Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Malam itu, kota Olympus bersinar terang dengan lampu neon yang tak pernah padam. Namun di lantai dua belas sebuah hotel mewah, Kimberley justru terjebak dalam gelap pikirannya sendiri. Sejak menutup pintu kamar, matanya tak pernah bisa benar-benar terpejam.
Ia masih bisa merasakan debar tangis Bella, bisa membayangkan tatapan kakaknya yang penuh amarah, dan bagaimana semuanya runtuh begitu cepat di depan matanya. Kimberley menggenggam erat selimut, lalu akhirnya menyerah. Ia bangkit, melangkah pelan ke arah balkon.
Begitu pintu kaca didorong, udara malam yang dingin langsung menyapu kulitnya. Kimberley bersandar di pagar balkon, menatap ke bawah. Lampu-lampu kota Olympus berpendar, seolah mengejek nya
“...You’re still awake.”
Kimberley tersentak pelan. Suara dalam itu datang dari belakang. Nicholas berdiri di ambang pintu balkon, dengan kaus hitam tipis dan rambut sedikit acak-acakan, bayangan tubuh tingginya terlihat samar di bawah cahaya bulan.
Kimberley menghela napas panjang. “Couldn’t sleep,” jawabnya lirih, tetap menatap kota di bawah sana.
Nicholas berjalan mendekat, berhenti di sampingnya. Ia menatap Kimberley sejenak, lalu bertanya pelan, “Because of what happened earlier?”
Kimberley menggigit bibir, lalu mengangguk pelan. “Yeah… Bella, my brother… It felt like the past was choking me. I thought I was strong enough to face it, but turns out… I’m still the same scared little girl.”
Nico menatapnya lama. Suaranya pelan tapi tegas, “You don’t look like a scared little girl to me.”
Kimberley menoleh, bibirnya bergetar. “Then what do I look like to you, Nico?”
“Someone who survived. A fighter,” jawab Nicholas datar, tapi matanya tak pernah lepas dari wajahnya.
Air mata menumpuk di pelupuk mata Kimberley. Kalimat sederhana itu menusuk lebih dalam daripada seribu penghiburan. Ia menelan ludah, lalu dengan suara lirih melanjutkan, “I’m scared, Nicholas. Scared that… if they find out who I am, everything will fall apart.” Dia menarik napas dalam, matanya terpejam sebentar. “And yet… I can’t walk away from this city. Not after knowing the truth.”
Nicholas akhirnya menoleh. “The truth?”
Kimberley menunduk. “That I was never really… their blood. I’m just an adopted daughter. “Before my stepfather died… he left me a will. A letter.” Suaranya mulai bergetar. “He said I had to come back here. To live here, to study here, to… grow stronger. At first, I thought it was just his last wish. But then… I found out the truth. That I’m not even their real daughter. I was adopted.”
Air matanya jatuh. Kimberley cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan, tapi suaranya semakin pecah. “And that will also said… I’m the sole heir of everything the Cromwell family owns. Every single asset. Me. The girl who doesn’t even share their blood.”
Nicholas tetap diam. Tapi diamnya bukan dingin—lebih seperti memberi ruang agar setiap kata Kimberley bisa keluar tanpa tergesa.
Kimberley tertawa getir sambil mengusap pipinya. “Can you imagine how heavy that feels? To carry their name, their legacy, when I’m not even one of them? Sometimes… I don’t know if I should be grateful, or feel like a fraud.”
Butuh waktu beberapa detik sebelum Nicholas akhirnya membuka suara. “If he chose you… it means you were worthy. Blood doesn’t make you family. Choice does.”
Keheningan panjang menggantung. Nicholas tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata seperti “I’m sorry” terasa tidak cukup.
Kimberley menunduk, lalu setelah lama berpikir, ia memberanikan diri. “Can I ask you something, Nico?”
“Go ahead.”
“Why did you accept this job? Why me?” Matanya menatap lurus ke arah Nicholas. “You could work for anyone. Protect anyone. But you chose me. Why?”
Nicholas terdiam sejenak, menatap jauh ke arah lampu kota. Lalu ia menjawab pelan, “Because… people think you’re fragile. But I see something else. Strength. Fire. I thought… maybe it’s worth protecting.”
