“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 27
Pramudya mendengus, tanpa mau menanggapi langsung bergeser, memilih berdiri dan bersandar pada dinding papan warung seraya mengamati wanita yang mulai membuka kardus.
‘Huh! Dasar si bisu dari gua batu, tak bisa diajak bercanda. Lagipula kau bukan tipeku, aku cuma ingin menikah dengan pemuda baru dewasa, bukan bapak-bapak mulai tua renta sepertimu!’ Laila membuka isolasi tutup karton.
‘Yang tua belum tentu tahan menghadapi wanita banyak cakap sepertimu. Apalagi daun muda, bisa-bisa belum ada sehari dia sudah menyerah. Dan saya masih berusia 32 tahun,’ balas Pram tidak mau kalah.
Laila melayangkan lirikan maut, lalu berhenti menggerutu dalam hati. Tangannya membuka kotak berisi peralatan menyelam.
“Apa tak ada warna lain?” Setelan baju renang bahan sintetis yang elastis, dia rentangkan. Laila mendengus tidak suka.
“Warna itu sudah pas dengan lingkungan disana,” sahut Pram.
“Pas apanya? Bila aku mengenakan ini sama seperti tai hanyut dibawa arus air sungai, ataupun mirip tai mengambang di jamban. Yang benar saja dirimu, juragan Pramudya!” pekiknya menggeram.
“Warna itu sama dengan air keruh, Laila. Jadi, bila sewaktu-waktu ada orang memergokimu, mereka mengira kau air ataupun hewan penghuni sungai,” sanggahnya tidak mau kalah.
Jelas Laila tidak bisa menerima begitu saja, dia merentangkan baju renang tepat di depan sang juragan. “Warna air keruh itu kuning kecoklatan. Sedangkan baju baju ini, kuning cerah. Sama seperti tai atau istilah medis namanya feses. Yang biasanya akan berwarna cerah dikarenakan mengandung terlalu banyak lemak, ataupun terinfeksi bakteri Giardia.”
“Tinggal pakai apa susahnya? Kegunaannya pun sama untuk menyelam, bukan dipakai ke kondangan,” sindirnya.
“Tak semudah itu, Juragan! Warna ini akan terlihat mencolok disaat musim semi, dan rumput hijau tumbuh subur. Mengapa tidak pilih warna gelap saja?” kelakar Laila.
Sepertinya Pramudya mulai paham, tapi tertutup gengsi dan enggan mengakui. “Ya, karena cuma itu yang menarik mata.”
Ida yang mendengar perdebatan pun berusaha menengahi, dia masuk ke dalam warung. “Biar nanti aku rendam belawu (pewarna biru kain) saja, La.”
“Belang lah Kak jadinya. Nanti mirip Kuda kudisan aku,” tukas Laila.
“Dasar tak pintar, tapi sok ahli dalam menentukan!” pada akhirnya peralatan yang semuanya berwarna kuning, berupa; kacamata selam, fins mirip kaki Katak, pakaian pelindung yang memberikan isolasi termal, menjaga tubuh penyelam tetap hangat di air – Laila masukkan ke dalam karung, agar mudah dipanggul Jabrik.
Seraya menahan kesal – Laila pun melangkah lebar keluar dari pintu belakang warung Pramudya. Melepaskan tali kekang Jabrik, lalu menaiki sang Kuda. “Ayo kita pulang! Lewat jalan besar saja, agar organ dalam ku tetap aman tak terguncang terus! Takutnya berpindah tempat mereka nanti.”
Kuda gagah itupun paham, kakinya langsung berayun ringan seolah Laila dan barang bawaannya bukanlah beban.
.
.
Laila kini tidak lagi menggunakan jimat, dan jin pelindungnya yang telah dilepas oleh Mbah Patmi – tetap menjaganya, membersamai kemanapun sang majikan melangkah.
Saat tiba di area pembakaran batu bata, tempat Mia bekerja. Laila melihat sosok remaja perempuan seorang diri sedang duduk bersandar pada tiang penyanggah terpal. Dia langsung mengarahkan sang Kuda berbelok kesana.
“Mia, kau belum pulang?” tanyanya kepada gadis remaja bercelana penuh lumpur, wajah berkeringat.
