NovelToon NovelToon
Asmaraloka

Asmaraloka

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Naik Kelas
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: ryuuka20

Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35.

Tina masih berdiri di depan gerbang sekolah, memeluk rapornya erat-erat. Matanya yang tadi berbinar penuh kebahagiaan kini mulai meredup. Ia terus melihat ke arah jalan, berharap ayahnya segera muncul.

Sekolah semakin sepi. Murid-murid lain sudah pulang, bahkan beberapa guru pun mulai meninggalkan area sekolah. Matahari siang semakin terik, tapi sosok yang ia tunggu belum juga datang.

Dari kejauhan, Romeo berdiri di balik pohon besar, diam-diam mengamati Tina. Ia tahu betapa bahagianya Tina tadi saat bercerita bahwa ayahnya akan menjemput. Namun kini, gadis itu hanya berdiri sendirian, sesekali melirik ponselnya, lalu kembali menatap jalanan dengan penuh harap.

Romeo menghela napas, menggenggam tali tasnya dengan erat. Ada sesuatu dalam ekspresi Tina yang membuat hatinya mencelos.

Beberapa menit berlalu. Akhirnya, Tina menghela napas panjang, menundukkan kepalanya, menggigit bibir seakan menahan sesuatu.

Saat itulah, Romeo melangkah keluar dari persembunyiannya dan berjalan santai ke arahnya, berpura-pura tidak tahu apa-apa. "Eh, lo kok masih di sini?" tanyanya, memasang ekspresi terkejut.

Tina tersentak, buru-buru menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Eh… Iya. Ayah gue tadi bilang mau jemput, tapi mungkin ada urusan,” ujarnya pelan, berusaha terdengar biasa saja.

Romeo menatapnya beberapa detik sebelum menyeringai kecil. "Kalau gitu, lo mau gue temenin?" tanyanya santai, seolah itu bukan hal besar.

Tina menoleh ke arahnya. Sejenak, matanya terlihat lebih lembut. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya, menyembunyikan senyum kecil di balik nada acuhnya. "Terserah lo," gumamnya.

Romeo hanya tertawa kecil. Tanpa banyak kata, ia berdiri di samping Tina, membiarkan waktu berlalu sedikit lebih lama. Ia tahu, terkadang seseorang hanya butuh ditemani—tanpa perlu banyak alasan.

Tina menoleh ke arah Romeo, ragu-ragu sejenak. Di dalam hatinya, masih ada harapan kecil bahwa ayahnya akan tiba-tiba muncul, menepati janjinya. Namun, langit mulai berubah warna, semburat jingga menghiasi cakrawala, menandakan sore semakin dekat.

Romeo memperhatikan ekspresi Tina yang masih menatap jalan dengan sisa harapan. Ia menghela napas pelan sebelum berkata dengan nada yang lebih lembut, “Udah ya, Tina. Ini udah mau sore. Gue anterin lo pulang aja.”

Tina menundukkan kepala, menggenggam rapornya lebih erat. Ada kekecewaan yang berusaha ia tekan, tapi akhirnya, dengan napas pelan, ia mengangguk. “Iya... mungkin ayah sibuk,” gumamnya, mencoba terdengar biasa saja.

Tanpa banyak bicara, Romeo menepuk pundaknya pelan—bukan untuk menghibur, tapi sebagai tanda bahwa ia mengerti. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan lebih dulu menuju gerbang sekolah, memastikan Tina mengikutinya di belakang.

Saat mereka berjalan berdampingan di trotoar yang mulai sepi, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Tina melirik Romeo sekilas. Ada sesuatu yang hangat di hatinya—bukan sekadar kekecewaan karena ayahnya tak datang, tapi karena seseorang tetap ada di sisinya, meskipun ia tidak pernah memintanya.

...****************...

"Bentar, gue ambil sepeda dulu," kata Romeo sebelum berjalan menuju warung kecil dekat pohon tempat ia sebelumnya bersembunyi.

Tina hanya mengangguk pelan, tetap berdiri di tempatnya. Tatapannya masih terpaku pada jalan yang semakin lengang. Harapan bahwa ayahnya akan datang perlahan memudar, tergantikan dengan kenyataan yang harus ia terima.

Sementara itu, Romeo mendorong sepedanya keluar dari sudut warung. Ia sempat menoleh ke arah Tina yang masih berdiri diam, sebelum akhirnya berhenti di depannya dan menepuk jok belakang sepedanya.

"Udah, naik," katanya santai.

Tina menatapnya ragu. "Gue naik di belakang?"

Romeo mengangkat alis. "Ya masa di setang? Berat," ujarnya sambil menyeringai jahil.

Tina mendecak kesal, tapi akhirnya melangkah maju dan duduk di boncengan. Romeo mulai mengayuh perlahan, membawa mereka meninggalkan sekolah yang kini benar-benar sepi.

Perjalanan pulang terasa berbeda. Biasanya, mereka akan saling melempar lelucon atau berdebat soal hal-hal kecil. Tapi kali ini, tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya suara roda sepeda yang berputar dan hembusan angin sore yang menemani mereka.