Kimberley menoleh, matanya basah, menatap lurus pada Nicholas. Ia terdiam, lalu perlahan bibirnya membentuk senyum kecil. “For someone who always looks like an iceberg, you sure know how to melt people’s hearts, Nico.”
Nicholas berdehem singkat, menoleh ke arah lain. “Don’t say nonsense.”
Kimberley terkikik, mencoba meringankan suasana. “Oh, come on. You do care, don’t you?”
“Kimberley—”
“Admit it.” Ia mencubit lengannya.
Nicholas menghela napas, tapi tidak menyingkir. Kimberley semakin gemas, lalu tiba-tiba menggelitik pinggangnya. Nicholas refleks mundur, wajahnya terkejut.
“Stop it,” katanya dengan nada lebih keras, tapi Kimberley malah tertawa lepas.
“Hah! I knew it! Nico can laugh!”
Nicholas hendak melangkah pergi, tapi Kimberley dengan cepat mengulanginya lagi, kali ini lebih nekad. Nicholas akhirnya menangkap kedua tangannya, mencengkeramnya erat agar ia tak bisa bergerak.
Mendadak suasana berhenti.
Kimberley terdiam, begitu juga Nicholas. Jarak mereka terlalu dekat. Begitu dekat hingga detak jantung keduanya seakan berlomba. Kimberley bisa merasakan napas hangat Nicholas, dan dalam hitungan detik, wajah mereka semakin mendekat.
Lalu, tanpa sadar, Nicholas mengangkat tangannya yang bebas. Dengan gerakan perlahan, lembut, ia membelai pipi Kimberley. Tatapannya berubah, dari tajam menjadi penuh sesuatu yang Kimberley tak bisa definisikan.
Kimberley menahan napas, jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin Nicholas bisa mendengarnya. Wajah mereka semakin dekat, begitu dekat hingga hanya tinggal beberapa sentimeter saja
ketika tiba-tiba dering telepon memecah momen itu.
Nicholas tersentak, segera melepas cengkeramannya. Ia mundur selangkah, meraih ponselnya, lalu menatap Kimberley sekilas. “...I need to take this.”
Kimberley hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya berkecamuk.
Tanpa menunggu lebih lama, Nicholas masuk kembali ke dalam kamar, langkahnya tenang seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa barusan.
Kimberley tetap berdiri di balkon. Nafasnya masih tersengal, pipinya panas, dan senyum kecil tak bisa ia tahan. Ia menatap punggung Nicholas yang menjauh, lalu bergumam nyaris tanpa suara, “Even ice can melt…”
Nicholas menutup pintu balkon pelan agar suaranya tak terdengar keluar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia menekan tombol hijau di layar.
“Sir,” ucapnya singkat, datar, tapi penuh hormat.
Di seberang sana terdengar suara dalam dan berat, suara yang membawa wibawa sekaligus tekanan. Michael Morgan.
“...Nicholas. Tell me, are you guys safe? How’s my daughter?”
Nicholas menegakkan tubuhnya, meski tak ada yang melihat. “She's fine, Sir.”
Hening sejenak, lalu Michael melanjutkan, suaranya menajam. “Don’t give me vague answers. How is she? Did something happen?”
Sekilas bayangan wajah Kimberley menangis, bergetar, lalu tertawa kecil sambil menggoda barusan, melintas di pikiran Nicholas. Ia menutup matanya sebentar, mencoba mengendalikan nada suaranya.
“She’s… adjusting, Sir. Moving into a new environment, new city, it takes time,” jawabnya hati-hati.
Michael terdiam. Lalu terdengar tarikan napas berat di ujung sana. “Nicholas. I trust you. But if anything happens to her, anything at all, you know the consequences.”
Detik itu juga, dada Nicholas terasa ditekan. Ia tahu benar apa arti kata-kata itu. Dengan suara mantap ia menjawab, “Yes, Sir. I understand.”
“Good.” Michael kembali berbicara, kali ini nadanya sedikit melembut. “And tell me… did she mention me?”
