NovelToon NovelToon
2 Suami

2 Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cerai / Beda Usia / Angst
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Meymei

Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dijodohkan

3 hari kemudian.

“Saya minta maaf, Mbak Inaya.” Kata Hendra yang sengaja datang saat Inaya sudah masuk bekerja.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya juga sudah sembuh.” Jawab Inaya yang merasa tidak enak karena orang-orang memperhatikannya.

“Salah saya yang ambil hutang tanpa mengatakannya kepada istri saya.”

“Iya, Pak. Saya sudah maafkan.”

“Tolong katakan kepada Mas Weko kalau saya sudah minta maaf, Mbak. Saya belum ada melaut beberapa hari ini.” Inaya terkejut mendengarnya.

“Katakan saja dengan Mas Weko, Pak. Saya tidak ada urusannya dengan melaut.”

“Mas Weko menahan kapal saya, Mbak. Kalau Mbak Inaya tidak menolong saya, saya tidak bisa memberikan nafkah untuk anak dan istri saya.” Hendra memohon dengan memelas ke arah Inaya.

Inaya yang tidak begitu memikirkan ancaman Weko hari itu, mengira jika ancaman tersebut hanya untuk membuat istri Hendra takut karena istri Hendra tidak bergeming. Tetapi setelah mendengar penuturan Hendra, ia jadi merasa bersalah karena ia tidak bisa melaut karena ancaman Weko.

“Saya akan mengatakannya kepada Mas Weko nanti, Pak.” Kata Inaya dengan ragu.

Ia sudah merasa tidak nyaman dengan pandangan orang-orang, sehingga ia segera ingin lepas dari situasi tersebut.

“Terima kasih, Mbak Inaya!” Hendra dengan sumringah berpamitan dan meninggalkan koperasi.

“Bingkisannya boleh dibuka tidak?” tanya Nuri.

“Maaf, Mbak. Aku merasa sungkan untuk menerimanya, nanti aku akan mengantarkannya ke rumah Mas Weko saja.” Kata Inaya melihat bingkisan buah yang diberikan oleh Hendra.

“Iya. Kamu pakai motorku saja. Kebetulan aku bawa motor sendiri hari ini.”

“Terima kasih, Mbak. Tapi kenapa tidak di antar, Mbak?”

“Mas Seno sedang ada urusan, jadi tidak bisa antar jemput beberapa hari ini.”

“Mbak hati-hati ya?”

“Tenang saja! Aku akan lewat jalan pintas, tidak lewat jalur pantura.”

“Siplah!”

Saat istirahat makan siang, Inaya yang biasanya tidak pernah keluar pergi ke rumah Sintya menggunakan motor Nuri.

“Tumben, Dek!” tegur Sintya yang kebetulan sedang bersantai di teras.”

“Mau ketemu Mas Weko, Mbak.”

“Itu orangnya!” tunjuk Sintya ke arah Weko yang baru saja tiba bersama adiknya yang baru saja pulang sekolah.

“Sini, Dek! Divari Inaya!”

“Ada apa?” tanya Weko mendekat.

“Ini bingkisan dari Pak Hendra, Mas.”

“Kenapa kamu kasihkan aku? Dia memberikannya kepadamu!”

“Aku merasa tidak enak, Mas. Apalagi katanya beliau belum bisa melaut beberapa hari ini.”

“Kamu tahan perahunya, Dek?” tanya Sintya menimbrung.

“Iya. Kalau tidak begitu, istrinya tidak akan kapok, Mbak!”

Sintya bukannya mengomel, justru tertawa mendengar jawaban Weko. Berbeda dengan Inaya yang bingung dengan interaksi keduanya. Melihat kebingungan Inaya, Sintya menjelaskan jika Weko adalah wakil kapten dan ia juga memiliki kuasa di pesisir Pantai sini karena dirinya adalah ketua kelompok Nelayan.

Hal yang dilakukannya kepada Hendra sering terjadi karena kebanyakan dari mereka yang mengambil pinjaman tidak mau membayar secara rutin. Bentuk penahanan perahu dan larangan melaut dimaksudkan agar mereka tidak melupakan kewajibannya dalam pinjaman.

Dengan pinjaman yang rutin dibayarkan, nama kelompok nelayan mereka tidak akan masuk ke dalam blacklist dan tetap mendapatkan kemudahan pinjaman.

“Tetap saja buahnya untuk Mas Weko.” Kata Inaya setelah menganggukkan kepalanya mengerti.

“Anggap saja ini kompensasi atas cedera yang disebabkan istrinya, Dek. Jangan menolak rezeki!” kata Sintya.

“Benar kata Mbak Sintya.” Timpal Weko.

“Biar impas, aku bagi 2 saja, ya?” kata Inaya tanpa meminta persetujuan dan segera membongkar bingkisan yang dibawanya.

Ia membagi 2 buah yang ada di dalam bingkisan. Setelah membaginya, ia membawa separuh bersamanya dan separuh ia tinggalkan untuk Sintya dan Weko. Ia bahkan segera pamit.

“Kabur dia!” seru Sintya.

“Unik!”

“Benarkan? Makanya Mbak mau jodohkan kamu dengan dia! Tapi semuanya bergantung pada kalian berdua, jodoh tidaknya.”

“Semoga, Mbak.”

