Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang Tak Termaafkan
Hujan baru saja reda ketika Vanesa melangkah keluar dari butik kecilnya di pinggiran Jakarta. Rambut panjangnya dikuncir seadanya, wajahnya tampak letih namun bersih tanpa riasan. Di tangannya, kain batik bermotif klasik masih tergenggam erat, siap dibawa pulang.
Namun langkahnya terhenti.
Di depan gerbang besi yang mulai berkarat, sebuah mobil hitam mengilap terparkir diam. Bukan jenis mobil pelanggan butik biasa. Sopirnya berdiri tegak, bersetelan hitam, wajah kaku dan dingin.
Vanesa mengerutkan dahi, merapatkan cardigan di tubuhnya. Saat hendak berbalik, suara sepatu kulit menghentikan langkahnya.
“Vanesa.”
Suaranya berat. Dalam. Sangat familiar, namun juga asing. Seperti luka lama yang tiba-tiba dibuka kembali.
Perlahan, Vanesa menoleh. Dadanya sesak, napasnya tercekat ketika melihat pria itu.
Gavin.
Berdiri di bawah payung hitam, mengenakan setelan jas Armani. Wajahnya tampak lebih tirus dari yang ia ingat, rahangnya tajam, mata biru itu… masih menusuk tajam, namun tak ada lagi kehangatan di sana. Hanya kehampaan. Kebencian yang membeku.
“A-apa yang kau lakukan di sini?” tanya Vanesa pelan. Tangannya bergetar, ia sembunyikan di balik kain yang dibawanya.
Gavin melangkah perlahan mendekat. Derap sepatunya seolah menggema dalam kepala Vanesa. Setiap langkah pria itu seperti membawa kenangan lama yang pernah mereka lalui bersama. Langkah yang berubah jadi luka.
“Melihat hasil akhirnya,” jawab Gavin ringan. “Dan... hasilnya tidak buruk.”
Vanesa mengernyit. “Apa maksudmu?”
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap butik kecil di belakang Vanesa, lalu menatap wanita itu dari ujung rambut sampai ujung kaki—yang kini berpakaian sederhana, jauh dari kemewahan masa lalu.
“Kau terlihat... menyedihkan. Apakah ini yang kau dapatkan setelah meninggalkanku di hari pernikahan kita? Aku pikir kamu kabur dari pernikahan kita kamu akan jadi dokter atau jadi orang sukses. Tapi sekarang kamu hanya wanita yang menyedihkan.”
Vanesa menggigit bibir bawahnya. “Kau tidak punya hak menilai hidupku.”
Gavin menyeringai kecil. “Aku punya hak atas semuanya, Vanesa. Bahkan atas kehancuranmu. Karena kamulah yang menghancurkan hidupku terlebih dulu.”
Suasana tiba-tiba mencekam. Vanesa memeluk kain di dadanya lebih erat.
“Aku sudah menikah,” bisiknya, seolah mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tapi apa kamu tahu kalau laki-laki yang kamu pilih jadi suamimu seorang berengsek?”
“A-apa maksudmu?” tanya Vanesa dengan suara bergetar.”Apa kamu kenal Damian?”
“Aku tahu,” Gavin menanggapi cepat. “Bahkan sebelum kau tahu.”
Wajah Vanesa berubah pucat. “A-apa maksudmu?” tanya Vanesa lagi.
“Perempuan itu satu kantor dengan Damian. Laki-laki brengsek itu tidak pernah menganggapmu ada. Baru ditawarkan saja dia sudah menyantap tanpa memikirkanmu.”
Vanesa meremas jari-jarinya dengan kuat. “Jadi semua ini karena perbuatanmu?”
“Aku hanya mengetesnya. Ternyata dia tidak pernah menganggapmu sebagai istri. Sangat menyedihkan, saat aku menawarkanmu sebagai ratu, kamu malah memilih jadi babu. Aku yakin saat aku memberinya jabatan, tanpa ragu dia akan menceraikanmu.”
Vanesa merasa napasnya tercekat. 'Tidak, aku dan Damian tidak boleh bercerai,' ucapnya dalam hati.
