NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34. Kelenjar aneh

Ruang tamu rumah terasa hening, hanya suara jarum jam yang terdengar. Aku duduk di sofa, masih berusaha menenangkan detak jantungku. Joan duduk di sebelahku, tangannya belum lepas dari tanganku. Wita meringkuk di ujung sofa, masih memeluk bantal, sementara Gilang duduk di lantai, bersandar pada meja kopi dengan wajah tegang.

Gilang akhirnya buka suara, suaranya serak.

“Gue… beneran nggak ngerti sama hantu yang barusan. Gue kira kalo hantu berantem, ya… serem, diem, teriak-teriak. Tapi yang barusan… kayak liat battle dance.”

Wita melirik ke Gilang dengan mata masih berkaca-kaca. “Aku nggak tau harus takut atau ketawa, Lang… aku cuma tau aku nggak mau keluar rumah lagi malem-malem.”

Joan menatap lurus ke depan, rahangnya masih tegang. “Yang aku nggak habis pikir… gimana kamu bisa santai aja sama Ningsih itu, Nad. Dia jelas bukan… sesuatu yang wajar.”

Aku menarik napas dalam, mencoba menjelaskan. “Aku udah terbiasa, Kak. Dari awal dia muncul, dia nggak pernah nyakitin aku. Bahkan dia sering nolongin. Cuma… ya, gayanya emang suka aneh dan ngeselin.”

Joan menoleh ke aku, matanya meneliti. “Kamu yakin dia nggak punya maksud lain? Aku cuma nggak mau kamu terlalu percaya sama sesuatu yang… dunia lain.”

Aku menatap balik, berusaha tersenyum. “Aku yakin. Selama ini dia nggak pernah ngelakuin hal yang bikin aku curiga. Kalau bukan karena dia, aku mungkin udah nggak di sini.”

Joan akhirnya mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih penuh kekhawatiran.

Tiba-tiba, dari pojok ruangan, suara lirih terdengar.

“Aduh, dunia ini kejam banget ya…”

Aku menoleh spontan. Ningsih muncul. Tapi kali ini, hanya aku yang bisa melihatnya. Joan, Wita, dan Gilang nggak bereaksi sama sekali. Sosoknya berdiri dengan ekspresi lebay sedih, matanya dibuat berair (entah gimana caranya hantu bisa begitu), dan tangannya memegangi dada seolah patah hati.

Aku menghela napas. “Kenapa lagi, Ning?” suaraku pelan, supaya yang lain nggak curiga.

Ningsih mendesah panjang, suaranya mendayu. “Gue tadi nggak sengaja ketemu Hanif… cowok yang dulu gue ikutin sebelum gue nemu lo. Nad… dia sekarang udah punya anak… dari istrinya.”

Aku berkedip, bingung. “Terus?”

Ningsih menatapku dengan raut super melankolis. “Ya terus gue galau lah! Dulu gue kira dia bakal jadi… ya, temen gue selamanya. Ternyata sekarang dia sibuk jadi bapak. Gue… kayak nggak berarti lagi…”

Aku memijit pelipis. “Ning… serius banget galau soal cowok? Lo kan hantu, bukan ABG.”

Ningsih mendengus kecil. “Hantu juga punya hati, Nad. Lo kira enak jadi gue? Udah nggak punya hidup, nggak punya masa depan, eh sekarang liat gebetan lama bahagia sama anak-istrinya. Gue… jadi kayak sampah.”

Aku mendesah panjang, mencoba nggak ikut emosi. “Ya udah, terus kenapa lo kesini? Buat curhat doang?”

Ningsih menunduk, nada suaranya berubah serius. “Enggak cuma itu. Gue liat sesuatu, Nad. Anak Hanif… dia gampang banget ketempelan.”

Aku terdiam. “Maksud lo?”

Ningsih mendekat, matanya kini tajam. “Anaknya itu… auranya terang, tapi lemah. Kayak… magnet buat makhluk-makhluk yang berkeliaran. Gue rasa, apa yang ngejar lo selama ini mungkin bakal nyasar ke dia juga kalo nggak dijaga.”

Tubuhku menegang. Aku melirik ke Joan sekilas—dia lagi ngobrol pelan sama Gilang, nggak sadar aku lagi ngomong sama Ningsih. Aku balikin pandangan ke hantu itu.

“Lo yakin? Kenapa lo baru bilang sekarang?”

Ningsih mengangkat bahu. “Karena gue baru liat tadi. Gue cuma mampir ke rumahnya, eh malah nemu itu. Gue rasa… lo bakal harus ikut campur, Nad. Soalnya semua gangguan ini… kayak ada benang merahnya sama lo dan Hanif.”

Aku menggigit bibir. “Kalau gue nggak ikut campur?”

Ningsih menatapku lurus. “Lo bisa biarin, tapi… kalau makhluk-makhluk itu dapet anaknya Hanif, mereka bisa nyari jalan balik ke lo. Jadi pada akhirnya, lo juga kena imbasnya.”

Aku menunduk, kepalaku terasa berat. Dalam hati, aku tau ini belum berakhir. Dan aku… nggak yakin Joan bakal gampang nerima kalau aku harus ikut campur urusan orang lain lagi.

Keesokan harinya, semuanya terasa… biasa, tapi nggak sepenuhnya normal. Aku dan Wita berangkat ke kantor seperti biasa. Dari luar, mungkin aku terlihat sama saja, tapi kepalaku dipenuhi pikiran tentang Hanif dan anaknya.

Di meja kerjaku, layar laptop terbuka, laporan menumpuk. Tapi mataku cuma menatap kosong. Setiap huruf terasa nggak nyangkut di otak. Bayangan ucapan Ningsih semalam terngiang terus.

"Anaknya Hanif gampang ketempelan… kalau nggak dijaga, gangguan itu bisa nyasar ke dia… dan akhirnya ke lo juga."

Wita melirik dari meja seberang. “Lo kenapa, Nad? Dari tadi lo liatin layar kayak liatin tembok. Lo demam, apa pusing?”

Aku tersentak, buru-buru menggeleng. “Enggak… gue cuma… capek dikit.”

Wita mendecak. “Capek mulu lo. Nih gue beliin kopi biar lo nggak tidur berdiri.” Dia nyodorin gelas kopi dingin.

Aku tersenyum tipis. “Makasih, Wit.” Tapi senyum itu cuma setengah hati.

Hari itu berlalu tanpa banyak gangguan gaib, tapi pikiranku nggak pernah tenang. Bahkan pas pulang kerja, saat kami duduk bareng di ruang keluarga, rasanya aku nggak benar-benar di sana. Joan duduk di sebelahku, Gilang dan Wita ngobrol di lantai sambil ngemil, tapi aku cuma bengong.

Joan melirikku berkali-kali. Dia akhirnya bicara pelan, nadanya serius.

“Kamu kenapa, Nad? Dari tadi kamu diem aja. Ada yang kamu pikirin?”

Aku kaget sedikit, buru-buru tersenyum samar. “Enggak kok… cuma capek kerja.”

Joan menatapku lama, jelas nggak percaya. “Kamu yakin? Kamu bahkan nggak denger aku nanya tadi soal weekend mau ke mana. Kamu biasanya semangat kalau ngomongin liburan.”

Aku terdiam, nggak bisa langsung jawab. “Iya… maaf, Kak. Aku cuma… pusing dikit. Besok juga hilang kok.”

Joan akhirnya mengangguk pelan, tapi sorot matanya nggak berubah. Dia masih menatapku seolah berusaha membaca pikiranku.

“Nad… kalau ada apa-apa, kamu ngomong sama aku. Jangan simpen sendiri. Aku nggak mau kamu harus hadapin semua ini sendirian lagi.”

Aku menelan ludah, mencoba tersenyum. “Iya, Kak… aku ngerti.”

Tapi malam itu, bahkan saat aku rebahan di kamarku, pikiranku nggak bisa berhenti. Kata-kata Ningsih, wajah Hanif yang samar di ingatanku, dan bayangan anak kecil tak dikenal bercampur jadi satu. Dan aku nggak tau kapan harus bilang ke Joan… atau apakah aku harus bilang sama sekali.

________

Jumat pagi. Udara masih sejuk, suara burung bercampur dengan suara motor-motor tetangga yang bersiap kerja. Kak Joan dan Gilang udah siap berangkat ke rumah sakit, jas forensik mereka rapi, wajah mereka serius.

“Kamu di rumah aja sama Wita, ya?” kata Kak Joan sambil merapikan lengan jasnya. “Jangan keluar jauh-jauh.”

Aku tersenyum kecil. “Iya, Kak. Aku cuma mau santai aja. Paling jajan bentar.”

Joan menatapku sebentar, seolah mau memastikan aku nggak sembunyiin apa-apa. “Kalau ada apa-apa, telepon aku. Jangan nunggu.”

“Iya, Kak. Tenang aja.”

Setelah mereka berdua pamit dan pergi, rumah mendadak hening. Aku duduk di sofa, sementara Wita duduk di lantai sambil main ponsel. Dia mendongak ke arahku.

“Nad… lapar nggak lo? Gue pengen banget gorengan depan komplek, plus es buah. Lo ikut nggak?”

Aku mengangguk cepat. “Boleh. Gue juga laper banget. Gue pengen bala-bala sama tempe mendoan sekalian.”

Wita berdiri sambil senyum lebar. “Yaudah, gas. Kita naik motor bebek pink andalan gue!”

Kami pun keluar, motor bebek pink Wita jadi tunggangan setia kami. Aku duduk di belakang sambil tertawa kecil. “Motor lo ini… bener-bener nggak pernah berubah, Wit. Masih aja lo kasih gantungan boneka kelinci di spion.”

“Ini motor legend, Nad. Jangan diremehin,” sahut Wita sambil nyalain mesin motornya.

Perjalanan ke depan komplek cuma sebentar. Udara pagi yang sejuk bikin hati terasa ringan. Tapi sesampainya di tukang gorengan, langkahku mendadak terhenti.

Di seberang jalan, tepat di depan tukang nasi uduk, aku melihat seorang perempuan muda. Wajahnya cantik, riasannya tipis, dengan kerudung krem sederhana. Dia sedang menggendong seorang bayi, mungkin sekitar setahun. Perempuan itu… aku kenal. Istrinya Hanif.

Aku menelan ludah. Nggak sengaja, mataku jatuh ke anak yang digendongnya. Anak itu… entah kenapa, mataku terpaku.

Kulitnya pucat, matanya besar tapi terlihat… kosong. Saat pandangannya bertemu denganku, ada sensasi dingin menjalar di tengkukku. Bulu kudukku meremang.

“Eh, Nad. Lo kenapa diem?” suara Wita menyadarkanku. Dia menatap ke arah yang sama, tapi ekspresinya biasa aja. “Lo kenal tuh orang?”

Aku menelan ludah lagi, memalingkan wajah pelan-pelan. “Iya… itu istrinya Hanif. Lo inget nggak, yang dulu gue pernah ceritain?”

“Oh, yang lo bilang mantan gebetan hantu Ningsih itu?” Wita mendengus kecil, nggak peka sama rasa dingin yang aku rasain. “Terus kenapa lo jadi pucet gitu? Lo nggak ketemu mereka bertahun-tahun kan?”

Aku menggeleng pelan. “Nggak apa-apa… cuma kaget aja.” Tapi dalam hati, aku tahu aura anak kecil itu nggak wajar.

Saat aku menoleh sekali lagi, mata bayi itu tetap menatapku lurus. Dan sesaat, aku bisa bersumpah, bayangan hitam seperti kabut tipis bergerak di belakang punggungnya.

Aku menggenggam lengan Wita pelan. “Wit… ayo cepet beli gorengan, terus balik. Gue nggak enak perasaan.”

Wita menatapku heran, tapi akhirnya mengangguk. “Oke… tapi lo cerita ntar di rumah, gue nggak mau lo simpen sendiri.”

Aku mengangguk, meski aku sendiri masih nggak yakin harus cerita atau nggak. Karena kalau aku ceritain ke Wita, dia pasti panik. Dan kalau Kak Joan tahu… dia pasti bakal maksa aku menjauh.

Tapi dalam hati, aku tahu… anak Hanif itu bukan anak biasa.

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!