Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. MENJELANG PERNIKAHAN
Dua hari kemudian....
"Masya Allah, kak Fio kelihatan cantik banget." Jihan yang baru masuk ke kamar, sampai pangling melihat penampilan kakak iparnya yang mengenakan gamis putih lengkap dengan hijabnya serta riasan tipis di wajahnya.
Fiona menanggapinya dengan senyuman. Ia yang sedang duduk di tepi tempat tidur, berdiri memeluk adik iparnya.
"Kakak jadi teringat waktu Aidan melamar kamu. Mungkin seperti ini yang kamu rasakan saat itu, deg-degan," ujarnya sambil terkekeh pelan.
Jihan mengurai pelukannya, menatap kakak iparnya. "Apalagi saat Mas Aidan menatapku. Duh, jantung rasanya mau copot," guraunya yang membuat Fiona tersipu.
"Sayang, ayo kita keluar. Keluarganya Damar sudah sampai," ujar Aidan yang berdiri di ambang pintu.
Fiona semakin merasa deg-degan, namun sebisanya ia terlihat biasa saja di hadapan adik dan iparnya.
"Iya, Mas." Jihan pun keluar dan mengikuti suaminya menuju pelataran.
Damar mengedarkan pandangannya begitu memasuki kediaman orang tua Fiona, ternyata besar dan megah. Ia pikir, gadis itu berasal dari keluarga yang sederhana.
Lelaki itu tampak gagah dengan diapit oleh kedua orang tuanya. Dibelakang mereka turut serta anggota keluarganya yang lain membawa beberapa bingkisan.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh papa Denis dan mama Kiara, juga Aidan dan istrinya. Sedangkan Fiona tetap berada di kamarnya.
Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di tempat yang telah disediakan khusus. Pak Yahya, yang merupakan papanya Damar mulai membuka pembicaraan.
"Sebelumnya, perkenalkan anak kami yang memiliki niat baik terhadap putri Pak Denis, yakni Damar Athallah. Besar harapan kami pada Pak Denis sekeluarga atas niat baik anak kami."
Papa Denis tersenyum dan mengangguk. "Dengan senang hati, kami sekeluarga menerima niat baik, Nak Damar."
"Alhamdulillah. Kalau begitu, boleh dipanggilkan putri Pak Denis?"
Papa Denis pun menoleh pada sang menantu dan memintanya untuk memanggil Fiona. Jihan pun segera beranjak menuju kamar kakak iparnya.
"Ayo, kak," ajaknya begitu masuk ke kamar kakak iparnya.
Fiona mengangguk, ia pun segera mengikuti adik iparnya itu menuju ruang tamu. Ia berjalan dengan pandangan tertunduk.
Perhatian semua orang pun langsung tertuju padanya dan membuat keluarga Damar seketika berdecak kagum menatapnya.
"Masya Allah," ucap bu Winda, mamanya Damar.
Damar mengembangkan senyum menatap wanita pertama yang mampu menggetarkan hatinya itu. Hatinya seketika terasa menghangat melihat Fiona mengenakan gamis putih lengkap dengan hijab. Riasan tipis di wajahnya semakin membuatnya terlihat cantik.
Sementara Fiona masih menunduk. Sesekali memberanikan diri menatap beberapa orang yang ada di ruangan itu. Perasaannya semakin gugup kala tatapannya tak sengaja tertuju pada Damar yang terus menatapnya.
"Berhubung Nak Fiona sudah berada di sini, saya akan menayangkan langsung padanya." Pak Yahya kembali membuka suara. "Apakah Nak Fiona bersedia menerima niatan baik dari anak kami, Damar Athallah, yang bermaksud ingin melamar Nak Fiona?"
Fiona terdiam sejenak. Ia benar-benar merasa gugup. "Saya ... bersedia," ucapnya kemudian.
"Alhamdulillah." Semua orang yang ada di ruangan itu berseru penuh syukur.
.
.
.
Fiona menutup teleponnya dengan tersenyum senang. Dia baru saja berbicara dengan ustadzah Dian, memberitahukan bahwa beberapa hari lalu kedua orang tuanya Damar telah melamarnya secara resmi. Dan pernikahannya akan dilangsungkan dalam dua minggu mendatang.
Setelah khitbah saat itu, Fiona dan Damar benar-benar memanfaatkan waktu tersebut untuk saling mengenal lebih jauh.
Pada bulan ke tiga, keduanya akhirnya memutuskan untuk menikah. Waktu tiga bulan sudah cukup bagi keduanya untuk saling mengenal, selebihnya akan mereka jalani setelah pernikahan.
Sebagimana halnya berpacaran setelah menikah, atau yang juga disebut pacaran halal, adalah konsep yang diusulkan oleh sebagian kalangan Muslim untuk mengelola hubungan pasca pernikahan dengan cara yang lebih intim dan romantis, namun tetap dalam kerangka hukum Islam. Konsep ini menekankan pada pentingnya menjaga keharmonisan dan meningkatkan kualitas hubungan pernikahan melalui aktivitas yang menyenangkan dan romantis.