Beberapa minggu kemudian, tiba pada acara pernikahan Sintya. Inaya yang sudah mendapatkan izin dari sang ibu, berangkat subuh agar dirinya tidak kesiangan. Begitu sampai di pangkalan angkot, ia melihat Weko sudah menunggunya di sana.

“Ayo!” ajak Weko.

“Mas menungguku sejak kapan?” tanya Inaya bingung.

“10 menit yang lalu. Mbak Sintya memintaku untuk menjemputmu.” Inaya mengangguk dan membonceng motor Weko.

Sampai di rumah Sintya, suasana sudah hiruk pikuk. Weko yang sudah diarahkan sebelumnya, membawa Inaya ke rumah Tante Sintya yang ada di samping rumah Sintya dan mengetuk pintu kamar.

“Masuk, Dek!” kata Weko mempersilahkan Inaya masuk ke dalam kamar yang dikhususkan untuk makeup.

“Loh, Inaya!” seru seseorang dari dalam.

“Mbak Sri?”

“Kalian saling kenal?” tanya Sintya.

“Sepupu, Mbak.” Jawab Inaya.

“Kalau tahu kamu juga kesini, tadi barengan saja!” kata Sri.

Inaya hanya meringis menanggapi ucapan Sri. Dalam hati ia sudah was-was karena Sri adalah salah satu penggosip ulung di desa. Sudah bisa dipastikan kabar dirinya menjadi domas* hari ini akan tersebar siang nanti.

Setelah menyelesaikan riasan Sintya, Sri mulai merias 4 domas termasuk Inaya karena ia tidak membawa asisten rias, hanya asisten bagian pakaian. Inaya yang mendapat giliran terakhir bingung, mengapa domas yang lain menggunakan sanggul.

“Apa saya juga disanggul, Mbak?” tanya Inaya kepada Sri.

“Iya. Kamu tidak dikasih tahu?” Inaya menggeleng.

“Pengantin minta pakai adat Jawa, jadi semuanya lepas hijab. Kamu juga!”

“Tapi..”

“Sekali ini saja, Mbak! Mau ya?” tanya adik Weko yang juga menjadi domas.

Setelah berpikir sejenak, Inaya akhirnya mengangguk setuju. Ia tidak mungkin menolak di saat terakhir seperti ini. Jika saja ia tahu lebih awal, mungkin ia bisa menolaknya secara langsung.

Semua riasan telah selesai dan waktunya menggunakan kebaya. Inaya menutupi area dada karena kebaya domas yang dipakainya sangat terbuka di bagian selangka sampai atas gunung kembarnya.

“Sarapan dulu!” kata Weko yang membawa nampan berisi makanan untuk para domas yang sudah selesai berdandan.

Weko yang melihat Inaya merasatidak nyaman dengan pakaiannya, mencari selendang dan memberikannya kepada Inaya.

“Terima kasih, Mas.” Weko mengangguk sambil tersenyum.

Acara dimulai pukul 8 pagi. Semua prosesi akad berjalan dengan lancar dan tiba waktunya untuk kirab pengantin. Inaya menanggalkan selendang yang menutupi area dadanya dan ikut berbaris bersama domas yang lain.

Sri selaku tukang rias dan juga dukun rias sudah memberikan instruksi kepada mereka bagaimana melaksanakan kirab pengantin, sehingga semuanya berjalan dengan lancar.

Acara dilanjutkan dengan foto pengantin, foto bersama domas dan pengapit** dan foto keluarga. Setelah itu, domas ikut berjaga di bagian souvenir sampai acara selesai.

“Maaf ya, Dek. Mbak tidak minta izin kamu untuk lepas hijab.” Kata Sintya saat Inaya sedang memakai kembali hijabnya.

“Iya, Mbak.” Inaa tersenyum.

“Mau langsung pulang?”

“Iya, Mbak. Maaf tidak bisa tinggal sampai malam.”

“Sebenarnya sayang, karena aku ingin kamu menyumbangkan lagu. Tapi tidak apa-apa. Aku akan minta Dek Weko mengantarkanmu.”

“Tidak perlu, Mbak! Aku bisa pulang sendiri.”

“Tidak boleh menolak!” tegas Sintya yang kemudian mencari Weko.

Saat Inaya keluar dari kamar, Weko sudah menunggunya dengan tas belanja yang cukup besar. Ia mengatakan jika Ibu Sintya yang menyiapkan khusus untuknya. Dengan berat hati Inaya menerimanya dan berpamitan dengan semua keluarga Sintya yang ia kenal.

.

.

.

.

.

**domas: Sepasang muda-mudi yang membawa kembar mayang (bridesmaid dan groomsmen).*

**pengapit: 2 gadis kecil rentang usia 5-10 tahun yang duduk di samping kanan dan kiri pasangan pengantin.

.

.

Maaf telat 🙏🏻

1
kalea rizuky
lanjutnya man
Meymei: Siap kakak 😁
total 1 replies
indy
jadi ikutan pengin lobster
indy
semangat kakak
Meymei: Semangat 🙏🏻
total 1 replies
indy
masih yang manis manis
indy
serasa di jawa
indy
adat Jawanya gak terlalu beda kok, terutama untuk rakyat biasa. ada piring terbang juga
Meymei: Beda dikit ya kak 😁
total 1 replies
Susanti
bagus lanjut
indy
semangat kaka
Meymei: Terima kasih, kakak 🥰
total 1 replies
indy
keren, sekarang edisi budaya jawa ya
Meymei: Cmiiw ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!