Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 5
Di tengah lelap tidurnya, Jeane merasa ada sesuatu yang berusaha membangunkannya. Kepalanya bergoyang goyang memprotes tetapi sensasi itu tidak juga pergi. Dengan rasa kantuk yang masih mendera, Jeane membuka matanya, melawan gelombang rasa kantuk yang hendak menyeretnya kembali dalam ketidak sadaran.
Kamar itu gelap gulita, cuma ada angka angka bercahaya dari jam dinding di atas kakinya. Masih baru lewat beberapa menit dari jam tiga dinihari. Jeane mengerang sesaat sambil menyorongkan dirinya lebih dalam di bawah selimutnya.
Terdengar ketukan pelan memecah kesunyian kamar itu. Sepertinya ada seseorang yang mengetuk kaca jendela kamarnya. Jeane terbangun dan duduk di atas tempat tidurnya, mendengarkan, panca inderanya bersiaga, tetapi merasa tidak pasti, apakah benar ada ketukan atau cuma imajinasinya.
Ketukan itu terdengar lagi. Ada seseorang yang mengetuk kaca jendela yang mengarah ke taman belakang. Tidak ada penjahat yang mengetuk kaca jendela terlebih dulu sebelum masuk, pikirnya. Jeane melemparkan selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari tempat tidurnya. Dia menduga pasti Edgar yang mengetuk jendela itu. Tidak mungkin ada orang lain yang mengetuk kamarnya pada jam selarut ini.
Dengan bertelanjang kaki, Jeane berjalan ke arah jendela kaca itu dan membuka gordinnya, Cahaya rembulan jatuh pada sosok jangkung yang berada di luar. Dia memutar kunci dan membuka pintu yang berada di samping jendela itu agar Edgar dapat masuk.
"Kau.... apa yang kau lakukan di sini?" bisik Jeane. "Ini jam tiga pagi."
Cahaya bulan yang masuk lewat pintu yang terbuka itu menyinari Jeane. Bahan kemeja tidur yang dipakainya hanya sampai ke lutut. Mata Edgar menyapu penampilan kekasihnya itu, menyadarkan Jeane akan keadaan pakaiannya dan bagian depan yang tidak terkancing menampilkan belahan dadanya. Secara refleks, jari jari tangan Jeane mengcengkeram dan merapatkan bagian depan kemeja tidurnya.
"Aku tahu pukul berapa sekarang ini," jawab Edgar, tersenyum dan mendekat. "Aku baru bebas dari pekerjaanku dan ingin melihatmu."
"Tapi kau kan bisa menelepon?"
Edgar meletakkan tangannya di atas bahu Jeane yang mendadak menjadi tegang. Biarpun Edgar adalah calon suaminya, rasanya tidak pantas dia berada di amar tidurnya pada jam tiga pagi.
"Aku tidak bisa melakukan ini lewat telepon," mulut pria itu menyerbu mulut Jeane dalam suatu ciuman yang dalam dan lama. "Kau masih mencintai aku, sayang?"
"Apakah kau beranggapan bahwa aku dapat berhenti mencintaimu begitu saja kan?"
"Kalau begitu, katakanlah," Edgar mendesak.
"Tidak," Jeane menjawab dengan gelengan kepala. "Aku masih mencintaimu."
Edgar kini meraih gadis itu ke dalam pelukannya, membuat Jeane merasa dirinya aman dan disayang. Tidak ada ciuman yang penuh nafsu. Pria itu hanya ingin mendekapnya.
Dengan kepala bersandar pada leher Edgar, jari jari tangan Jeane memainkan kancing jaket pria itu. Terdengar helaan napas puas ketika Jeane memejamkan matanya.
"Kau mengambil risiko dengan datang kemari pada jam selarut ini," bisik Jeane. "Ayahku sudah tidak mempercayaimu. Mestinya kau bisa telepon saja."
"Semua risiko dapat kutanggung asal aku dapat mendekapmu dalam pelukanku dan mengetahui bahwa kau masih mau menikah denganku. Kau mau, bukan?"
"Ya, aku mau menikah denganmu. Atau..... mungkin kau menganggap sudah menjadi kebiasaanku memasukkan pria ke dalam kamar tidurku pada tengah malam buta?"
"Kuharap tidak demikian halnya," Edgar menjawab dengan pura pura geram. "Mungkin aku memang seharusnya meneleponmu, tetapi aku tidak mau mengambil risiko bahwa ke dua orang tuamu mendengarkan percakapan kita."
Ke dua alis Jeane terangkat. "Mengapa?"
Edgar tidak segera menjawab. Ke dua tangannya ditangkupkan pada wajah Jeane. "Kau tahu, betapa cantiknya kau ini? Mendapatkan dirimu sebagai isteri pasti tidak buruk setelah kuajarkan beberapa hal kepadamu."