Nicholas menoleh sekilas ke arah balkon, di mana sosok Kimberley masih berdiri, punggungnya terlihat samar dari celah tirai. Bibir Nicholas menegang. Ia tahu, jika ia mengatakan yang sebenarnya, tentang Kimberley yang menangis karena luka masa lalu, tentang rahasia wasiat, tentang identitasnya sebagai anak angkat, itu akan memicu murka yang bahkan ia sendiri tak ingin saksikan.
Dengan tegas, ia memilih kalimat lain. “She’s focused on her studies, Sir. And she’s resting now. Sleeping.”
Ada hening cukup lama di ujung sana, sebelum akhirnya Michael berdesis pelan. “…I see. Good. Let her rest. And Nicholas—”
“Yes, Sir?”
“Don’t fail me.”
Klik. Sambungan terputus.
Nicholas menurunkan ponselnya perlahan, menatap layar yang kini gelap. Ujung jarinya mengepal, rahangnya mengeras. Ia tahu ia baru saja berbohong pada satu-satunya pria yang paling ia takuti sekaligus hormati.
Namun saat bayangan Kimberley di balkon kembali masuk ke kepalanya, dengan senyum kecil dan mata basah yang barusan ia lihat… entah bagaimana, Nicholas merasa itu adalah satu-satunya kebohongan yang benar.
Matahari pagi merayap pelan, menembus sela gedung-gedung kota Olympus. Udara masih segar, embun masih menggantung di dedaunan, seolah kota ini baru saja membuka mata setelah malam panjang yang penuh rahasia.
Pagi itu Dominic memarkir motornya di tepi taman yang sudah lama tak ia datangi. Tempat ini dulunya sering ia kunjungi bersama Elanor, bangku kayu di bawah pohon besar yang rindang, tempat mereka tertawa sambil berbagi minuman kaleng, tempat ia sering mendengar curhatan adiknya sambil menahan letih setelah latihan bengkel.
Ia duduk diam, pandangannya kosong menatap danau kecil di depan sana. Angin membawa aroma nostalgia yang begitu menusuk.
“Masih sering ke sini, Nak?” suara seorang pria tua yang sedang jalan pagi menyapanya.
Dominic menoleh, sedikit terkejut. “Eh… Iya, Pak.”
Pria tua itu tersenyum samar. “Aku sering lihat kamu sama adikmu dulu. Gadis manis itu, yang selalu senyum sambil bawa buku. Apa kabar dia sekarang?”
Pertanyaan itu menusuk dadanya. Dominic menelan ludah, matanya sedikit memerah. Ia tak bisa menjawab jujur, hanya bisa mengangguk singkat. “Baik, Pak… Dia baik.”
Pria tua itu mengangguk puas, lalu berlalu meninggalkan Dominic yang kini menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya.
Di sisi lain kota, Bella melangkah masuk ke sebuah toko buku yang penuh kenangan. Aroma kertas dan tinta seketika membawanya pada masa-masa ia dan Elanor atau Lala, begitu panggilannya, bersembunyi di antara rak buku, tertawa kecil karena sama-sama rebutan novel baru terbit.
Ia berjalan pelan, jemarinya menyusuri punggung-punggung buku, matanya menerawang. Dan di detik itu juga, ia seolah melihat siluet yang begitu ia kenal. Rambut panjang, cara berjalan yang khas, bayangan Lala melintas di antara rak buku.
“Lala?” bisiknya tanpa sadar, matanya melebar.
Ia buru-buru berlari ke arah bayangan itu, tapi yang ia temui hanyalah seorang gadis asing yang menatap bingung. Bella menunduk, hatinya berdegup kencang, air matanya hampir jatuh. Aku jadi gila, atau memang kamu ada di sini, Lala?
Sementara itu, Rio justru berada dalam situasi paling absurd. Dengan langkah yakin ia mengikuti seorang gadis dari belakang. Dari rambut, postur, bahkan cara jalannya mirip sekali dengan Kimberley.
“Ah, ketemu juga… Jangan-jangan ini beneran si nona itu,” gumamnya sambil menyipitkan mata.
