari pandangan musuh.
Setelah hampir satu jam menyusuri jalanan belakang dan kanal kecil, mereka berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran Rawamangun. Di sinilah Melly menyembunyikan basecamp sementaranya.
Begitu masuk, Ajie langsung terjatuh ke lantai beton, kelelahan.
“Ini semua... kebanyakan buat satu hari,” gumamnya.
Melly menaruh tasnya, lalu membuka sebuah laci berisi perkakas. Ia tak langsung bicara. Wajahnya kini lebih serius dari sebelumnya.
“Lo lihat tadi siapa yang ngejar kita?”
Ajie mengangguk pelan.
“Bukan polisi. Mereka dari unit swasta. Mungkin salah satu pasukan hitamnya Altheron. Dan itu artinya…”
“Mereka tahu gue masih hidup,” potong Ajie.
Sunyi.
“Lo gak bisa balik ke rumah sekarang,” kata Melly. “Gue punya satu tempat lagi. Tapi sebelum itu... kita harus pastikan lo ngerti gimana kekuatan lo bekerja.”
Ajie duduk. “Maksud lo?”
“Lo bilang tadi: warna cat keluar sesuai emosi, kan?”
Ajie mengangguk.
Melly membuka map yang tadi mereka dapat. Ia menunjukkan satu diagram rumus bahan cat, lalu membuka buku catatan miliknya—penuh coretan, grafik, dan sketsa reaksi kimia.
“Gue curiga tiap warna merespons senyawa hormon berbeda dalam tubuh. Misalnya, merah muncul saat lo marah. Biru saat takut. Kuning saat panik. Hijau... bisa jadi saat lo ngerasa terjebak atau pengen kabur.”
Ajie mengusap wajah. “Jadi, emosi gue nyambung ke senyawa kimia dalam cat ini? Gue kayak... kaleng semprot hidup?”
“Bisa dibilang begitu.”
Ajie tertawa lelah. “Sial banget hidup gue.”
Melly menatapnya. “Lo masih punya pilihan, Jie. Lo bisa kabur... atau lo bisa lawan. Tapi lo harus ngerti dulu siapa lo sekarang.”
Ajie terdiam. Lalu menatap tangannya. Ia mengepalkannya. Perlahan, dari sela-sela jari, muncul cairan merah mengilap—bergetar, seperti mendengarkan perintah.
“Gue gak tahu bisa kontrol ini atau nggak…”
“Tapi lo udah mulai mencoba,” sahut Melly.
Ajie mengangguk.
Dan untuk pertama kalinya sejak ledakan itu, ia merasa... sedikit lebih siap menghadapi hari esok.