NovelToon NovelToon
Duda-ku

Duda-ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:478
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23

Riko berdiri kaku di tengah toko, lalu melangkah keluar dengan wajah murung. Para pegawai saling pandang, bingung melihat atasannya yang akhir-akhir ini seperti kehilangan arah.

“Lagipula, kenapa sih Pak Riko batal menikah sama Bu Hana?” gumam Ami sambil menghela napas.

“Iya… kalau ada Bu Hana enak. Kita kayak punya guru. Setiap masalah selalu bisa dia atasi. Sekarang? Pak Riko bingung, apalagi kita,” timpal Irma lirih.

Mereka kembali sibuk menyusun barang dan membersihkan toko, tapi bayangan tentang sosok Hana membuat suasana terasa hampa.

Sementara itu, Riko mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Kedua tangannya menempel erat di setir, matanya tajam menatap jalanan. Hatinyanya bergejolak, pikirannya kacau.

“Aku harus menemukan Hana,” gumamnya dengan suara serak. “Aku harus memiliki dia… Sinta terlalu jauh berbeda. Walau rela kusentuh, dia hanya menghabiskan uangku saja.”

Riko menghela napas berat. Wajahnya menegang, pikirannya semakin gelap. “Kalau Hana tidak bisa kudapatkan dengan baik-baik… maka aku akan memaksanya kembali padaku.”

Hingga akhirnya Riko tiba di showroom tempat Hana dulu bekerja. Langkahnya tergesa, matanya menyapu ruangan. Tak disangka, ia langsung berpapasan dengan Reni yang baru saja keluar dari ruang administrasi.

“Reni…” panggil Riko lirih.

Reni menoleh. Ia membetulkan posisi kacamatanya, lalu wajahnya berubah dingin begitu sadar siapa yang berdiri di depannya.

“Mau apa kamu ke sini?” tanyanya ketus.

“Hana mana?” Riko langsung bertanya tanpa basa-basi.

Reni mendengus. “Enggak ada. Dia sudah dipecat dari sini.”

“Jangan bohong, Reni! Cepat katakan di mana Hana!” suara Riko meninggi, penuh desakan.

Reni menatapnya tajam. “Yang pembohong itu kamu, Riko. Kamu tinggalkan Hana. Kamu malah memilih Sinta—adiknya sendiri! Sekarang kamu cari-cari Hana? Munafik!”

“Sudahlah, itu bukan urusanmu. Jangan ikut campur. Katakan saja di mana dia sekarang!” Riko masih bersikeras.

Reni tersenyum sinis, matanya penuh benci. “Maaf, bukan urusanku. Kalau kamu benar peduli, cari dia sendiri.”

Tanpa menunggu jawaban, Reni berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Riko berdiri sendirian dengan wajah tegang dan hati yang semakin kacau.

Riko terdiam di depan showroom. Kepalanya pening, bingung harus mencari Hana ke mana lagi.

Tiba-tiba ponselnya bordering. Nama Sinta terpampang di layar. Dengan berat hati, ia mengangkat.

“Bang… dimana? Aku kehabisan uang di mall. Abang cepat ke sini, dong…” suara Sinta manja tapi memelas.

Riko mengusap wajahnya kasar. “Kamu ini belanja lagi, belanja lagi! Batalkan saja. Aku enggak ada uang!” suaranya terdengar putus asa.

“Kalau begitu aku bilang saja ke Bapak kamu,” sahut Sinta tajam. “Aku kasih tahu kalau abang menggadaikan sertifikat… dan menghamili aku.”

Riko mengepalkan tangan. “Kamu… selalu saja mengancam aku! Pusing aku kalau begini.”

“Terserah. Kalau abang enggak bayar barang belanjaanku, aku benar-benar akan lakukan,” ancam Sinta dingin.

Riko menghela napas panjang, frustrasi. “Sudahlah… tunggu di sana. Aku datang.”

Ia menutup telepon, melangkah gontai menuju mobil. Tangannya bergetar saat menyalakan mesin.

“Ya Tuhan…” desisnya lirih, tatapannya kosong menembus kaca depan. “Istri macam apa yang kudapat ini? Bisa mati berdiri aku kalau terus-terusan begini…”

Hingga sampailah Riko di sebuah pusat perbelanjaan. Ia segera menelpon Sinta.

“Dimana kamu?” tanyanya ketus.

“Aku di butik Riyana,” jawab Sinta manja.

Riko menepuk kening. “Astaga… kenapa harus di butik? Di lantai bawah banyak diskon, kenapa belanja di tempat mahal begitu?” Nada suaranya penuh frustrasi.

“Cepat ke sini. Aku malu sendirian. Lagipula… di sini ada Hana,” bisik Sinta.

Riko langsung terdiam. “Benarkah?” suaranya berubah antusias.

Sinta meliriknya dari kejauhan, senyum tipis tersungging. “Ternyata kamu masih mencintai Hana…” ucapnya dalam hati.

“Iya, cepatlah! Nanti Hana keburu pergi lagi,” desaknya.