“Ini mau pulang, Kak.” Mia menurunkan topinya, suaranya sedikit bergetar.
‘Ada yang aneh, sepertinya dia sedang tak sehat.’
“Ayo ku bonceng,” katanya seolah dirinya sedang naik motor.
Mia menggelengkan kepalanya. “Tak berani aku Kak, takut dijatuhkan sama si Jabrik.”
Laila turun dari kuda, menarik lengan Mia, memukul bokong remaja itu agar kakinya mau naik ke pijakan pelana.
Mau tak mau, dan sambil menahan takut – Mia duduk kaku di atas Kuda.
Kemudian Laila duduk dibelakang gadis yang badannya bergetar. Menarik tali kalang dan kakinya berayun agar Jabrik jalan.
Ketika melewati rumah pak lurah Karsa, Laila cuma melirik saja. Pun, tidak peduli pada aura mencekam yang membuat bulu tangannya berdiri. 'Lihat saja nanti, aku akan menyambangi kalian kalau sampai berani menampakkan wujud tanpa memberi aba-aba.'
“Pegang yang kuat! Supaya tubuh kurusmu tak terbang terkena kibasan angin!” Laila menarik lebih erat tali leher Kuda, dan kakinya menekan kuat badan Jabrik.
Lari hewan berkaki empat itupun seperti sedang di arena jalur pacu.
Mia merunduk, perutnya mual, wajahnya pias, dan lidahnya terasa getir. “Kak, aku mau mun_tah.”
“Tahan! Berani kau muntah di atas Kuda ku, nanti ku suruh dirimu memandikan dia!”
Gadis berkulit nyaris gelap itu mengangguk lemah, menutup rapat mulutnya. Buliran keringat bercucuran, dia memejamkan mata.
Laila tersenyum penuh maksud, lalu fokus pada jalanan. Dia bungkam saat si Jabrik melewati rumah Mia, dan hunian dinasnya. Mereka menuju sungai.
“Turunlah, kita sudah sampai.”
Namun, Mia tak sanggup bergerak, takut jatuh. Badannya lemas seperti agar-agar.
Jabrik yang pintar, seakan mengerti keinginan sang majikan, langsung menekuk kedua kaki depan agar memudahkan penunggangnya turun.
Laila membantu Mia, lalu memapahnya menuruni tangga menuju papan cucian baju, merebahkan tubuh gadis yang bibirnya mulai pucat itu di atas lantai kering.
Tidak ada orang lain, selain Laila dan juga Mia. Sang bidan pun sudah memastikan menggunakan ilmu kebatinan nya.
“Sampai kapan kau mau menyembunyikan? Menjadi temeng agar adikmu itu tidak dijadikan korban atas ulah bapakmu yang memuja Iblis, Mia?”
Kelopak mata Mia mulai terbuka secara perlahan, tubuh lemahnya sedikit menegang bereaksi atas pernyataan mengejutkan.
“Kakak bicara apa? Aku tak paham,” elaknya, tapi tatapan matanya mengungkapkan kebenaran yang dia sembunyikan rapat-rapat.
“Anto lahir di malam Jumat Kliwon ‘kan? Seharusnya dia dijadikan tumbal pas awal tahun ini, dikarenakan bapakmu kehilangan calon tumbal nya, disebabkan diculik juragan Pramudya. Benar, Mia?”
Mia masih teguh pada pendiriannya, memilih bungkam.
Laila yang mulai geram menaikan kaos dan menurunkan celana Mia.
“Apa kau masih mau menampik? Sementara bukti ini membenarkan praduga ku, Mia?!”
.
.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saya ingin mengucapkan beribu terima kasih. Berkat dukungan luar biasa dari Kakak ... Alhamdulillah karya DENDAM KESUMAT, meraih juara 2 genre pria dan horor.
Terima kasih Kakak, sudah tertib membaca dari awal sampai akhir. Berkenan memberikan komentar positif, bintang 5, Like, hadiah berupa gift, serta Vote. 🫂🥰❤️❤️
Semoga Tuhan .... membalasnya dengan kebaikan, dan memberikan kesehatan serta keberkahan ... Aamiin ❤️.
dan selamat untuk otor atas kemenangan nya ya😉
Ah tp aku suka liat Pram sm Laila brsama. 😁🤭
lanjut semangat Thor💪👍