Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Layar laptop menyala, menampilkan wallpaper foto Zheza. Arin menggerakkan kursor. Mengklik file yang menyimpan tragedi Soni. "Mama, Arin ... maafkan aku ..." batin Zhea berbisik.
Ketika file itu mulai terbuka ... Arin dan Rindu langsung berseru secara bersamaan. "Papa ...!"
Hening menerpa, Arin dan Rindu fokus menatap layar.
"Kak, kenapa Kakak bisa punya rekaman Papa saat di kantor?"
Zhea menatap Arin dengan mata berkaca. Inilah waktunya ia menjelaskan. "Waktu itu, Kakak sengaja memasang kamera tersembunyi untuk merekam perselingkuhan Zavier dan Elara. Dan Kakak belum sempat mengambil kamera itu dari ruangan Zavier. Makanya Kakak punya rekaman Papa."
Arin dan Rindu mengangguk paham. Mata mereka fokus lagi pada layar. Isakan kecil mulai muncul lagi, lalu dilanjutkan pekikan kaget dari keduanya.
"Hah! Ternyata Papa sempat cekcok dengan Zavier dan si pelakor!" geram Rindu, begitu pun Arin.
Lalu emosi itu mereda lagi, hingga Zhea meminta izin untuk mempercepat rekaman tersebut.
"Silakan, Nak. Memangnya apa yang ingin kamu tunjukan ke Mama dan Arin?" tanya Rindu.
"Mama dan Arin harus kuat, ya ..." Zhea tak sadar menjatuhkan air mata. "Lihat ini." Rekaman Soni mulai menunjukkan malam. Zhea sampai menahan napas ketika Zavier terlihat masuk lagi ke ruangan itu.
"Apakah ini waktu Zavier menemukan Papa tergeletak di lantai?" Arin berseru getir.
Zhea tak menjawab. Dia mengatupkan bibirnya sambil membaca istigfar dalam hati. Takut mertua dan adik iparnya histeris.
"Loh ... itu Papa masih baik-baik aja." Ucapan kaget mulai keluar dari bibir Rindu.
"Iya, Ma. Itu Papa masih sehat dan ..." Arin menjeda ucapannya. "Papa dan Kakak bertengkar lagi, Ma." Dia melanjutkan ucapannya.
"Iya, Rin. Lalu kapan Papa ping--Papa ...!" Rindu menjerit histeris, disambut lengkingan suara Arin.
"Papa ...!"
"Hah! Hah! Zhea ... i-ini m-maksudnya a-apa?!" Suara Rindu terpatah-patah. Tangan wanita itu memegangi dada. Wajahnya langsung pucat pasi dan detik selanjutnya ... jatuh tak sadarkan diri.
"Mama!" Arin dan Zhea serentak menjerit, menyangga tubuh Rindu yang hampir membentur lantai.
Jeritan itu pun mengundang kedatangan Sandi dan istrinya. Mereka masuk ke dalam kamar dan bertanya panik pada Zhea dan Arin.
"Mama kalian kenapa?!" Sandi mengangkat Rindu ke atas ranjang.
"Om ...!" Arin menjerit, memukul-mukul dadanya sendiri.
"Arin, tenang, Dek." Zhea merengkuh tubuh Arin. Mengusap punggung adik iparnya yang bergetar.
"Zhea, sebenarnya ini ada apa?" tanya Windi, istri Sandi.
"Papa nggak jatuh sendiri, Om. Papa didorong sama si Zavier!" Arin menyerobot pertanyaan yang ditujukan kepada Zhea.
Sandi dan Windi saling melirik, lalu melotot secara bersamaan.
"A-apa maksud kamu, Rin?" Sandi membeo syok.
"Si Zavier yang menyebabkan Papa tiada, Om. Dia mendorong Papa sampai terbentur meja dan jatuh membentur lantai. Dia pembunuh, Om. Si Zavier pembunuh!" Arin menjerit-jerit tak terkendali hingga mengundang kedatangan keluarga yang lainnya.
Keadaan pun jadi ricuh. Ditambah Rindu sadar dari pingsannya dan langsung menjerit-jerit memanggil nama Soni serta menggaungkan sumpah serapah kepada Zavier.
"Mas Soni! Nasibmu malang sekali! Zavier! Kau sungguh anak durhaka! Kau tega menghilangkan nyawa Papamu sendiri! Kau iblis! Kau monster!"
Keluarga yang ada di sana jadi bingung, lalu Sandi bertanya serius pada Zhea.
"Zhea, katakan pada Om, sebenarnya ini ada apa?!"
Akhirnya Zhea pun menunjukkan rekaman yang ada di laptopnya.
Dan seketika itu juga, semua keluarga yang melihatnya syok tak terkira.