Suara Gavin sangat tenang, terlalu tenang. Tapi justru di situlah letak kengerian paling dalam.
Vanesa menunduk. Ia merasa tubuhnya bergetar menahan rasa gugup bercampur takut. Ia merasa dahinya berkeringat, tapi ia cepat menyekanya. “Kenapa... kau lakukan ini padaku?”
“Apa kau lupa?” Gavin mendekat, kini hanya berjarak sejengkal. “Kau meninggalkanku. Menikah dengan pria lain. Mengubur masa lalu kita. Seolah aku tidak pernah ada.”
“Aku—aku tidak punya pilihan. Aku…” Vanesa tercekat.
“Kau memilih untuk tidak memilihku. Itu sudah cukup bagiku.”
Vanesa menunduk. Ia tidak sanggup menatap Gavin. Pria itu terlalu dingin, terlalu menusuk… terlalu penuh luka yang tak pernah ia sembuhkan.
“Aku bukan siapa-siapa lagi, Gavin. Aku bukan Vanesa yang dulu.” Suaranya pelan. “Aku bahkan tidak pantas menatapmu sekarang…”
Gavin terdiam sesaat. Dalam hening itu, angin malam mengibas rambut Vanesa. Di balik dinginnya sikap Gavin, ada sesuatu yang menekan di dadanya. Tapi ia terlalu keras untuk mengakuinya.
Amarahnya semakin membesar, sebab Vanesa tidak mengucapkan maaf padanya atas semua yang terjadi. Vanesa berpikir itu hanya masa lalu yang perlu mereka berdua lupakan. Vanesa tidak tahu betapa hancurnya Gavin saat ia meninggalkannya.
“Ternyata kamu kuat juga ya, hidup tanpa harta. Aku ingin lihat sekuat apa wanita yang mengkhianatiku ini,” ucap Gavin dengan senyuman sinis.
Vanesa terkejut.
“Apa yang kamu tahu tentang hidupku?”
“Kau bisa bertahan hidup tanpa harta, tanpa keluargamu, tanpa aku. Kau tidak pernah datang mencariku. Sekedar menjelaskan kenapa kamu pergi hari itu. Tidak sekalipun.” Gavin menarik napas tajam. “Kau pikir aku akan memaafkanmu hanya karena hidupmu menderita?”
Vanesa menggeleng. “Aku... hanya ingin hidup tenang.”
“Dan aku hanya ingin melihatmu menderita,” Gavin menukas. “Sampai kau merasakan perih yang aku telan bertahun-tahun.”
“Apa kamu datang hari ini untuk membalasku?”
Gavin menatapnya dalam-dalam, lalu mendekat sedikit, membisik pelan, “Karena ini baru awal, Vanesa. Aku ingin melihat matamu… ketika semua yang kau bangun perlahan-lahan aku hancurkan.”
Vanesa memejamkan mata, tubuhnya goyah. Tapi ia tetap berdiri, tetap menahan air mata, tetap tak ingin menunjukkan kelemahan.
“Kau bisa ambil semuanya, Gavin,” katanya perlahan. “Tapi satu hal yang tidak akan pernah bisa kamu lakukan. Kita tidak bisa mengubah masa lalu.”
Gavin membeku. Tapi wajahnya tetap datar, tak menunjukkan emosi apa pun. Ia berbalik, melangkah menuju mobilnya.
Tapi sebelum masuk, ia menoleh sejenak.
“Kalau begitu, lebih baik kau benci aku sepenuhnya, Vanesa. Karena cinta yang masih kau simpan... akan membunuhmu lebih pelan dari semua yang kulakukan.”
Pintu mobil ditutup, dan mobil hitam itu melaju perlahan, meninggalkan Vanesa yang berdiri kaku di bawah langit malam. Hujan turun lagi, membasahi kain di pelukannya, membasahi air matanya.
Tapi wanita itu tetap berdiri, walau seluruh dunianya baru saja dihancurkan oleh pria yang pernah ia cintai.
“Karena cinta yang masih kau simpan... akan membunuhmu lebih pelan dari semua yang kulakukan.”
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini