"Rachel dijodohkan demi mahar, lalu dibuang karena dianggap mandul. Tapi pelariannya justru membawanya pada Andrean Alexander—seorang CEO dingin yang tanpa sadar menanam benih cinta… dan anak dalam rahimnya. Saat rahasia masa lalu terbongkar, Rachel menyadari bahwa dirinya bukan anak kandung dari keluarga yang telah membesarkan nya.
Bagaimana kelanjutan kisah nya.
Mari baca!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I.U Toon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepercayaan yang Lebih Kuat
BAB. 35
Setelah ucapan Andrean yang menggetarkan dada Rachel, keduanya masih berdiam di balkon. Tapi angin malam mulai menggigit kulit mereka. Rachel sedikit menggigil, dan Andrean langsung merespons.
“Kita masuk, ya?” bisiknya lembut.
Rachel mengangguk. Mereka berjalan perlahan menuju dalam dalam rumah. Lampu ruang tamu menyala redup, memberikan nuansa hangat dan nyaman. Tak ada musik, tak ada suara selain detak jam dan napas mereka yang kini terasa berat tapi damai.
Andrean menatap wajah Rachel lekat-lekat. Lalu menggenggam tangannya dan membawanya ke sofa. Tapi Rachel menghentikannya. “Bolehkah… kita ke kamar saja?” suaranya pelan, tapi jelas. Tak ada ragu di matanya hanya ketulusan dan kepercayaan yang baru saja tumbuh makin kuat.
Andrean mengangguk. Tidak tergesa, tidak terburu nafsu. Ia hanya menggenggam tangan Rachel, dan menuntunnya ke kamar tidur mereka.
Di dalam, cahaya lampu meja yang lembut menyambut mereka. Rachel duduk di tepi ranjang, sementara Andrean duduk di sebelahnya. Keheningan kembali hadir, tapi kali ini bukan karena kebingungan, melainkan ketenangan. Rachel menoleh ke arah Andrean, menatap matanya yang menyimpan banyak cerita dan menyadari bahwa di balik dinginnya sosok pria itu, ada anak kecil yang dulu kehilangan sahabatnya. Dan kini, mungkin, menemukannya kembali.
Perlahan, Rachel menyentuh pipi Andrean. “Terima kasih sudah jujur malam ini.”
Andrean membalas sentuhan itu dengan senyuman lembut. Ia lalu meraih tangan Rachel, mengecupnya satu-satu, seolah menghargai setiap jari, setiap keputusan, dan setiap luka yang pernah gadis itu lalui.
“Aku ingin bersamamu, Rachel. Bukan hanya sebagai suami di atas kertas. Tapi sebagai pria yang sepenuhnya mencintaimu,” gumam Andrean.
Rachel menatapnya. “Kalau begitu… peluk aku. Bukan karena aku rapuh, tapi karena aku ingin tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh orang yang benar-benar mencintaiku.”
Tanpa berkata lagi, Andrean menarik Rachel ke dalam pelukannya. Erat. Lama. Tubuh mereka menyatu, saling menghangatkan. Detak jantung Rachel menyatu dengan degup dada Andrean. Waktu seperti berhenti.
Dan di pelukan itu, Rachel mencium leher Andrean—sebuah ciuman kecil namun penuh perasaan. Andrean membalas dengan mencium pelipisnya, kemudian turun perlahan ke pipi, dagu, dan akhirnya kembali menemukan bibir Rachel.
Ciuman kali ini lebih dalam, lebih jujur. Tak ada sisa keraguan, hanya rasa yang tumpah ruah. Jemari Andrean menelusuri punggung Rachel, memeluknya lebih dekat, sementara tangan Rachel menyusup ke rambut Andrean, meremasnya lembut.
Saat bibir mereka terlepas, napas keduanya memburu.
Rachel membuka kancing kemejanya sendiri, perlahan, tidak canggung. Matanya tetap menatap Andrean, seakan ingin berkata, aku memilihmu, malam ini dan seterusnya.
Andrean tak buru-buru menyentuh. Ia hanya memandang, seolah bersyukur. “Kamu yakin?” tanyanya, suaranya nyaris serak.
Rachel mengangguk. “Aku percaya padamu.”
Dan malam itu, mereka menyatu. Bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Seperti dua jiwa yang akhirnya menemukan rumah. Tak ada kata-kata, hanya desahan dan bisikan lembut di antara napas yang tak teratur.
Andrean memperlakukan Rachel seakan ia adalah hal tar berharga yang pernah datang dalam hidupnya. Ia mencintainya dengan penuh kelembutan, menyentuh setiap inci tubuhnya dengan hormat dan rasa syukur. Rachel pun merespons dengan cara yang sama, memberikan dirinya tanpa ketakutan, karena ia tahu untuk pertama kalinya, ini bukan sekadar hasrat, melainkan cinta.
Ketika semua reda dan mereka terbaring berdampingan, Andrean menarik selimut dan memeluk Rachel dari belakang. Tubuh mereka masih menyatu, namun keheningan itu kini berubah menjadi rasa nyaman yang luar biasa.
“Aku nggak akan biarin siapa pun menyakitimu lagi,” bisik Andrean di telinga Rachel.
Rachel tersenyum kecil. “Bahkan Intan? Bahkan Mieka?”
“Bahkan diriku sendiri… kalau aku mulai membuatmu ragu lagi, tolong tarik aku kembali, Rachel.”
Rachel membalikkan badan, menatapnya, lalu mengecup bibir Andrean sekali lagi. “Aku akan selalu ada. Selama kamu jujur padaku.”
Mereka pun tertidur dalam pelukan, malam itu menjadi saksi perjanjian tanpa sumpah, ikrar tanpa janji bahwa dua hati yang sempat terluka kini mulai menemukan rumahnya dalam satu sama lain.
Dan di luar, hujan turun pelan, seolah langit pun turut merestui kisah mereka yang baru saja dimulai ulang.