Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.
Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.
Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Lorong menuju ruang kerja Leonard terasa seperti jalur menuju pengadilan. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya keemasan yang mewah, namun udara di sekitarnya terasa tebal dan penuh tekanan.
Alexander berjalan penuh percaya diri dengan langkah berat, auranya memancar liar, seolah ingin menunjukkan statusnya sebagai Hunter Rank S.
Di belakangnya, Jinwoo berjalan santai, tangan dimasukkan ke dalam saku. Tatapannya datar, seperti sedang melihat pemandangan biasa, bukan markas besar asosiasi Hunter yang penuh dengan orang-orang kuat.
Bagi mereka yang memperhatikan, kontras ini sangat mencolok.
Alexander terlihat seperti singa yang siap menerkam, sementara Jinwoo… seperti gunung es yang bergerak perlahan. Tenang di permukaan, tapi menyimpan sesuatu yang tak terukur di bawahnya.
Pintu ganda dari kayu mahoni yang berat terbuka dengan suara berderak.
Di dalam, Leonard—Vice Chairman asosiasi—sedang duduk di balik meja besar yang dipenuhi dokumen. Tubuhnya tegap, jas mahal, dan bagian atas kepalanya terlihat setengah botak, sisanya ditutupi rambut yang disisir licin.
Dia sedang memeriksa beberapa berkas ketika suara langkah kaki memasuki ruangan. Leonard mengangkat kepalanya dengan wajah datar… lalu terdiam.
Bukan karena Alexander, tapi karena pria yang berjalan di belakangnya.
Alexander, tanpa menyadari perubahan ekspresi itu, tersenyum lebar.
“Lihat siapa yang saya bawa, Tuan Leonard!” katanya penuh kebanggaan.
“Saya menyelesaikan tugas ini dengan mudah, tugas yang bahkan anjing-anjing murahan Anda itu tidak mampu laksanakan.”
Leonard hanya mengangkat alis, suaranya dingin dan penuh perhitungan.
“Apakah dia… Ethan?”
Alexander tertawa meremehkan.
“Bukan. Dia hanyalah kenalan Ethan, tapi aku yakin dia tahu banyak tentang orang yang sedang kau cari.”
Ia lalu menoleh ke Jinwoo dengan wajah angkuh.
“Woi, jelata, sebutkan namamu! Tuan Leonard sudah menanyakanmu, ini kehormatan besar bagimu.”
Namun Jinwoo tidak langsung menjawab.
Dia hanya menatap Leonard dari atas ke bawah, matanya penuh rasa malas. Pandangannya terhenti di bagian kepala Leonard yang setengah botak, dan bibirnya bergerak pelan, gumamannya terdengar jelas di ruangan yang hening itu.
“Kenapa ya… setiap penjahat pasti punya ciri-ciri kepala setengah botak?”
Dia mengangkat bahu dengan ekspresi datar.
“Mungkin karena mereka sering stres sendiri, ya?”
Suasana ruangan seketika membeku.
Alex ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Bahkan Leonard sendiri seperti tak yakin telinganya berfungsi dengan benar.
Wajah Leonard memerah, urat di pelipisnya menonjol.
“Apa yang kau lihat, bajingan?!” teriaknya, nadanya penuh penghinaan.
Alexander langsung meledak marah. Aura yang luar biasa meledak dari tubuhnya seperti badai, membuat meja-meja di ruangan itu bergetar dan kaca jendela berderak.
“Kurang ajar!” teriak Alexander.
“Berani sekali kau bersikap tidak sopan pada Tuan Leonard! Dia adalah Vice Chairman di sini!”
Alexander melangkah maju, tatapannya penuh amarah.
“Kau seharusnya merasa terhormat hanya karena aku menanyakan namamu, dasar sialan!”
Namun yang terjadi membuat semua orang tercekat.
Aura mengerikan itu mengenai Jinwoo… dan hilang begitu saja, seperti ombak yang menghantam tebing kokoh. Jinwoo bahkan tidak berkedip.
Dia hanya berdiri tenang, lalu berkata datar, bahkan tanpa sedikit pun emosi.
“Ah… maafkan ketidaksopananku.”
Dia sedikit menunduk—bukan sebagai tanda hormat, melainkan sekadar formalitas.
“Namaku… Jinwoo.”
Ruangan seketika hening.
Leonard, yang tadinya murka, tiba-tiba terdiam. Matanya menyipit penuh kecurigaan.
“Jinwoo?” ulangnya pelan, seolah mencoba memastikan.
“Apakah kau seorang… turis di sini?”
Jinwoo mengangkat bahu dengan santai.
“Yah… bisa dibilang begitu.”
Alexander ikut bicara dengan penuh semangat, berusaha menenangkan Leonard.
“Dia juga yatim piatu, Tuan Leonard. Tidak ada catatan keluarga, tidak ada siapa pun yang akan mencarinya.”
Wajah Leonard perlahan berubah menjadi senyuman licik.
“Baguslah kalau begitu.”
Dia menyeringai.
“Dengan begini, tidak ada orang yang akan peduli meskipun kau… menghilang.”
Jinwoo hanya mendengus pelan.
“Hmm? Suka-suka kau saja.”
Sekali lagi, ruangan membeku.
Alexander memandangnya dengan wajah merah padam, hampir tak percaya dengan sikap Jinwoo yang begitu angkuh.
“Bajingan…!” geramnya dalam hati.
“Apakah dia benar-benar tidak tahu siapa yang sedang dia hadapi?”
Leonard duduk kembali, mencoba memulihkan wibawanya.
“Apakah dia… orang sinting?” gumamnya pada Alexander.
Alexander menghela napas, menahan amarahnya yang hampir meledak.
“Sejak pertama kali aku bertemu dengannya, dia selalu seperti itu. Menurutku, dia mungkin sangat gugup dan ketakutan, sampai-sampai jadi seperti orang idiot.”
Leonard mengangguk pelan.
“Ah, masuk akal…” katanya sambil memperhatikan Jinwoo lebih dekat.
Pandangan Leonard kemudian jatuh pada holy staff usang yang tersandang di punggung Jinwoo.
“Apakah kau seorang healer? Seorang priest mungkin?” tanyanya dengan nada meremehkan.
Jinwoo hanya melirik tongkat itu sekilas sebelum menjawab ringan.
“Seperti yang kau lihat.”
Jawaban singkat itu seperti api yang menyulut bara amarah Alexander.
“BUAAA—JINGGAAANN!!” teriak Alexander sambil maju, aura mautnya kembali melonjak.
Namun kali ini Leonard mengangkat tangannya, menghentikannya.
“Tenang,” kata Leonard.
Dia tersenyum sinis sambil menunjuk staff di punggung Jinwoo.
“Sepertinya kau berasal dari kasta rendah… melihat healing cane-mu yang usang dan menyedihkan itu. Seharusnya kau membuang rongsokan itu ke tempat sampah.”
BOOOM!
Seketika… udara di ruangan berubah.
Semua orang, termasuk Alexander dan Leonard, merasakan sesuatu yang tak terlihat menghantam jiwa mereka.
Tatapan Jinwoo yang sebelumnya datar kini berubah menjadi tatapan membunuh.
Di mata Leonard dan Alexander, seolah sabit raksasa yang terbuat dari darah melingkari leher mereka, siap menebas kapan saja.
Nafas mereka tercekat.
Keringat dingin mengucur deras.
Kaki mereka gemetar tanpa kendali, bahkan udara terasa sulit dihirup.
“Ka… kau…” Leonard tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Suara Jinwoo terdengar datar, namun setiap kata bagaikan pisau yang menusuk jiwa.
“Kau boleh menghinaku sesuka hatimu.”
Dia melangkah maju perlahan.
“Tapi jika kau menghina sesuatu yang berharga bagiku…”
Mata Jinwoo menyala dingin, seperti jurang tanpa dasar.
“Bahkan dewa pun tidak bisa menyelamatkanmu.”
Dalam sekejap, Jinwoo menarik kembali tekanan itu.
Udara kembali normal, meski aroma ketakutan masih menggantung tebal.
Jinwoo berdeham pelan, seperti orang yang baru saja sadar dirinya terlalu jauh.
“Maafkan ketidaksopananku,” ucapnya datar.
“Aku… sedikit sensitif soal barang pribadi.”
Leonard terduduk di kursinya, napasnya tersengal.
Dia memandang Alexander dengan mata penuh ketakutan.
“Dasar bajingan! Orang macam apa yang kau bawa ke sini, hah?!”
Alexander, yang lututnya masih gemetar, hanya bisa menggeleng cepat.
“A-aku… aku tidak tahu, Tuan Leonard. Dia… dia terlihat seperti orang biasa…”
Sementara itu, Jinwoo hanya duduk santai di kursi yang tersedia, ekspresinya kembali datar.
Dalam hatinya, ia tersenyum dingin.
“Jadi mereka menganggap holy staff ini hanya sebuah healing cane murahan, ya?”
Dia mengelus tongkat itu dengan lembut.
“Itu bagus. Jika mereka tahu benda ini adalah salah satu Senna Mitos, aku tak bisa membayangkan keributan yang akan terjadi.”
Matanya menyipit, dan tatapannya kembali dingin.
“Lebih baik tetap membiarkan mereka berada dalam kebodohan.”