Ada yang mengucapkan istigfar, mengusap dada dan ada juga yang histeris memeluk Rindu dan juga Arin.
"Zavier ..." Sandi terhuyung. Jatuh terduduk di lantai. "Apa yang kau lakukan Zavier? Kenapa? Kenapa kau tega menghilangkan nyawa adikku?!" Sandi memukul-mukul lantai diiringi air mata yang berjatuhan.
"Maafkan aku ... aku sungguh tak bermaksud membuat keadaan menjadi ricuh. Aku ... hanya ingin menunjukkan kebenaran, dan Papa berhak mendapatkan keadilan." Zhea bersimpuh, menundukkan wajah seraya terisak.
Rindu melepaskan pelukan Windi dari tubuhnya, dia beringsut mendekati Zhea. Memeluk menantunya itu. "Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Apa yang kamu lakukan ini sudah benar. Meskipun kami semua merasa syok dan makin sedih ... tapi kebenaran ini memang harus dibongkar. Zavier harus menerima akibatnya. Dia harus dihukum ..." isak Rindu dengan suara yang nyaris menghilang.
"Pantas saja si Zavier seperti gelisah, ternyata dia menyembunyikan semua ini ...!" jerit Arin murka. "Aku benci dia! Aku mau bunuh dia!" Arin meronta, dan dua kakak sepupunya mencoba menenangkannya. Termasuk Zhea yang ikut turun tangan.
"Dek, istigfar. Kamu jangan bicara seperti itu. Biar hukum saja yang membalas perbuatan Zavier. Kalau kamu membunuh dia ... apa bedanya kamu dengan Zavier?"
"Kak Zhea ..." Berontakan Arin melemah, ia meraung dalam pelukan Zhea. "Kenapa dia jadi seperti iblis? Dia tega menghancurkan rumah tangganya dengan Kakak, lalu kini ... dia tega membunuh Papa ..."
"Sepertinya ini ada kaitannya dengan penurunan jabatannya dari dirut jadi staf biasa." Sandi buka suara.
"M-Maksud Mas ... apa?" Rindu yang sudah nyaris pingsan lagi, akhirnya bertanya pelan.
Sandi mengusap air matanya terlebih dahulu sebelum menjelaskan semuanya. "Jadi, malam itu ... Soni bercerita padaku ... jika dia akan menurunkan jabatan Zavier dari dirut menjadi staf biasa sebagai bentuk hukuman atas perbuatannya yang selingkuh dengan si Elara. Aku bilang, lakukan saja. Itu memang pantas Zavier dapatkan. Sepertinya ... hal itulah yang memicu pertengkaran antara Zavier dan soni. Sebagaimana rekaman yang tadi kita lihat. Di awal, Zavier masuk bersama si Elara, dan mungkin saat itu ... Soni mengatakan niatnya itu. Zavier tidak terima, dan malamnya ... dia datang lagi kan? Dia mendorong Soni pasti karena itu."
Semua yang ada di kamar itu menyetujui pendapat yang dikatakan Sandi.
"Mas, tolong buat laporan tentang hal ini ke polisi. Monster itu harus segera ditangkap. Suamiku ... harus mendapatkan keadilan. Zavier sungguh keterlaluan ... aku tak sudi menganggap dia sebagai anakku lagi! Dia pembunuh! Dia kriminal!" Rindu meraung lagi sambil memukul-mukul dadanya sendiri. "Kenapa aku harus melahirkan seorang iblis? Kenapa Tuhan? Kenapa ...?"
"Mama ..." Zhea beralih memeluk Rindu. Merengkuh tubuh lemah mertuanya itu.
"Zhea ... Mama tidak mau punya anak seperti Zavier. Mama benci dia, Zhea. Mama sakit hati ... Mama ... huhu ..."
Tak ada yang tak hancur mengetahui kebenaran yang disembunyikan Zavier dua hari ini.
Semua mengira Soni jatuh biasa, ternyata lelaki baik hati dan bijaksana itu meninggal karena dibunuh oleh anaknya sendiri.
"Semuanya tenang ... aku dan Wili akan pergi ke kantor polisi sekarang juga." Suara bariton Sandi memecah isak tangis itu. "Zhea ... Om pinjam laptop kamu ya, untuk ditunjukkan ke pihak yang berwajib."
Zhea mengangguk cepat. "Silakan, Om."
Ketika Sandi dan anak sulungnya: Wili bersiap pergi, suara seruan terdengar lantang dari ambang pintu kamar.
"Selamat siang semuanya ... kebetulan kalian semua sedang berkumpul. Aku ingin mengenalkan calon istriku yang akan aku nikahi minggu depan!"
Serentak, semua mata tertuju ke arah suara, menahan napas dengan jantung yang berdentam hebat.
jadi ayah yg baik untuk anak mu apalagi anakmu perempuan hati"loh