Baru saja Fiona meletakkan ponselnya di atas nakas, benda pipih itu berdering. Ia tersenyum melihat nama yang tertera di layar ponsel, calon imam.
"Assalamualaikum, calon Makmumku," ucap Damar begitu sambungan telponnya terhubung.
Fiona tersenyum. "Waalaikumsalam," balasnya.
"Ada yang kurang, gak?" tanya Damar.
Fiona mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Ia tidak mengerti.
"Balasan salam kamu kayaknya ada yang kurang, deh," ujar Damar dengan nada ngambek.
Fiona kembali tersenyum. "Waalaikumsalam, calon Imamku," ralatnya kemudian.
Damar pun tersenyum. "Oh ya, jangan lupa, besok kita fitting baju pengantin," ucapnya memperingati.
"Iya, Mas. Aku ingat, kok," ujar Fiona. Ia mengulum senyum. Calon suaminya itu ada saja yang dijadikan alasan untuk meneleponnya. Sejak tanggal pernikahan telah ditentukan, mereka berdua memang sudah tidak diperkenankan untuk bertemu lagi sampai esok mereka akan bertemu untuk fitting baju pengantin.
"Jaga kesehatan, ya. Makan yang teratur, jangan sampai telat. Aku gak mau kamu sampai sakit." Suara Damar terdengar khawatir.
"Iya, Mas. Kamu juga. Oh ya, aku tutup teleponnya dulu. Aku mau keluar sebentar."
"Mau kemana?"
"Ke toko buku."
"Hem, pasti mau beli buku panduan cara menjadi istri Sholehah," gurau Damar.
Fiona terkekeh. Tebakan Damar seratus persen benar. Selama belajar di pondok atas bimbingan ustadzah Dian, ia sudah cukup memahami peranannya. Tapi untuk hal yang lebih intim sepertinya ia cukup mempelajari itu melalui buku.
"Ya udah, kamu hati-hati di jalan. Jangan lama-lama di luar, sudah beli buku harus langsung pulang!"
"Iya, Mas."
Setelah sambungan telepon terputus, Fiona meletakan ponselnya di nakas lalu mengganti pakaiannya.
Beberapa menit kemudian ia pun keluar kamar dengan penampilan yang sudah rapi. Ia menghampiri papa dan mamanya yang sedang bersantai di ruang keluarga.
Sepasang suami-istri itu tersenyum melihat kedatangan Fiona. Akhirnya putri sulung mereka akan segera menikah. Keduanya pun saling bergeser untuk memberi tempat agar Fiona duduk di tengah-tengah mereka.
"Calon suamimu adalah seorang pebisnis. Setelah menikah nanti, kamu akan selalu ikut dengannya, menemani setiap perjalanan bisnisnya. Papa hanya berharap, kamu tetap bisa Istiqomah dengan apa yang sudah Papa dan Mama ajarkan padamu, dan terutama jadilah istri yang shalihah." Papa Denis mengusap pucuk kepala putrinya dengan lembut.
Fiona menatap kedua orang tuanya bergantian. "Aku akan selalu mengingat semua nasihat Papa dan Mama, juga Ustadzah Dian."
Sepasang suami istri itu tersenyum, kemudian keduanya serentak merangkul putrinya.
"Oh, ya. Pa, Ma, aku izin keluar sebentar. Mau ke toko buku," ujar Fiona kemudian.
"Mau beli buku?'' tanya mama Kiara.
"Iya, Ma."
"Kenapa gak beli online aja, sih? Kamu itu gak boleh kemana-kemana sendiri, loh. Kalau terjadi apa-apa sama kamu di jalan gimana coba?"
Fiona terkekeh pelan. "Ma, itu cuma mitos. Insya Allah aku gak akan kenapa-napa. Cuma sebentar, kok. Aku akan langsung pulang setelah beli buku."
"Memangnya kamu mau beli buku apa, sih? Biar Papa yang antar," tawar papa Denis.
Fiona mengatupkan bibirnya. Buku yang ingin dibelinya cukup bersifat pribadi, ia akan merasa malu bila sang papa melihatnya.
"Ada, deh." Sebelum kedua orang tuanya kembali protes, Fiona segera berdiri dan mencium punggung tangan mama dan papanya lalu pergi.
"Assalamualaikum."
"Fio...." Mama Kiara hendak berdiri untuk menyusul, namun ditahan oleh suaminya.
"Ma, udah gak apa-apa. Insya Allah Fio gak akan kenapa-kenapa, kok. Kita juga gak usah terlalu cemas begitu. Dia juga pasti berhati-hati di jalan."
Mama Kiara pun tampak mengangguk pelan. "Waalaikumsalam," ucapnya kemudian pasrah. Namun. Raut wajahnya tetap terlihat cemas.
*****
Bab selanjutnya sudah akan masuk ke inti konfliknya ya.
Happy reading.... 🤗
untuk Agnes jgn jadi jahat, kena kamu yg mau fio menikah SM suamimu
tambah lagi up nya thor