Ia terus membuntuti, menyelinap di antara kerumunan. Namun ketika gadis itu berhenti mendadak dan berbalik, Rio langsung kaku. Wajahnya jelas bukan Kimberley.
“Lo ngapain ngikutin gue, hah?!” si gadis berteriak, menarik perhatian orang sekitar.
“Eh… Lo salah paham, gue kira—”
PLAK!
Tamparan mendarat di pipinya, membuat Rio terhuyung sambil memegangi pipi. Orang-orang memandangnya penuh curiga, sementara gadis itu pergi sambil menggerutu.
Rio hanya bisa menghela napas panjang, wajahnya memerah bukan hanya karena tamparan, tapi juga malu. “Sial… Kalau Dominic tahu gue dikerjain beginian, bisa diketawain gue sampai kiamat.”
Dan berbeda dengan yang lain, Daniel memilih jalannya sendiri. Ia duduk di sudut Café Verona, tempat yang dulu sering jadi langganan Elanor dan Bella. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang mulai dingin, sementara matanya menyapu setiap sudut ruangan.
Tak ada tanda-tanda jelas, hanya kursi kosong yang seolah menyimpan bayangan masa lalu. Ia menutup mata sebentar, membayangkan suara tawa Elanor menggema di ruangan ini.
Perlahan, ia membuka buku catatan kecil, mencatat sesuatu. “Jejak… pasti ada. Tinggal tunggu waktu.”
Di wajahnya yang tenang, terselip tekad kuat. Berbeda dengan Dominic yang emosional, atau Rio yang ceroboh, Daniel tahu permainan ini butuh kesabaran. Dan ia bersumpah, cepat atau lambat, misteri ini akan terbuka.
Hari semakin siang. Matahari Olympus sudah meninggi, dan jalanan kampus mulai dipenuhi mahasiswa yang hilir mudik dengan buku di tangan. Di antara keramaian itu, Bella melangkah dengan langkah berat. Matanya sembab, wajahnya terlihat lelah setelah mencari sosok sahabatnya di perpustakaan dari pagi.
Ia menarik napas panjang, mencoba menegakkan bahu. Namun detik berikutnya, langkahnya terhenti. Pandangannya membeku.
Di depan sana, di antara kerumunan mahasiswa, ia melihat sosok yang sama, sesosok gadis berambut pirang, dengan pria tinggi menjulang di sampingnya. Gadis itu… itu pasti Lala, dalam pikirannya.
Tanpa pikir panjang, Bella berteriak lantang, suara parau namun penuh keyakinan
“LALAAAA!”
Suara itu menusuk suasana kampus yang ramai. Beberapa mahasiswa menoleh heran, tapi Kimberley yang mendengarnya langsung menoleh. Tubuhnya menegang. Jantungnya berdetak tak karuan, seakan seluruh udara di sekitarnya lenyap.
Wajah Bella terlihat jelas, berlari ke arahnya dengan mata yang penuh harap, sama persis seperti kemarin di kafe. Panik melanda, Kimberley refleks berbalik arah. Tanpa aba-aba, ia berlari ke dalam kerumunan mahasiswa, menabrak bahu-bahu orang yang dilewatinya.
“Lala!” teriak Bella lagi, kali ini lebih keras, nyaris pecah oleh tangisan. Ia berusaha mengejar, tapi tubuhnya terus terhimpit arus mahasiswa yang keluar masuk gedung.
Pria tinggi di samping Kimberley, yaitu Nicholas, panik terpampang di wajahnya, dan tanpa ragu ia segera menyusul langkah Kimberley yang kabur. Gerakannya sigap, penuh kewaspadaan, menembus kerumunan dengan tatapan tajam yang menjaga agar gadis itu tidak terlepas dari pandangannya.
“LALAAA, TUNGGU GUEEE!” teriakan Bella menggema, memecah hiruk pikuk kampus, membuat beberapa mahasiswa berhenti dan menatap bingung.
Namun Kimberley tak berhenti. Air matanya hampir pecah, tubuhnya gemetar, dan hanya satu yang ada di pikirannya "aku belum siap…"
Di belakang, Bella terus berlari, hampir terjatuh, matanya tak lepas dari sosok sahabat yang sudah lama hilang.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