Di tengah perjalanan, Tina akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti gumaman. "Romeo… makasih, ya."

Romeo tidak langsung menjawab. Ia tetap fokus mengayuh, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.

"Apaan sih?" jawabnya ringan. "Udah, pegangan yang bener, nanti jatuh."

Tina tersenyum kecil, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia menggenggam ujung jaket Romeo.

Meskipun hatinya masih terasa sedikit sesak, setidaknya hari ini ia tahu satu hal.

Ia tidak pulang sendirian.

...****************...

"Udah, jangan nangis, Tina."

Romeo kaget ketika melihat Tina menunduk, bahunya sedikit bergetar. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.

"Lo jelek kalau nangis," lanjut Romeo dengan nada bercanda, berharap bisa menghentikan tangisnya.

Tina langsung menghentikan isakannya dan menatap Romeo dengan tatapan tajam. Dengan cepat, ia menghapus air matanya. "Lo bisa gak sih ngomong yang lebih enak didengar?" omelnya kesal.

Romeo hanya nyengir, sedikit lega karena berhasil mengalihkan perhatian Tina. "Ya kan bener. Lagian gue gak suka lihat lo sedih." Tangannya masuk ke dalam saku celana, menatap Tina yang kini sudah berhenti menangis.

Tina menghela napas pelan, menundukkan kepala sebelum menatap Romeo lagi. "Gue cuma kecewa, itu aja..." suaranya lebih tenang, tapi masih terdengar sedikit getir.

Romeo mengangguk pelan. "Gue ngerti. Tapi... udah ya, jangan terlalu dipikirin. Lagian lo tetap juara kelas, dan itu keren."

Tina tersenyum tipis. "Iya sih."

"Udah, masuk sana. Gue pulang dulu," kata Romeo sambil berbalik menuju sepedanya.

Tina menatap punggung Romeo yang mulai menjauh. Ada sesuatu yang hangat di hatinya—bukan hanya karena kata-katanya, tapi karena keberadaannya.

"Romeo," panggilnya tiba-tiba.

Romeo berhenti, menoleh dengan satu alis terangkat. "Apa?"

Tina sempat ragu, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Makasih."

Romeo terdiam sebentar, lalu mengangkat tangannya dan melambai santai. "Iya. Udah, masuk."

Tina mengangguk dan masuk ke dalam rumah, sementara Romeo kembali mengayuh sepedanya pulang.

Di sepanjang jalan, senyum tipis tak juga lepas dari wajahnya.

...****************...

Malam itu, Romeo duduk di balkon kamarnya, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Langit di atasnya gelap, hanya dihiasi sedikit bintang yang bertaburan. Namun, pikirannya jauh lebih ramai dibandingkan langit malam itu.

Bayangan siang tadi masih jelas di benaknya—Tina berdiri di depan gerbang sekolah, memeluk rapornya erat-erat, matanya terus menatap jalan dengan penuh harap. Dan kemudian, ekspresi kecewa yang muncul ketika harapannya perlahan-lahan pudar.

Romeo menghela napas panjang. Ia mengerti perasaan itu.

Ia juga sering menunggu—menunggu papa dan mamanya pulang, menunggu waktu di mana keluarganya bisa berkumpul seperti keluarga lain. Namun, yang ia dapatkan hanyalah rumah yang selalu sunyi, hanya suara jam dinding yang menemani malam-malamnya.

Mungkin, di satu sisi, Tina dan dirinya tak begitu berbeda. Mereka sama-sama berharap pada orang-orang yang seharusnya ada untuk mereka.

Romeo meraih ponselnya, membuka chat dengan Tina. Jari-jarinya sempat ragu sebelum akhirnya mengetik.

Romeo: Udah tidur?

Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan muncul.

Tina: Belum. Kenapa?

Romeo tersenyum kecil, lalu mengetik lagi.

Romeo: Gue ngerti perasaan lo tadi siang. Lo gak sendiri.

Balasan dari Tina tidak langsung datang. Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya ponselnya bergetar lagi.

Tina: Lo juga ngerasain?

Romeo menggigit bibirnya, seolah ragu untuk mengakui sesuatu yang selama ini ia pendam. Namun, akhirnya ia mengetik satu kata.

Romeo: Iya.

Setelah itu, tidak ada lagi pesan dari Tina. Hanya layar ponsel yang kembali redup.

Romeo meletakkan ponselnya di sampingnya dan kembali menatap langit. Malam ini masih sama sunyinya, namun entah kenapa, ia merasa sedikit lebih tenang.

1
Anyelir
Hadir di desa asmaraloka, kak ✋
sjulerjn29
" kita beneran dewa"😂
sjulerjn29: ya ampun thor suasana kerajaan tp gk ngebosenin .
thor mampir di episode baru ceritaku😊🤭
total 1 replies
HNP
semangat, jangan lupa follback.💪
iqbal nasution
semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!