Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
Jodi masih menatap layar monitornya. Jemarinya berhenti di udara, sorot matanya kosong menatap grafik hasil pemeriksaan Miranda.
Tiga tahun ia menjadi dokter penanggung jawabnya, sepuluh tahun wanita itu menghuni rumah sakit ini, namun baru malam itu Miranda bereaksi sedemikian rupa.
Mengamuk, menjerit, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang memberontak ingin keluar. Bahkan sampai harus dipindahkan ke ruang isolasi.
Dan sampai detik ini, Jodi masih belum menemukan apa pemicunya.
Sebuah dering ponsel memecah keheningan.
Jodi menoleh ke arah jam dinding,pukul 03.07 dini hari.
Keningnya berkerut. Siapa yang menelepon di jam segila itu?
Saat melihat nama di layar, dadanya langsung mengencang.
Ayah mertua.
“Oh, tidak…” desisnya pelan sambil menekan pelipisnya.
Ia baru teringat sesuatu, Alin.
Ya Tuhan… malam tadi seharusnya ia menjemput istrinya pulang.
Dan lagi-lagi, ia melupakannya karena Miranda.
Ponsel itu terus bergetar di meja.
Jodi hanya menatapnya lama, ragu.
Ia tahu, kalau diangkat… percakapannya tidak akan menyenangkan.
Tapi kalau tidak, konsekuensinya bisa lebih buruk.
Akhirnya, dengan helaan napas berat, ia menekan tombol hijau.
“Hallo, Nak Jodi.”
Suara berat dan tenang dari seberang sana membuat Jodi spontan menegakkan punggung.
“Halo, Pa…” suaranya pelan, nyaris gugup.
“Kamu sedang sibuk?”
“Ah, iya, Pa… sedikit. Ada apa ya?”
Beberapa detik hening. Lalu suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dalam.
“Nak Jodi, kamu masih ingat dengan pesan Papa waktu itu?”
Deg.
Jodi terdiam. Tangannya mengepal di atas meja.
“I-ya, Pa. Saya masih ingat.”
“Bagus,” suara itu terdengar tajam namun tenang, seperti ancaman yang dibungkus senyum.
"Kamu tahu kan… apa konsekuensinya kalau itu sampai terjadi?”
Jodi menelan ludah, dadanya terasa sesak.
Tatapannya berpindah ke berkas Miranda di layar monitor.
Antara rasa bersalah, takut, dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
“Ya, Pa…” jawabnya akhirnya, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Begitu panggilan terputus, ruangan itu kembali tenggelam dalam sunyi.
Hanya bunyi detak jam dinding dan desiran pendingin ruangan yang terdengar samar.
Jodi menatap layar monitor yang masih menampilkan data medis Miranda, denyut jantung, tekanan darah, catatan perilaku harian.
Namun pikirannya tidak lagi di sana.
Ia bersandar di kursi, kedua tangannya menutupi wajah.
“Kenapa semua terasa salah begini…” gumamnya serak.
Ia menekan dahinya, mencoba menenangkan diri, tapi kata-kata mertuanya terus terngiang di kepala.
“Jangan buat anak saya kecewa. Kamu tahu konsekuensinya.”
Helaan napas panjang lolos dari bibirnya.
Antara takut, lelah, dan muak.
Bagaimana bisa seseorang yang mengaku “keluarga” justru membuatnya merasa seperti tahanan?
Jodi berdiri perlahan, menatap jendela ruang kerjanya yang gelap.
Bayangan dirinya memantul samar di kaca.
Wajah lelah. Mata sayu. Seseorang yang bahkan tak tahu lagi siapa yang sedang ia perjuangkan.
“Miranda…” lirihnya.
“Aku bahkan tak tahu kenapa aku terus terlibat sejauh ini.”
Namun sesuatu di dalam dirinya menolak berhenti.
Setiap kali ia ingin menyerah, wajah Miranda selalu muncul di pikirannya, tatapan kosongnya, senyum samar yang entah kenapa terasa familiar.
Dan nama itu… Miranda. Nama yang sama dengan seseorang di masa lalu yang pernah ia cintai dan hilang begitu saja.
Ia memejamkan mata, lalu mengepalkan tangan.
“Tidak… ini bukan kebetulan. Seseorang telah membuatnya seperti ini.”
Jodi kembali menatap layar monitor, kali ini dengan sorot mata berbeda.
Ada tekad di sana. Dingin, penuh tanya.
“Kalau memang ada yang sengaja membuat Miranda seperti ini,” katanya pelan, “aku akan menemukan siapa pelakunya. Sekalipun harus melawan orang-orang di dalam rumah sakit ini sendiri.”
......................
Sementara itu, di kediaman Damar, malam terasa begitu panjang.
Pria itu duduk di tepi ranjang dengan wajah gelisah. Matanya sayu, namun tak juga terpejam sejak berjam-jam lalu.
Setiap kali mencoba memejamkan mata, bayangan wajah Miranda selalu muncul di kepalanya, senyumnya, suaranya, bahkan cara ia menatap dengan pandangan kosong yang membuat dadanya nyeri sekaligus rindu.
Ia mengusap wajahnya, lalu melirik ke arah meja di sisi ranjang.
Di sana, sebuah paperbag putih berdiri diam, di dalamnya tersimpan gaun berwarna lembut, yang pernah ia beli beberapa waktu lalu.
Tangannya terulur, menyentuh permukaannya dengan hati-hati, seolah benda itu rapuh.
“Miranda…” suaranya nyaris seperti bisikan.
“Kamu pasti akan terlihat cantik jika memakai gaun itu.”
Damar tersenyum samar.
Tapi di balik senyum itu, ada sesuatu yang lain, sebuah hasrat untuk memiliki, untuk menjaga, untuk mengurung agar tak ada yang lain yang bisa melihat kecantikan itu.
Ia mulai membayangkan, jika dirinya berhasil membawa Miranda keluar dari rumah sakit.
Ia akan mengajaknya ke salon, menata rambutnya, membeli pakaian baru, memakaikan parfum lembut di lehernya.
Makan makanan lezat, … pergi ketempat yang belum pernah dia kunjungi. Pasti akan menyenangkan bukan?
Sekilas, senyum tipis terbit di sudut bibir Damar.
Namun senyum itu bukan sekadar senyuman biasa, ada sebuah kegilaan yang samar di baliknya.
Matanya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai.
Di luar sana, langit masih gelap, tapi pikirannya sudah melayang jauh, ke wajah Miranda, ke suaranya, ke tatapan yang selalu membuatnya merasa hidup.
“Tunggu aku, Miranda…” ucapnya lirih, nyaris seperti mantra.
“Aku janji, aku pasti akan datang menjemputmu.”
Tangannya meremas paperbag yang berisi gaun itu, seolah menyalurkan tekadnya melalui benda itu.
Senyum itu kini melebar pelan, menegaskan satu hal, esok hari, Damar benar-benar akan menepati janjinya..
***
Bayangan Miranda di pikiran Damar saat mengenakan gaun yang dibelinya
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...