Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.
Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.
Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Rahasia di Sudut Kamar
Hari itu, kampus terasa lebih riuh dari biasanya. Matahari bersinar terik, namun Arga merasa seperti berada dalam kabut yang pekat. Pikirannya masih melayang pada pertemuan semalam pada pelukan Kalista, pada bisikan ragu yang ia dengar ketika tubuh mereka bersatu. Dan terlebih lagi, pada wajah Arman yang tak sengaja ia lihat pagi itu saat keluar dari apartemennya.
Arga duduk di sudut kafe kampus, memesan kopi pahit yang belum tentu akan diminumnya. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah tempat para mahasiswa hilir-mudik, tertawa dan bercanda seolah dunia mereka bersih dari konflik batin dan rahasia kelam.
Tiba-tiba suara langkah ringan mendekat. Kalista muncul di hadapannya, mengenakan blus putih sederhana dan celana jeans ketat. Rambutnya dikuncir ke belakang, memperlihatkan leher jenjangnya yang masih membekas dalam ingatan Arga. Ia langsung duduk tanpa banyak bicara, lalu memesan teh.
“Kau gila muncul di sini,” gumam Arga pelan, menatap sekeliling memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.
“Aku butuh bicara,” jawab Kalista tanpa basa-basi.
Arga menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai tak beraturan. “Kau bertemu Arman pagi tadi, bukan?”
Kalista menatap kosong ke cangkir tehnya yang masih mengepul. “Di lobi. Dia tak bertanya apa-apa, tapi aku tahu tatapannya. Dia mencurigai sesuatu.”
“Brengsek,” gumam Arga, mengepalkan tangan.
“Aku takut, Arga. Bukan hanya untuk diriku. Tapi untukmu juga.”
Arga meraih tangan Kalista di bawah meja, menggenggamnya erat. “Kita akan cari jalan. Aku janji.”
Kalista menatapnya. Di matanya ada keraguan, tapi juga rasa percaya yang mulai tumbuh. Arga merasa seperti sedang menggenggam api panas, berbahaya, tapi sulit dilepaskan.
Beberapa mahasiswa lewat di dekat mereka. Kalista buru-buru menarik tangannya, bersikap normal. Tapi sorot mata mereka tak bisa dibohongi. Ada percikan yang terus menyala, meski disembunyikan dalam diam.
Setelah cukup lama duduk bersama, Kalista berdiri. “Ikut aku,” katanya singkat.
Arga menurut tanpa bertanya.
Mereka menyelinap ke salah satu gedung fakultas yang sudah sepi. Sebuah ruangan kecil di ujung lorong, gelap dan dingin, menjadi tempat mereka bersembunyi. Lampu mati, tirai tertutup, dan hanya cahaya samar dari luar yang masuk lewat jendela kecil di atas pintu.
Kalista menatap Arga, wajahnya gelisah. “Katakan padaku… kita ini nyata, kan? Bukan hanya pelarian?”
Arga mendekat. Ia meraih pinggang Kalista dan membawanya ke dalam pelukan. “Kita nyata. Apa yang kurasakan padamu bukan kebohongan.”
Dan sebelum Kalista sempat berkata apa-apa lagi, bibir Arga menempel di bibirnya. Sebuah ciuman panjang dan dalam, penuh rindu, penuh rasa takut. Mereka mencium dalam diam, hanya suara napas dan detak jantung yang saling bersahutan.
Di sudut kamar gelap itu, dua insan berdosa menciptakan surga sesaat mereka sendiri.
Kalista menyandarkan kepalanya di dada Arga, napasnya masih memburu. Aroma tubuh Arga yang khas, perpaduan antara keringat dan parfum maskulin, membuatnya semakin terhanyut. Di tengah ruangan sempit dan remang itu, mereka saling membungkus dalam pelukan panjang yang seolah ingin menunda kenyataan.
“Aku tahu ini salah…” bisik Kalista lirih, jemarinya menggenggam kerah kemeja Arga erat. “Tapi aku juga tahu… aku tak bisa berhenti memikirkanmu.”
Arga mengusap punggung Kalista lembut, mencoba menenangkan gejolak yang juga ia rasakan dalam dirinya sendiri. “Kalau ini salah, biarkan aku tetap tenggelam dalam kesalahan ini. Karena hanya di hadapanmu, aku merasa hidup.”
Kalista menengadah, menatap mata Arga dalam kegelapan. Wajah mereka begitu dekat, hanya beberapa inci saja jaraknya. Lalu Arga mengecup kening Kalista pelan. “Aku ingin memilikimu. Bukan sebagai rahasia, tapi sebagai milikku yang utuh.”
“Tapi aku masih milik Arman,” bisik Kalista, wajahnya menegang.
Pernyataan itu membuat Arga mematung. Kenyataan pahit itu menghantam seperti ombak keras ke batu karang. Ia menarik napas dalam, mencoba menelan fakta yang membuat darahnya mendidih.
“Kenapa masih bersamanya?” tanya Arga akhirnya, suaranya lirih namun tegas.
Kalista terdiam sejenak sebelum menjawab. “Karena aku tidak punya pilihan. Karena dia yang membayarkan semua kebutuhanku. Karena dia menyelamatkanku ketika aku berada di titik paling rendah dalam hidupku.”
Arga menatap Kalista penuh rasa iba. Tapi di balik itu, ia juga tahu: hubungan mereka tak bisa didefinisikan hanya dengan cinta. Ada permainan kekuasaan, ada ketergantungan, ada kemewahan yang mengikat.
“Kalau aku bisa menggantikan posisinya, apa kau akan pergi darinya?” tanya Arga serius.
Kalista menunduk. “Aku tidak tahu… Aku takut… Tapi aku ingin mencoba.”
