NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:193
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 2

“Please, Kak. cuma sehari aja. Kamu dateng, kita makan bareng. Aku nggak peduli Ayah mau ngomong apa, aku cuma mau kamu. Aku udah siapin semuanya, bahkan kue favoritmu red velvet, remember?”

“Kakak alergi red velvet buatanmu.”

“Alergi apanya?!” Calista langsung naik nada sampai mentok. “Kakak aja waktu itu jilat piringnya sampai bersih, terus pura-pura gak suka biar aku nggak geer!”

Darren balas dengan tawa jaim, tawa beratnya membuat suasana sepi di dalam mobil terasa lebih hidup malam itu. “Lis, itu karena kamu waktu itu nangis. Aku takut kamu nyemplungin mixer ke tempat sampah lagi karena gaada yang doyan kue buatanmu.”

“Ya ampun, Kak!” Gadis itu terkekeh geli, setengah malu, setengah gemas dengan candaan kakaknya. “Kakak tuh jahat banget asli.”

Darren lantas tersenyum. Senyuman yang hanya muncul kala berbicara dengan satu adik tersayangnya, Calista Nayara Aksantara.

Namun beberapa waktu setelah gerimis berubah lebih deras, suaranya justru melambat, menjadi lebih tenang dan tentunya lebih berat. “Lis… .”

“Hmm?”

“Aku gak bisa janji dateng, ya.”

Untuk sesaat, hanya ada bunyi rintik hujan yang memukul kaca depan mobil. Darren tidak suka berspekulasi ataupun melempar janji palsu yang dia sendiri tidak yakin.

Tatkala di seberang telepon, Calista sedang bersandar di kusen jendela kamarnya, memandangi halaman belakang yang berhias bola-bola lampu taman bercahaya keemasan. Sementara dua kakinya menggantung, bergerak bebas bersama lengkung berseri-seri di bibirnya kala suara kakak laki-lakinya itu muncul.

“Kalau Ayah lihat aku di sana,” lanjut Darren. “Semuanya bisa kacau. Aku gak mau kamu kena imbasnya lagi.”

“Enggak Kak… percaya sama aku deh. Aku udah bilang ke Ayah, ini acara aku. Kakak tamu kehormatan, titik.” Nada merajuk nan manja keluar lagi dari bibir gadis itu.

“Lis… .”

“Aku serius!” rengek Calista cepat. “Kalau Kakak nggak dateng, aku bakal… umm… aku bakal nyusul ke rumah kamu!”

“Entar kamu dibuntutin bodyguard Ayah kayak waktu itu? Apalagi kamu gak tau kakak tinggal di mana sekarang.”

“Biarin!” tegasnya, walau masih terdengar manja di ujung. “Kakak pikir aku nggak bisa kabur? Bodyguard ayah lebih takut sama aku daripada sama ayah.”

Darren diam cukup lama saat menatap jalanan sepi di depannya. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang perlahan melunak. Masalahnya dia memang sudah berkomitmen untuk pulang. Menemui adiknya lalu kembali pergi.

“Kamu tuh selalu kayak gini,” ujarnya. “Keras kepala, tapi bikin aku susah marah.”

“Karena aku satu-satunya yang masih sayang sama Kakak,” jawab adiknya. “Dan Kakak tau itu.”

“Denger ya, Lis,” Darren menarik napas, menatap ke depan, di mana sepanjang jalan yang basah tampak berbintang di bawah cahaya lampu jembatan. “Kakak nggak janji bisa dateng tepat waktu. Tapi kalau gak ada halangan apapun, mungkin aku nyampe sebelum tengah malem.”

“Beneran?” suara Calista langsung meninggi lagi, semangatnya ketara sekali di seberang telepon. “Astaga, Kak, aku bakal siapin banyak banget makanan! Aku bahkan—”

“Lis,” sela Darren. “Jangan kebanyakan heboh dulu. Bisa aja aku nyampe pas pestanya udah bubar.”

“Nggak apa-apa! Yang penting Kakak dateng. Aku bakal nungguin, sumpah. Aku bakal suruh semua orang minggir, biar kue red velvet-nya cuma buat Kakak! Atau Kakak mau es krim matcha, juga bakal Calista siapin!”

Darren tak kuasa menahan senyum. Bahkan dia menikmati setiap senyuman yang terukir entah sudah berapa kali. “Kamu tuh ya, selalu lebay tapi manis.”

“Kakak juga selalu pura-pura cuek tapi sayang,” balas Calista cepat.

Pemuda itu akhirnya tertawa lepas. “Udah ah, cerewet banget. Kakak mau jalan dulu. Nanti telpon kamu lagi kalau udah sampai.”

