“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Di Persimpangan
Di meja belajar Kevia yang penuh coretan tugas sekolah, terbentang sebuah kertas kusam. Sketsa wajah seorang pria tergambar di sana. Garis-garis sederhana tapi penuh perasaan. Mata Kevia menatap sketsa itu lama, seolah sedang menatap sosok nyata yang berdiri di hadapannya.
“Setelah lima tahun berlalu… tapi aku masih ingat jelas wajah itu.”
Dalam hati, Kevia kian terpesona. Wajah pria itu kini tampak lebih tegas, lebih berwibawa. Napasnya keluar berat, getir. Giginya menggigit bibir bawah saat kenangan tadi sore kembali menyesak. Darah, sirene ambulans, dan tatapan lemah dari pria yang pernah menolongnya.
“Aku ingin menjenguk Om itu…” bisiknya lirih. Namun pandangannya meredup. “Tapi rumah sakit itu terlalu jauh. Kalau aku pulang terlambat lagi… Nyonya Rima pasti marah besar. Hari ini aku selamat karena Nyonya dan Riri pergi.”
Ia meremas kertas sketsa itu erat, lalu menghela napas kasar, hampir putus asa.
Namun keesokan harinya, keberanian menggerakkan langkahnya.
"Cuma sebentar," gumamnya.
Dengan jantung berdegup keras, ia sampai di rumah sakit dan bertanya tentang pria itu. Tapi jawaban petugas membuat hatinya seketika runtuh.
“Pasien itu sudah dipindahkan, Nak. Ke rumah sakit lain. Rumah sakit yang lebih besar," jelas perawat lembut.
Kevia tak menyerah. “Saya ingin tahu namanya, Sus.”
Suster itu tersenyum ramah, tapi ada ketegasan di matanya. “Maaf, Nak. Selain memang aturan rumah sakit, pihak keluarga pria ini sangat tertutup. Mereka benar-benar menjaga privasinya. Saya tidak bisa memberikan informasi apa pun.”
Kevia menggenggam ujung bajunya erat. Ada rasa sesak yang tak bisa ia tahan. “Setidaknya… beri tahu saya rumah sakit mana dia dipindahkan. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”
Suster itu menghela napas pelan, menunduk sebentar, seolah ikut merasakan keresahan Kevia. “Nak, saya paham perasaanmu. Tapi... keluarga pria itu benar-benar menekankan agar tak ada informasi keluar. Bahkan kami sesama tenaga medis pun dibatasi.”
Dada Kevia seketika sesak. Rasanya seperti sebuah pintu harapan baru saja ditutup tepat di depan wajahnya.
Bahunya langsung lunglai. Langkahnya pulang terasa berat. Ia menunduk, membawa kecewa yang ia sembunyikan di balik wajah pasrahnya.
***
Satu minggu kemudian, di sebuah ruangan luas beraroma kopi dan parfum mahal, seorang pria berdiri menghadap dinding kaca yang menampilkan lanskap kota. Tubuhnya tegap, kedua tangannya diselipkan di saku celana.
Di belakangnya, seorang pria berjas hitam menunduk hormat.
“Bos… CCTV di lokasi kejadian tidak ada. Rekaman CCTV rumah sakit juga gagal kami dapatkan, sistemnya sedang down sore itu. Begitu diperbaiki, data lama sudah terhapus otomatis. Jadi tidak ada rekaman gadis itu.”
Pria itu masih terdiam. Rahangnya menegang.
“Lalu, staf medis? Tidak ada yang mengingatnya?”
Pria berjas itu menghela napas berat.
“Saat keadaan darurat, banyak korban masuk bersamaan. Para perawat dan dokter hanya mengaku melihatnya sekilas, tak ada yang bisa benar-benar menggambarkan wajahnya. Mereka hanya ingat, dia ikut mendonorkan darah bersama beberapa pendonor lain, lalu pergi begitu saja. Satu-satunya perawat yang sempat berbicara dengannya besok sorenya… meninggal dalam kecelakaan saat pulang kerja. Dan sore itu, ketika gadis itu datang, CCTV kembali error.”
Tangan pria itu terangkat, mengusap wajahnya kasar. Sorot matanya suram.
“Dia menolongku… memanggil ambulans… bahkan mendonorkan darahnya. Aku berutang nyawa.”
Pria berjas hitam menunduk lebih dalam. “Kami sudah cek bank darah, Bos. Tapi saat darurat, darah donor sukarela dicatat dengan nomor kode, bukan nama. Sistem mencatatnya sebagai ‘donor insidental’, sehingga identitas aslinya tidak bisa dilacak. Bahkan rumah sakit tidak menyimpan detail pribadi, karena itu dianggap sukarela dan rahasia medis.”
Pria itu memejamkan mata, berusaha menggali ingatan yang samar. Bayangan gadis itu kembali. Tangan yang tergesa melepas sweater, hingga kancing kemejanya terlepas.
Napas pria itu tercekat, lalu suara beratnya terdengar dalam.
“Aku hanya ingat satu hal… dia punya tahi lalat kecil di dada kirinya.”
Pria berjas menghela napas berat. “Mencari seseorang hanya dengan ciri seragam SMA dan tahi lalat di dada… hampir mustahil. Bahkan bisa menjerumuskan kami pada masalah lain. Dianggap cabul.” keluhnya dalam hati.
Pria itu berbalik, menatapnya lurus.
“Cari dia. Apa pun caranya. Aku… harus menemukannya.”
Wajahnya lelah, tapi terbakar tekad.
***
Bel pulang bergema panjang, menggema di koridor sekolah. Murid-murid berhamburan keluar dengan riang, tapi Kevia melangkah pelan, matanya kosong. Bayangan wajah pria itu, pria yang pernah menolongnya lima tahun lalu, dan yang baru-baru ini ia selamatkan, masih memenuhi pikirannya.
Tiba-tiba, sebuah tangan menarik pergelangannya. Kevia terlonjak, hampir menjerit. Namun begitu menoleh, wajahnya melunak. Ia tahu benar siapa pemilik genggaman itu.
Kevin.
Seperti sore-sore sebelumnya, seperti rahasia yang sudah mereka jaga hampir tiga tahun, keduanya duduk di sudut sekolah yang sepi. Tempat itu sudah jadi saksi percakapan mereka, dari canda kecil sampai keluh kesah yang tak pernah mereka bagikan ke orang lain.
Kevin menyodorkan sebotol air mineral dan sebungkus cemilan.
“Makanlah,” ucapnya santai, seperti biasa.
“Terima kasih,” sahut Kevia, menerima lalu mulai mengunyah perlahan.
Sejenak keheningan menutup mereka, hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan di atas kepala. Lalu Kevin membuka suara, matanya tak lepas dari ranting yang berayun.
“Sebentar lagi kita lulus. Kamu mau kuliah, Via?”
Keheningan kembali. Kevia menghela napas panjang.
“Aku pengen… tapi aku nggak tahu bisa atau nggak.”
Kevin melirik sekilas. “Riri nggak kuliah?”
“Entahlah. Dia lebih fokus ke sanggar… pengen jadi artis.”
Kevin tertawa pelan, getir. “Artis? Dengan otaknya yang segitu? Aku rasa dia cuma bisa jadi ‘artis’ yang main di adegan ranjang.”
Kevia terdiam, tak menanggapi, hanya menghela napas dan mengalihkan pembicaraan.
“Kalau kamu? Mau kuliah di mana?”
Kevin menunduk sejenak.
“Sebenarnya aku pengen tetap di sini. Tapi orang tuaku maksa aku kuliah di luar negeri.”
Ia lalu menoleh, menatap Kevia lurus-lurus, sorot matanya penuh ketegasan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
“Via, kalau kita berpisah… kamu nggak bakal dekat sama cowok lain, 'kan?”
Keheningan menggantung. Kevia mengernyit, kaget oleh pertanyaan itu.
“Kenapa kamu nanya kayak gitu?”
Kevin tak menjawab dengan kata-kata. Ia langsung menggenggam tangan Kevia, jemarinya hangat dan bergetar.
“Via… aku suka kamu.”
Dunia Kevia seolah berhenti sejenak. Napasnya tercekat, tangannya spontan ditarik dari genggaman itu.
“Apa maksud kamu suka sama aku?” tanyanya, suaranya pelan tapi menusuk.
Kevin menatapnya dalam-dalam, tak goyah.
“Aku sudah suka sama kamu sejak pertama kali kita bertemu. Dua setengah tahun ini kita selalu bersama. Aku nggak pernah dekat sama gadis lain selain kamu.”
Ia menarik napas, suaranya makin mantap.
“Maukah kamu jadi pacarku, Via?”
Keheningan terasa panjang. Kevia menatap Kevin dengan mata yang tak bisa terbaca. Di kepalanya, bayangan lain hadir tanpa bisa ia cegah. Sosok pria dewasa dengan wajah yang kian memesona di hatinya, sosok yang pernah mengulurkan tangan di masa kecilnya, sosok yang belum lama ini ia selamatkan dengan darahnya sendiri.
Bayangan itu menikam dadanya. Ia sadar, hatinya tidak sesederhana yang diharapkan Kevin.
Kevin mencondongkan tubuh, suaranya lirih tapi sarat tekad.
“Aku akan mengeluarkan kamu dan keluargamu dari rumah itu. Aku bakal kerja sambil kuliah, nggak akan pakai uang orang tuaku. Aku janji, Via… aku akan berjuang dengan tanganku sendiri. Asal kamu mau nunggu aku.”
Kevia terdiam menatapnya. "Bekerja sendiri? Tak bergantung pada keluarganya? Dia anak orang berada… apa mungkin kami bisa bersama?"
Kelopak matanya terpejam sesaat, menahan gejolak yang sulit dijelaskan. Sejak awal, Kevin hanyalah sahabat di matanya. Hatinya telah lama tertambat pada sosok lain. Pria yang selama lima tahun ini mampu membuatnya hangat hanya dengan sekadar bayangan.
Namun bahkan tentang pria itu, ia tak tahu apa-apa… sekadar nama pun lenyap ditelan kepanikan sore itu.
Haruskah ia melupakan pria yang bahkan tak ia tahu namanya? Bisakah ia menerima dan belajar mencintai Kevin, menjadikannya satu-satunya tempat berharap, satu-satunya jalan keluar dari penjara bernama Rima?
Keheningan merayap di antara mereka.
Angin sore berembus, membawa dedaunan beterbangan di antara mereka. Kevia hanya bisa menatap Kevin. Wajah sahabat yang selalu ada, lelaki yang jelas-jelas mencintainya. Tapi di balik tatapan itu, hatinya bergetar, digelayuti bayangan pria lain yang jauh lebih dewasa, lebih misterius, lebih mengikat.
Dua dunia. Dua sosok. Dua arah takdir.
Kevin… atau pria yang bahkan tak ia tahu namanya?
Keheningan itu tak pernah terjawab. Kevia yang termenung, matanya berkaca-kaca. Senja kian meredup, meninggalkan bayangan panjang. Meninggalkan tanda tanya yang menggantung.
...🌸❤️🌸...
Langsung lanjut ke season 2 ya. 🤗🙏🙏
THE END
Sehat selalu ya thor 💪😘
Si Om merasa berutang nyawa pada Kevia yang menolong memanggil ambulans, dan mendonorkan darahnya - menyuruh anak buahnya mencari Kevia yang si Om sendiri tidak tahu namanya.
Kevia ditembak Kevin tapi di kepalanya terbayang si Om. Kevia pilih yang mana - Kevin atau si Om yang entah di mana keberadaannya Kevia tak tahu.
om yang pernah menolong kevia dulu... sekarang gantian kevia yang menolong om yang tak dikenal itu semoga om itu baik2 saja dan bisa diselamatkan.
lanjut kak Nana makin kesini makin seruuuu....
bintang lima untuk kak Nana...