Sunyi menggantung di antara mereka. Lalu Kalista meraih tangan Arga dan membawanya ke pipinya, menempelkan dengan lembut. “Setiap kali kau menyentuhku, aku lupa segalanya… Bahkan rasa takutku pun menghilang.”
Arga menarik Kalista lebih dekat, merengkuhnya dengan penuh hasrat. Tangan mereka saling menjelajah, menyentuh tiap inci tubuh yang terasa familiar. Lidah mereka saling bertaut, panas, dalam, dan penuh gairah yang tak tertahan.
Suara desahan lirih Kalista pecah di ruang itu, mengisi setiap sudut kosong. Tangannya meremas bahu Arga saat pria itu menciumi lehernya dengan lembut. Ia tak tahu berapa lama mereka berada dalam cengkeraman hasrat. Yang ia tahu, ia tak ingin momen itu berakhir.
Namun tiba-tiba, suara pintu gedung terbuka di kejauhan. Kalista dan Arga saling menatap, terkejut.
“Ssttt,” bisik Arga, menempelkan jari telunjuk ke bibir Kalista.
Langkah kaki terdengar dari lorong. Arga menarik Kalista ke balik lemari penyimpanan tua di pojok ruangan. Mereka berdiri rapat, tubuh bersentuhan erat dalam kegelapan sempit itu.
Kalista menahan napas, begitu juga Arga. Suara langkah semakin dekat… lalu berhenti… dan akhirnya menjauh lagi. Mereka menunggu beberapa detik sebelum akhirnya bernapas lega.
“Aku harus pergi,” bisik Kalista, suaranya gemetar.
Arga mengangguk pelan. “Kita akan cari tempat yang lebih aman lain kali.”
Kalista tersenyum tipis, lalu mengecup bibir Arga sekali lagi, cepat tapi dalam. “Aku akan menunggumu. Selalu.”
Ia keluar dari ruangan dengan langkah hati-hati. Arga berdiri sendirian, napasnya berat, dadanya sesak. Hatinya kini tak hanya terbakar oleh cinta, tapi juga oleh rasa takut kehilangan. Ia tahu, semakin dalam ia terlibat, semakin besar pula resiko yang menanti mereka.
Dan entah kenapa… justru itulah yang membuatnya semakin ingin mempertahankan Kalista.
Beberapa hari berlalu sejak pertemuan diam-diam itu. Arga tak bisa melupakan sentuhan bibir Kalista, desah napasnya, dan ketegangan manis saat mereka nyaris tertangkap. Ia menghabiskan malam-malamnya memandangi ponsel, menanti pesan darinya yang tak kunjung datang.
Di pagi yang mendung itu, Arga berdiri di balkon apartemennya, menyesap kopi pahit sambil memikirkan Kalista. Hatinya dipenuhi tanya, apakah Kalista masih bersamanya? Apakah ia baik-baik saja? Apakah rasa itu masih nyata?
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Kalista.
“Malam ini. Hotel yang sama. Kamar 407. Aku butuh kamu.”
Tanpa pikir panjang, Arga segera menyiapkan diri. Tubuhnya gemetar oleh antisipasi, bukan hanya karena hasrat, tapi juga ketegangan yang menggigit. Setiap pertemuan mereka bisa menjadi yang terakhir.
Lorong hotel itu sunyi. Lampu-lampu remang menciptakan bayangan panjang yang menggoda di dinding. Arga berdiri di depan pintu kamar 407. Tangannya bergetar saat mengetuk pelan.
Pintu terbuka. Kalista berdiri di sana, mengenakan gaun hitam tipis yang jatuh pas di lekuk tubuhnya. Rambutnya terurai, bibirnya merah menyala. Wajahnya tampak lelah… tapi matanya menyala, menyambut Arga dengan kerinduan yang tak terucap.
Tanpa kata, Kalista menariknya masuk dan menutup pintu. Mereka saling menatap sejenak sebelum akhirnya bibir mereka kembali menyatu. Ciuman itu bukan sekadar hasrat tapi pelampiasan rindu, kemarahan, dan rasa sakit yang mereka simpan terlalu lama.
Arga menelusuri tubuh Kalista dengan jemari penuh kelembutan. Ia menanggalkan gaun itu perlahan, hingga tubuh indah Kalista terbuka di hadapannya seperti rahasia yang ingin dimiliki sepenuhnya.
Di atas ranjang hotel yang dingin, mereka menyatu dalam keheningan yang dipenuhi desahan dan bisikan. Setiap sentuhan membawa makna. Setiap gerakan adalah pelarian dari kenyataan yang tak berpihak.
“Kalau pamanku tahu, semua ini bisa hancur,” kata Arga lirih saat tubuh mereka saling menyatu, keringat dan napas bercampur menjadi satu.
“Aku tahu,” bisik Kalista, menggenggam tangan Arga erat. “Tapi aku rela hancur bersamamu… daripada hidup dalam kepalsuan bersamanya.”
Malam itu, mereka bukan hanya dua tubuh yang saling melengkapi. Mereka adalah dua jiwa yang terperangkap, mencoba menemukan kebebasan dalam satu pelukan.
Ketika pagi menjelang, Kalista masih terlelap di pelukan Arga. Pria itu menatap wajahnya lama. Ada kedamaian, ada kepedihan. Ia tahu ini tak bisa bertahan lama.
Tapi untuk saat itu, hanya saat itu… Arga memilih untuk tidak memikirkan apa pun. Ia hanya ingin menikmati detik-detik terakhir sebelum dunia kembali menuntut mereka berpijak pada realita.
Dan saat mentari pagi mulai menelusup dari celah tirai… Arga tahu, cintanya pada Kalista telah melampaui batas logika. Ia telah jatuh terlalu dalam ke dalam ciuman rahasia yang seharusnya tak pernah ada.