"Hmmmm, dan kau barangkali akan menjadi suami yang hebat," Jeane menjawab gurauan Edgar. "Tetapi kau mengalihkan pembicaraan. Tentang apakah kau mau berbicara denganku?"
"Barangkali memang seharusnya aku menelepon saja," kata Edgar. "Aku sulit memusatkan perhatian jika kau berada dalam pelukanku. Aku selalu hilang konsentrasi karena kulit lembut dan lekuk tubuh yang berbahaya ini," tangan Edgar memegang ke dua tangan Jeane. "Ayo kita duduk aja di tempat di mana kita bisa berbincang bincang."
Mereka bergerak menuju tempat tidur besar itu. Jeane duduk di bagian kaki tempat tidur. Edgar melepaskan tangan kekasihnya dan menyalakan lampu kecil di atas meja dekat tempat tidur. Cahaya lembut menerangi kamar itu.
"Kau menjadikan suasana demikian misterius," Jeane berbisik menggoda ketika Edgar duduk pula di pinggiran tempat tidur itu, cuma sejangkauan lengan jauhnya dari Jeane.
"Bukan maksudku demikian," pria itu menjawab dengan tersenyum. "Sejak kau meninggalkan aku sore tadi, telah kupikirkan percakapan kita. Jeane, aku tidak sanggup kalau harus menunggu setahun lagi."
"Bagiku rasanya juga lama sekali," Jeane membenarkan dengan menghela napas dalam.
"Kita tidak usah menunggu lagi. Kau sudah berusia dua puluh satu tahun. Kau tidak memerlukan persetujuan orang tuamu."
"Aku tau, tetapi......"
"Untuk apa kita mesti menunggu setahun lagi?" Edgar berkata membujuk. "Kita tidak harus membuktikan apapun kepada ke dua orang tuamu. Apalagi bahwa kita saling mencintai. Aku juga ingin mendapatkan berkat dari mereka, tetapi kalau mereka mau menahan nahan atau menetapkan syarat syarat tertentu seperti harus menunggu setahun dan lain sebagainya, maka kita bisa juga menikah tanpa berkat mereka. Kalau kita sudah menikah, mau tidak mau mereka akan menerima diriku sebagai menantu."
"Maksudmu agar kita kawin lari?" Jeane menggigit bibir bawahnya.
"Ya. Aku tidak mau menunggu setahun, enam bulan atau bahkan seminggu," Edgar menegaskan.
"Tetapi bagaimana dengan studimu dan pekerjaanmu? Lalu kita tinggal dimana?" tanya Jeane seolah kepada dirinya sendiri.
"Aku tahu bawa tidak praktis dan logis kita menikah sekarang," kata Edgar sambil menyisirkan jari jari tangannya pada rambut pirangnya. "Tapi kapan cinta bisa menjadi praktis dan logis? Cinta itu suatu kebutuhan fisik dan emosi." Edgar menarik napas dalam dalam. "Entahlah," ia meneruskan. "Mungkin memang tidak sama bagi seorang wanita. Mungkin kau tidak merasakan kebutuhan kebutuhan itu sekuat perasaanku."
"Itu tidak benar, Ed," Jeane cepat cepat menyangkal. "Aku juga merasakannya."
Edgar menatap wajah gadisnya. "Tahukah kau bahwa aku ingin sekali memproklamasikan kepada dunia bahwa wanita cantik di sisiku ini adalah isteriku, nyonya Jeane Beaufort?"
"Aku juga sama inginnya mendengar kau mengatakan itu." Jeane tidak mengira bahwa Edgar demikian romantis. Sikap Edgar malam,,,,,,bukan, pagi ini, sungguh di luar dugaannya.
"Kalu demikian, ayo kita minggat dan menikah besok pagi atau paling lambat lusa. Kita bisa pergi ke Spanyol dan menikah di sana dalam beberapa jam saja."
"Aku juga mau Ed, ya..... tapi......." nada suara Jeane masih menandakan adanya keraguan.
"Tetapi apa?" pria itu menggugat keraguan Jeane yang tak diucapkan.
"Aku..... aku memerlukan waktu untuk berpikir." Kawin lari agaknya merupakan pemecahan bagi problem meraka, tetapi Jeane tidak yakin bahwa itulah pilihan satu satunya sekalipun kawin lari itu pula yang telah dipilih ibunya ketika menjadi isteri Ernest Cornell Richmond.
"Kalau kau mengkuatirkan ke dua orang tuamu, sayang, kau harus menentukan pilihanmu. Kau menyakiti hati orang tuamu atau kau menyakiti hatiku. Mereka itu tidak sendirian, mereka saling memiliki, sedangkan aku cuma memiliki dirimu."
Kalau demikian cara Edgar mengemukakan masalahnya, maka kawin lari memang merupakan pilihan satu satunya bagi Jeane.