“Jangan lupa nyalain lampu hazard kalau hujan makin deras! Nggak usah buru-buru!”

“Iya, iya, kapten Calista.”

“Dan jangan nyetir sambil mikirin hal aneh-aneh!”

“Siap.”

“Kak Darren—”

“Lis,” potongnya dengan begitu lembut. “Love you.”

Hening untuk waktu yang membuat Kakaknya tidak sabar menanti jawabannya. Tepat setelah suara pesawat komersial melintas jauh di atas kepala, suara Calista menurun tajam, hangat, “Love you more.”

Sambungan kini terputus.

Adapun hujan di luar masih setia, menerjang kaca depan dan memperjelas wajah Darren yang letih.

Dia mengulurkan tangan ke gantungan kecil di kaca spion, menyentuh sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk dinosaurus mungil berwarna silver.

Kedua mata menatapnya lama.

Ingatan masa SMP datang begitu saja, terutama saat hari ulang tahun itu, tawa ibunya, dan ekspresi canggungnya saat menerima hadiah itu.

“Mi, masa cowok kayak aku dikasih dinosaurus? Serius? Ini terlalu kekanak-kanakan.”

“Apa boleh buat, Sayang… Ini karena kamu galak kayak T-Rex. Tapi di balik itu, kamu juga lembut kalau sayang sama seseorang. Contohnya sama Mami.”

Waktu itu Darren hanya mendengus, lalu menggantungkan kalung itu di meja. Tapi setelah ibunya tiada, ia tak pernah lagi bisa melepasnya dari pandangan. Dia selalu membawa kalung itu kemanapun ia pergi.

Kalung itu menjadi salah satu hal yang masih terasa hidup dari masa lalu. Ini memberikannya berbagai kekuatan yang dia butuhkan untuk tetap hidup.

Kini, suara mesin mobilnya berderu dan ia menggenggam kalung itu sekali lagi.

“Mami,” lirihnya tanpa senyuman. “Mami udah bahagia di atas sana, kan? Aku tahu, Mami gak mau aku terus-terusan hidup kayak gini.”

“Nanti juga waktunya datang, Mi. Aku bakal nyusul… walaupun aku harap bukan sekarang.”

Segeralah Darren membuka kaca jendela, membiarkan air bercampur dinginnya malam menerpa wajah dan tangan kanannya.

Kilauan kecil yang berkilat-kilat itu terbang ke luar jendela, jatuh ke dasar sungai lalu terseret derasnya arus di bawah sinar rembulan yang telah lama menjadi saksi bisu kedekatan mereka.

“Mami, maafkan aku kalau aku belum bisa menerima Ayah seperti dulu. Walaupun Darren harap dengan ini kebencianku terhadapnya bisa ikut tenggelam di dasar sungai bersama kalung itu.”

Kini Darren menyandarkan kepala ke jok, Tangannya menggenggam setir, tapi pikirannya melayang tinggi.

“God… I really don’t wanna go there,” berdecak seperti mengakui dosa. “Aku beneran gak sanggup duduk satu meja sama mereka lagi. Semua topik pasti muter di hal-hal yang sama.”

Pemuda Aksantara itu menarik napas panjang, lalu menutup mata. Merapikan posisi duduknya senyaman mungkin.

“Kalau aku bisa minta sesuatu, cuma satu aja. Please, kasih aku seseorang buat malam ini. Someone I can bring, supaya mereka tahu kalau aku bukan bagian dari dunia bajingan itu lagi. Seseorang yang bisa bikin mereka diam dan akhirnya sadar kalau aku sudah benar-benar melangkah pergi.”

Senyum miring tersungging di wajahnya, “I mean, come on, Darren,” selorohnya ke diri sendiri. Memikirkan itu saja sudah memalukan. “Aku beneran mikir mau cari pacar cuma buat selamat dari satu jamuan makan malam doang? Gila.”

Lalu ia menatap keluar sekali lagi setelah menghembuskan nafas lega, tepatnya ke sungai yang membawa pergi kenangan masa lalunya. “Tapi kalau Mami masih ada, dia pasti bakal ngerti kenapa aku capek banget pura-pura kuat di rumah itu.”

Setelah sekian lama meluapkan semua unek-unek, Mobil BMW hitam itu akhirnya melaju kencang menembus derasnya hujan, meninggalkan satu bagian dari masa lalu yang akhirnya ia relakan. Mempersiapkan diri untuk sesuatu yang jauh lebih besar. Apakah Tuhan akan mengabulkan doanya? Mempertemukannya dengan wanita asing demi kelancaran pesta ulang tahun Calista?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!