Riko tak berpikir panjang. Langkahnya dipercepat menuju butik yang disebut Sinta. Tak lama, ia berdiri di depan pintu butik. Matanya langsung membelalak melihat tumpukan kantong belanja di kaki Sinta.

“Gila… ini perempuan mau buka toko apa?” gumam Riko dalam hati, matanya menatap tumpukan kantong belanja.

Sinta tersenyum genit. “Akhirnya datang juga, sayang.”

“Mana Hana?” Riko tak sabar, pandangannya sibuk menyapu ruangan.

Sinta langsung manyun. “Sebal aku… ternyata kamu memang masih mencintai Hana.”

Riko menatapnya kecewa. “Kamu membohongiku, Sinta.”

“Iya! Kalau aku enggak sebut Hana, kamu pasti lama datang. Aku muak, Bang… kamu selalu bandingin aku sama dia! Kalau begini terus, biar saja anak ini aku kasih ke Ibu kamu,” ucap Sinta ketus sambil mengelus perutnya.

“Ya, ya… itu saja yang bisa kamu lakukan,” gerutu Riko pasrah. Ia berjalan ke kasir, wajahnya tegang.

“Totalnya 25 juta, Pak,” kata kasir sopan.

Riko terperanjat. “Dua puluh lima juta?! Mamak aku belanja setahun pun enggak sampai segini!”

Kasir menatap heran. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan saja barangnya, Pak.”

Riko menoleh ke Sinta dengan mata merah. “Balikin bajunya sekarang!”

Tapi Sinta menggeleng keras. “Aku enggak mau! Ini keinginan bayi. Kalau abang sayang anak ini, jangan larang aku!”

Riko mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Situasi makin panas, orang-orang mulai memperhatikan mereka.

“Ah, kau ini…” Riko mendengus kesal pada Sinta, siap melanjutkan ocehannya. Namun langkahnya terhenti. Matanya membelalak.

Di seberang butik, sosok yang selama ini ia cari berdiri—Hana. Rambutnya bergelombang indah, baju putih sederhana dipadu rok selutut. Kecantikan itu memancar, membuat Riko tercekat.

“Hana…” gumamnya lirih.

“Pak, kalau tidak jadi bayar lebih baik kembalikan bajunya. Pembeli lain sudah antri,” ucap kasir dengan nada kesal.

Riko tersentak, buru-buru mengeluarkan kartu ATM. “Ah… cuma 25 juta, aku bayar!” sergahnya cepat, matanya tak lepas dari Hana.

Kasir menerima kartu itu lalu menggeseknya. “PIN-nya berapa, Pak?”

“PIN? Tanggal lahir Hana,” jawab Riko spontan.

Kasir mengerutkan dahi. “Kami tidak tahu, Pak.”

“Ah, kau ini merepotkan sekali!” Riko mendengus, lalu cepat mengetik sendiri PIN-nya. Transaksi berhasil.

“Silakan, Pak. Ini kartunya, ini struknya,” kata kasir dingin.

Riko melirik angka di kertas itu. “Loh… kok beneran 25 juta?”

“Betul, Pak. Pembayaran sudah berhasil. Silakan mundur, masih banyak antrian,” jawab kasir singkat.

Riko menghela napas berat. “Ah, kalian ini… sudah dibayar, malah mengusirku,” gerutunya kesal, tapi pandangannya tetap terpaku pada Hana, takut kehilangan kesempatan lagi.

Riko mundur dari kasir lalu melangkah ke arah Hana yang sedang mengeluarkan dompet untuk membayar.

“Bang,” Sinta buru-buru menarik lengannya.

“Diamlah, aku mau ke Hana,” tepis Riko dingin.

Sinta melirik ke arah Hana, wajahnya menegang. Sial! Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia justru makin cantik? Apa Ibu gagal menculiknya? Tidak… ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera lapor Ibu.

“Hana…” suara Riko bergetar saat menyapanya.

Hana menoleh sekilas, tatapannya dingin, lalu kembali fokus ke kasir seolah Riko hanyalah orang asing.

“Berapa total belanjaannya?” tanya Riko pada kasir dengan suara lantang.

“Tiga puluh juta, Pak,” jawab kasir.

Sinta langsung menyeringai. “Dia nggak bakal sanggup bayar, Mbak. Dia itu pengangguran sekarang.”

Riko menoleh pada Hana, suaranya penuh bujuk rayu. “Hana, biar aku saja yang bayar. Aku tahu hidupmu sekarang sulit… kembali saja padaku, Hana. Sinta juga mau dimadu kok. Ayah dan ibuku pasti menerima kamu.”

“Bang! Apa-apaan sih?! Jangan coba-coba bayarin dia!” bentak Sinta, wajahnya merah padam.

Hana tetap tenang, lalu berkata pada kasir, “Mbak, tolong tunggu sebentar, saya mau telepon dulu seseorang.”

“Baik, Bu,” jawab kasir sopan.

Riko makin mendesak, matanya memohon. “Hana, dengar aku. Jangan keras kepala. Kamu nggak akan sanggup sendiri…”

Namun Hana tetap diam. Bibirnya rapat, sorot matanya dingin—seolah Riko benar-benar bukan siapa-siapa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!