Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Menjadi Sandaranmu
Malam itu udara terasa sejuk, angin kota berhembus pelan melewati jalanan yang mulai sepi. Elma duduk di kursi penumpang mobil dengan tatapan kosong, pikirannya masih dipenuhi bayangan masa lalu dan rasa letih setelah bekerja. Amar, yang memegang kemudi, sesekali melirik ke arahnya dengan senyum tipis.
"El, aku ingin mampir sebentar ke minimarket. Ada beberapa barang yang harus aku beli untukmu," ucap Amar pelan, cukuplah untuk memecah keheningan diantara mereka berdua.
Elma langsung menoleh, sedikit terkejut. “Untukku? Tidak usah. Aku tidak butuh apa-apa. Kau terlalu baik padaku malam ini, dan aku tidak ingin merepotkanmu."
Amar tertawa kecil. “Kau selalu saja merendah. Aku tahu, kau butuh banyak hal. Pakaian, vitamin, mungkin juga makanan sehat untuk kandunganmu. Tolong jangan menolak. Anggap saja ini tanda pertemanan lama yang baru dipertemukan kembali.”
Elma ingin membantah, tapi senyum tulus Amar membuatnya ragu. Akhirnya, ia hanya bisa menghela napas dan mengangguk. “Baiklah, tapi jangan banyak-banyak.”
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan minimarket yang masih ramai walaupun sudah malam. Amar turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Elma. Mereka masuk bersama.
Di dalam, Amar mendorong troli dan dengan semangat mulai memasukkan berbagai barang, susu khusus ibu hamil, vitamin, camilan dan buah-buahan serta kebutuhan rumah tangga yang lain untuk Elma."
“Amar, jangan berlebihan seperti ini,” Elma akhirnya bersuara dengan nada panik. “Aku tidak bisa menerima semua ini, terlalu banyak."
Amar menghentikan langkahnya, lalu menatap Elma dengan serius. “El, dengarkan aku. Aku benar-benar ingin membantu. Aku tidak tega melihatmu menanggung semuanya sendirian, apalagi dengan kondisi hamil. Aku bisa menanggung kebutuhanmu, jadi mulai sekarang kau tidak perlu bekerja terlalu keras. Fokuslah pada kesehatanmu dan bayimu.”
Elma menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak bisa. Itu akan sangat merepotkanmu. Lagipula, bagaimana kalau istrimu tahu? Dia pasti akan salah paham, berpikir yang tidak-tidak tentang kita. Aku tidak ingin rumah tanggamu hancur karena aku."
Amar terdiam sesaat, lalu tertawa kecil, lembut, tapi ada sedikit nada getir. “El, aku tidak punya istri. Aku belum menikah sampai sekarang.”
Elma terperangah. “Apa? Kau belum menikah? Serius?” tanya Elma yang merasa tak percaya mendengar jawaban Amar.
“Ya,” jawab Amar sambil tersenyum tipis. “Aku tahu, pasti terdengar aneh. Tapi ada alasannya.”
Elma menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Apa alasannya?"
Amar menunduk sejenak, seperti menimbang kata-kata sebelum akhirnya berbicara. “Waktu kita kelas satu SMA, aku tiba-tiba harus pindah sekolah. Kamu ingat?”
Elma mencoba mengingat, lalu mengangguk pelan. “Iya, aku ingat. Kau mendadak pindah, tapi aku tidak pernah tahu alasannya.”
“Saat itu kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan mobil,” kata Amar dengan nada pelan, suaranya bergetar meski ia berusaha tenang. “Hanya dalam semalam, hidupku berubah total. Aku kehilangan segalanya. Karena itu, aku harus pindah dan ikut tinggal bersama kakekku di luar kota.”
Mata Elma melebar, hatinya langsung diliputi rasa iba. “Astaga, Amar… aku benar-benar tidak tahu. Maaf. Aku bahkan tidak pernah berusaha mencari kabar tentangmu setelah itu. Padahal saat itu kau sedang berduka.”
Amar menggeleng. “Tidak apa-apa, El. Waktu itu aku juga terlalu sibuk beradaptasi dengan hidup baru. Kakekku adalah seorang pengusaha hotel. Sejak remaja, aku mulai dilibatkan dalam bisnis keluarga. Itu sebabnya sampai sekarang, aku menggantikan posisi beliau untuk mengelola hotel keluarga dan restoran peninggalan mendiang mamaku."
