Mereka sama-sama pendosa, namun Tuhan tampaknya ingin mereka dipertemukan untuk menjalani cinta yang tulus.
Raka dan Kara dipertemukan dalam suatu transaksi intim yang ganjil. Sampai akhirnya keduanya menyadari kalau keduanya bekerja di tempat yang sama.
Kara yang supel, ceria, dan pekerja keras. Berwatak blak-blakan, menghadapi teror dari mantan suaminya yang posesif. Sementara Raka sang Presdir sebenarnya menaruh hati pada Kara namun rintangan yang akan dihadapinya adalah kehilangan orang terpenting di hidupnya. Ia harus memilih antara cintanya, atau keluarganya. Semua keluarganya trauma dengan mantan-mantan istri Raka, sehingga mereka tidak mau lagi ada calon istri yang lain.
Raka dan Kara sama-sama menjalani hidupnya dengan dinamika yang genting. Sampai akhirnya mereka berdua kebingungan. Mengutamakan diri sendiri atau orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Thirty Five
“Sebentar... sebentar woy. Nggak bisa gue tanya, Om Raka lagi sibuk merancang Badan Hukum buat besok pagi meeting besar di Kantor Menkumham. Ini ada apa’an kasusnya Puspa? Kenapa lu tanya-tanya soal Rachel heh?!” tanya Kara langsung memosisikan badannya jadi duduk tegak. Kantuknya langsung hilang dalam sekejab.
Kara kini sendirian di kamarnya, semua orang sudah pergi lanjut sewa kamar di hotel dekat Kantor Kemenkumham agar besok pagi nggak kesiangan meeting.
“Percaya atau nggak, lu liat aja foto yang barusan gue kirim via wa. Gue lagi di rumah Babeh ngawasin kosan Mak Ijah. Si Aldo ngekost di lantai 2.” Sahut Puspa dengan suara berbisik.
Kara membuka file foto yang dikirim Puspa, dua buah fotokopian KTP, Kara memperbesar gambar itu sambil memicingkan mata.
“Ya Tuhan Yang maha Agung....” gumamnya langsung gemetaran. Walau pun ia benci kedua orang itu, tapi kalau sudah begini ya dia takut juga. ‘”Ini Rachel, anjay...”
“Beneran kan ya itu anak Pak Yudhis? Gue cuma kenal tampangnya doang dari medsos. Macam Raidan tapi versi cewek.”
“Ini benar Rachel. Mereka berdua ada di kosan?!”
‘Yep!”
‘Kok bisa?!”
‘Gue juga mau tanya itu. ‘Kok Bisa’ makanya gue lagi merhatiin sama si Babeh nih!”
Lalu terdengar Puspa mengeluh dan bunyi kresek-kresek. Rupanya hapenya direbut Babeh.
“Kara, ini Kara kan ya?!”
‘Assalamualaikum Beh, lama nggak ketemu.”
“Wa’alaikum salam. Lu apa kabar?!”
‘masih di rumah sakit Beh, habis digebukin mantan laki.”
“Ini bener laki lo? Si Aldo-aldo ini?!”
“Mantan beeeh. Iya itu mantan laki gue. Nggak mungkin gue salah ngenalik KTPnya lah Beh.”
“Walah... gue harus kerahin siskamling ini sih...”
“Beh, gue sih nggak peduli ya si Aldo mau nginep dimana, yang jelas dia sudah pasti kehilangan semua harta bendanya karena kelilit pinjol dan judol. Gue aje pindah-pindah kosan buat ngehindarin dia Beh! Jangan sampe deh dia tahu kalo Puspa tinggal di sana juga. Mereka saling kenal soalnya, sejak kuliah!”
“Kita sekampung bakalan ngelindungin Puspa lah!” kata Babah bersemangat.
“Ya tapi ribet Beh, buang-buang tenaga. Mending langsung diusir tanpa banyak masalah. Bilang aje itu KTP dia nggak kedaftar di Dukcapil kek, atau apa kek. Masalahnya... itu anak pacar gue, si Rachel kenapa bisa tinggal berdua sama si Aldo?! Gue kagak cemburu tapi gue malah khawatir jangan-jangan ada tuduhan penculikan untuk tebusan atau apa lah. Karena si Aldo kemarin dendam ama pacar gue gara-gara dibanting.”
“Pacar lo banting Aldo? Segede ape pacar lo Neng hahahaha!” Si Babeh malah makin bersemangat.
“Gede.” Desis Kara pendek. Setelahnya ia langsung diam sambil menunduk. “Beh gue gak bisa hubungin pacar gue, soalnya... gue takut.”
“Ama pacar sendiri kok Takut? Pacar lo mafia?!”
“Kagak, bukan itu.” Kara menyangga ponselnya di bahunya dan perlahan ia mencabut jarum infusnya. Ia sampai meringis sambil nangis saking sakit banget tapi nggak bisa teriak. Ia berniat kabur dari sana untuk pergi ke kampung Puspa. “Kalau sampai banyak keributan di sana udah pasti itu sekampung porak poranda. Om Raka lagi banyak masalah, di demo karyawan, lah. Pembubaran perusahaan lah, pembentukan perusahaan baru lah, meeting sana-sini lah, belum harus nyediain dan operasional. Dan pasti kalau ditambah anak-nya nambahin masalah, dia bakal gedebak-gedebuk nggak liat kanan kiri kayak babi hutan nerjang tronton. Sama-sama bonyok.”
“Jangan gitu lah, kita yang kena imbas.”
“Makanya, gue sekarang ke sana. Gue bawa teman-teman gue.”
“Lu mau bawa sape?!” tanya Puspa kembali merebut ponselnya.
“Hehe... Cuma Raidan yang bisa gue hubungin.” Kara tampak malu-malu sekaligus Ragu. Raidan bukan orang yang tepat untuk penyelamatan ini, tapi apa boleh buat yang lain sedang mengurusi Om Rakanya.
**
Tentu saja Raidan datang tidak sendirian. Malam itu pukul 12, dia bersama teman-teman segenknya sudah berkumpul. Anak-anak Club Tinju Decathlon.
“Ini senior gue, Revan dan Dennis.” Kata Raidan saat menjemput Kara di samping RS.
Kara ternganga melihat kedua teman Raidan.
Masalahnya, ia pikir Raidan sudah cukup jangkung dan besar untuk ukuran remaja tanggung 17 tahun. Nih dua orang badannya malah jauh lebih besar lagi, udah begitu kategori remaja memiliki otot sedege batang pisang, gimana caranya Kara nggak melongo.
Terutama yang namanya Dennis. Nih cowok ngeliatin dia udah kayak mau nerkam!
Serem gilak.
“Lu kabur dari rumah sakit?” tanya Dennis.
“I-iyaaaa...” Kara langsung waspada.
“Tindakan tolol.” Kata Dennis.
Makin lebar lah nganga mulutnya Kara. Baru saja bertemu sudah menusuk sekali kata-katanya. Kenalan saja belum!
“Kok lu ngomong gitu...“ Kara cemberut langsung bete.
“Gue denger dari Edan kalo lo sengaja menyembunyikan hal ini ke Pak Yudhis karena tidak ingin fokus beliau terdistract. Itu aja udah bikin gue heran. Pede banget lu mau menyelesaikan masalah ini sendiri. Lo mikir nggak justru dengan kaburnya lo dari RS, Pak Yudhis bakalan nambah lagi masalahnya. Lo pikir pihak RS nggak bakalan ngelaporin lo menghilang dari kamar ke Pak Yudhis?!”
“Errrghh...” Kara sudah pasti lupa. Dia kan grasa grusu.
“Dia lagi banyak urusan, tiba-tiba Lo hilang, anak perempuannya kabur, sekarang anak lakinya nggak ada. Bentar lagi kita mau gerebek kosannya psikopat, kalo si Edan kenapa-napa... lo bayangin bisa sedepresi apa Pak Yudhis, heh?! Tahu-tahu loncat dari gedung sih gue nggak heran.” Gumam Dennis.
Kara sampai membentur-benturkan jidatnya ke tembok. “Duuuh begonya gueeee...” gumamnya menyadari kesalahannya. Kalau kini dia kembali ke RS malah makin bikin heboh.
“Kapan terakhir kali suster meriksa tensi lo?” tanya Dennis.
“sekitar jam 11an.” Gumam Kara.
“Nanti pengecekan biasanya jam 2an, setiap 3 jam sekali biasanya. Kita Cuma punya waktu sampai jam 1.30.” kata Dennis. “Kalo nggak mau semuanya makin ribet, cepetan jalan sekarang.” Ia bisa mendengar geraman binatang buas dari suara Dennis.
“Teman lo lagaknya kayak wolverine.” Bisik Kara ke Raidan.
“Dia habis berantem sama Tantenya, makanya lagi bete. Dia bilang butuh pelampiasan, makanya gue ajak.”
“Anjir lah, bisa makin ribut itu kampungnya Puspa.”
“Tenang... kita orangnya kalem kok.” Bisik Revan sambil cekikikan., