Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERJANJIAN DIATAS RANJANG
Jam dinding di kamar berdetak pelan. Angka dua lewat lima belas dini hari, namun mata Maya masih terbuka. Kipas angin tua di langit-langit berputar lambat, menciptakan bayangan samar di dinding yang bergerak seperti hantu masa lalu.
Maya duduk di pojok kasur, memeluk lututnya sendiri. Di sampingnya, Nayla sudah tertidur pulas. Nafas kecil anak itu teratur, sesekali tubuh mungilnya bergerak gelisah, memeluk erat boneka kelinci lusuh bernama "Putih".
Sementara itu, Maya merasa seperti tanah yang sudah retak, siap ambruk jika disentuh sedikit saja.
Ia meraih ponselnya, hanya untuk menenangkan pikirannya. Tapi begitu layar menyala, notifikasi media sosial memenuhi feed-nya.
"ADRIAN LESMANA MENANGKAN KASUS ARTIS TERKENAL VS MANTAN SUAMI — BAYARANNYA DIDUGA MENYENTUH ANGKA MILIARAN!"
Berita itu dari akun gosip hukum ternama. Disertai foto Adrian berdiri tegak di depan gedung pengadilan, mengenakan setelan hitam rapi dan wajah dingin seperti patung marmer. Di foto lainnya, ia berdiri berdampingan dengan sang artis — wanita glamor, bibir merah menyala, menunduk seolah berterima kasih padanya.
Jantung Maya berdetak lebih cepat. Tangannya gemetar.
Adrian terlihat sangat… tak tersentuh. Seperti bukan manusia. Seperti pria dari dunia lain — dunia yang tak pernah mengenal luka, kehilangan, atau keterdesakan seperti yang ia alami.
Ia menggulir layar ke bawah, membaca komentar netizen:
“Pantas bayarannya segitu, tiap kasus dia MENANG.”
“Katanya bisa dibayar apa aja... asal dia mau 😏”
“Dingin tapi HOT gilaaaaa 😭💦”
Maya meletakkan ponselnya dengan napas berat. Kepalanya tertunduk.
“Aku salah satu dari mereka sekarang,” batinnya getir.
Tapi tidak. Ia bukan mereka. Ia bukan artis, bukan orang kaya, bukan wanita penuh riasan yang bisa berdiri di depan kamera sambil tersenyum menang.
Ia hanya Maya. Wanita yang mengorbankan harga dirinya agar Nayla tidak jatuh ke tangan pria kejam bernama Reza.
Matanya beralih ke Nayla yang kini memeluk bonekanya erat-erat. Gadis kecil itu tidak tahu apa yang telah ibunya lakukan hari ini. Tidak tahu bahwa demi bisa terus membacakan dongeng setiap malam, ibunya harus menjual kebebasannya.
Maya menarik napas dalam-dalam. Tangisnya sudah tak bisa ditahan lagi. Tapi ia membungkamnya dengan tangan. Suaranya tertahan di kerongkongan seperti jeritan yang tak pernah berhasil keluar.
“Maafkan Mama ya, Nayla... Maaf Mama harus kotor supaya kamu tetap bersih…”
Air mata jatuh, satu per satu, menodai kaus lusuh yang ia kenakan.
Ia bangkit perlahan, memastikan Nayla tetap terlelap. Kakinya melangkah ke dapur kecil, membuka kulkas dan menuang segelas air. Tangannya masih gemetar. Saat ia menatap kaca kecil di atas wastafel, bayangan dirinya terlihat begitu asing.
“Siapa kamu sekarang, Maya?”
Perempuan dalam cermin itu bukan dia. Bukan Maya yang dulu. Bukan Maya yang bisa tertawa, mencintai, berharap. Ia adalah seseorang yang mengubur semua rasa — demi satu hal: mempertahankan Nayla.
Setelah menghabiskan air putih, ia kembali ke kasur, duduk bersila sambil memandangi langit-langit. Pikirannya kembali pada pria itu.
Adrian Lesmana.
Ia benci cara pria itu memperhatikannya — bukan seperti seorang pria menatap wanita, tapi seperti seorang jaksa menilai saksi lemah di ruang interogasi. Tajam, presisi, tidak meninggalkan ruang untuk tipu daya.
Namun, di balik tatapan dingin itu… ada sesuatu. Ada sesuatu yang menyentuhnya. Bukan simpati, bukan kasih, tapi semacam rasa ingin tahu yang mendalam. Seolah Adrian juga… hancur, tapi tak membiarkan dirinya terlihat runtuh.
Dan karena itu… Maya takut.
“Apa yang akan dia minta lagi dariku?”
“Apa aku bisa terus bertahan?”
Malam itu, Maya tak benar-benar tidur. Ia hanya memeluk Nayla erat-erat, mencium kening anak itu sambil bergumam pelan:
“Mama nggak akan ninggalin kamu… Apa pun yang terjadi.”
kamu harus jujur maya sama adrian.