Elma menatapnya takjub. “Pantas saja kau kelihatan mapan sekarang. Jadi, semua kerja keras itu karena kau melanjutkan usaha keluargamu?”
“Ya,” jawab Amar singkat, kemudian tersenyum getir. “Tapi ada satu hal yang belum bisa kulakukan, menikah. Kakekku sudah sering mendesak, bahkan menyiapkan calon. Tapi entah kenapa, aku belum merasa siap. Atau mungkin, aku masih menunggu seseorang.”
Elma terdiam. Kata-kata Amar menancap dalam di hatinya. Ada sesuatu di balik nada suaranya, seolah pria itu sedang menyimpan rahasia. Namun, ia tidak berani menebak. Ia hanya bisa menunduk, merasakan kehangatan sekaligus kegugupan.
Amar kemudian menambahkan, “Jadi, kau tidak perlu khawatir soal istri yang cemburu. Aku tidak punya siapa-siapa. Dan tentang aku membantumu, anggap saja ini bentuk tanggung jawabku sebagai teman lama yang kini diberi kesempatan Tuhan untuk hadir di saat kau membutuhkan.”
Elma menggigit bibirnya. Ia merasa hatinya semakin rapuh mendengar ketulusan Amar. Air matanya hampir menetes, tapi ia buru-buru mengusapnya sebelum terlihat. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku benar-benar berterima kasih. Tapi aku masih merasa tidak pantas menerima semua ini.”
Amar menatapnya penuh keyakinan. “El, kau pantas. Jangan pernah meremehkan dirimu. Kau wanita yang kuat. Meski Dion meninggalkanmu dengan cara yang menyakitkan, kau tetap berdiri. Dan sekarang, kau tidak perlu sendirian lagi.”
Elma menunduk, tangannya meremas ujung cardigan yang ia kenakan. Ada rasa lega bercampur takut. Ia lega kerena ada seseorang yang peduli padanya, tapi ia khawatir kalau perasaan ini hanya sementara.
Setelah selesai berbelanja, mereka kembali ke mobil. Troli penuh dengan kebutuhan Elma membuatnya semakin bingung harus berkata apa. Di perjalanan pulang, hening sejenak mengisi ruang mobil.
“Amar,” akhirnya Elma bicara dengan suara pelan, “aku takut kalau aku menerima semua kebaikanmu, membuatku harus bergantung padamu. Aku harus belajar mandiri. Aku tidak bisa terus berharap pada orang lain.”
Amar tersenyum, menoleh sebentar ke arahnya. “Itu bagus, El. Kau ingin mandiri, itu sikap yang mulia. Tapi ingat, menerima bantuan bukan berarti kau lemah. Kadang, orang yang kuat pun tetap butuh sandaran. Dan aku ingin menjadi sandaran itu, kalau kau mau.”
Kata-kata itu membuat dada Elma bergetar hebat. Ia menoleh, menatap wajah Amar yang begitu tulus. Di balik tatapannya, Elma merasakan ketenangan yang lama hilang dari hidupnya.
Akhirnya mobil berhenti di depan kontrakan sederhana milik Elma. Amar turun, membantu membawakan barang-barang belanjaan sampai ke dalam rumah. Elma merasa haru sekaligus canggung.
“Terima kasih, Amar. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membalas semua ini,” ucap Elma yang merasa tidak enak hati.
Amar tersenyum hangat. “Tidak perlu membalas apa pun. Cukup jaga kesehatanmu dan bayi yang ada di dalam kandunganmu. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.”
Mata Elma kembali berkaca-kaca. Ia hanya bisa mengangguk, lalu menunduk menahan air mata. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah lama merasa sendiri, Elma menyadari bahwa ada seseorang yang tulus hadir di sisinya.
Dan Amar diam-diam menyadari bahwa rasa yang ia pendam sejak masa sekolah kembali muncul lebih kuat. Namun, ia memilih menyimpannya rapat-rapat. Yang terpenting baginya saat ini hanyalah membuat Elma merasa tidak sendirian lagi.