Jerat Pernikahan Palsu Presdir Arogan!

Cassia benar-benar lelah. Sejak pagi ia tak berhenti mengikuti Joel—rapat, dapur penelitian, ruang uji rasa. Tapi di depan pria itu, ia tetap menegakkan bahu, menahan kantuk, berusaha tampak baik-baik saja.

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di dapur percobaan, memburu cita rasa rendang yang ‘otentik’ Cassia ikut mencampur bumbu, menyesap kuah, mencatat hasil uji, sementara Joel terus memberi arahan dengan nada datar tapi tegas.

‘Aaa... kenapa hari ini berjalan begitu lambat? Aku lelah... Ingin segera pulang’

Tapi setiap kali Joel bicara, ia tak bisa benar-benar membencinya. Ada sesuatu di nada suaranya—dingin, tapi membuatnya fokus. Dan setiap kali pria itu mendekat untuk mencicipi hasil racikan, jantung Cassia berdegup sedikit lebih cepat.

Ia menatap punggung Joel yang tegap, lalu berpaling cepat.

'Astaga, Cassia... kau cuma lelah. Jangan mulai hal aneh lagi.'

Tak hanya itu. Setelah dari ruang penelitian, Joel mengajaknya beralih ke bagian produksi—tempat semua produk makanan instan mereka dibuat. Gedungnya terletak di sisi lain perusahaan, penuh suara mesin dan aroma rempah yang lebih kuat.

Cassia berjalan di samping Joel, mencoba mendengarkan penjelasannya satu per satu proses pengeringan bahan, pengemasan otomatis, hingga pengecekan kualitas.

Ia mengangguk, mencatat, tersenyum seperlunya. Tapi di dalam hati, tubuhnya sudah menjerit lelah.

‘Astaga... kapan ini selesai? Kakiku sudah pegal. Aku cuma ingin duduk, minum air, dan diam sebentar.’

Namun, Joel seolah tak mengenal kata istirahat. Setiap detail ia perhatikan, setiap hal kecil ia tanyakan. Cassia menahan napas, berusaha tetap mengikuti ritmenya.

Dan setelah semuanya selesai, ia masih harus membuat laporan dari semua yang dilihatnya hari itu—catatan panjang yang harus selesai malam ini juga.

Setelah menyelesaikan semua sidaknya hari ini, Joel berkata tanpa banyak basa-basi,

“Malam ini akan ada perayaan. Kau harus datang.”

Cassia spontan mengernyit. “Perayaan? Perayaan apa?”

Ia bertanya polos, benar-benar tak tahu.

Joel menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Perayaan karena kita berhasil mendapatkan klien besar dari Australia. Mereka tak hanya berinvestasi pada produk makanan kita, tapi juga akan menangani pemasaran di negara mereka.”

Cassia terdiam.

‘Ah… iya. Aku lupa. Biasanya selalu ada acara semacam itu setiap kali perusahaan meraih keuntungan besar.’

Joel melanjutkan, suaranya tenang tapi tak memberi ruang untuk menolak.

“Kau harus hadir. Selain karena kau sudah terjun langsung membantu menyempurnakan cita rasa rendang kita, sekarang kau juga sekretarisku. Artinya, kau harus ada di sampingku di acara seperti ini.”

Nada Joel tegas, dan Cassia tahu, tak ada gunanya berdebat.

Ia hanya mengangguk kecil. “Baik, Pak.”

Dalam hati, ia menghela napas panjang.

Aku bahkan belum sempat duduk. Tapi ya sudahlah… kalau dia yang memerintah, mana bisa aku menolak?

Cassia berjalan kembali ke ruangannya. Langkahnya pelan, pikirannya sudah penuh dengan laporan yang harus ia selesaikan malam ini. Tapi pandangannya mendadak tertahan.

Di ujung lorong, ia melihat dua orang berdiri terlalu dekat — Luke dan Jasmine.

Luke merangkul pinggang Jasmine, sementara tangan mereka saling menggenggam, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Cassia terhenti. Hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak. Ia mengalihkan pandangan, hendak berlalu, pura-pura tak melihat apa pun. Namun sebelum ia sempat melangkah jauh, suara itu menghentikannya.

“Cassia,” panggil Luke. Suaranya pelan, ragu.

Ia melepaskan pelukannya dari Jasmine, lalu menatap Cassia dengan ekspresi bersalah. “Aku… ingin minta maaf. Tentang malam itu. Tentang caraku memaksamu…”

Cassia menatapnya lama, tanpa bicara. Dalam kepalanya, malam itu kembali berputar — momen ketika Luke memaksanya untuk lebih dari sekadar ciuman. Hal yang bertentangan dengan prinsip hidupnya, dengan harga dirinya.

Ia menarik napas dalam, lalu berkata datar, nyaris tanpa emosi,

“Kau sudah melanggar batas yang seharusnya tidak pernah kau sentuh, Luke.”

Jasmine menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya, sementara Cassia hanya menatap keduanya sebentar, kemudian melangkah pergi tanpa menoleh lagi.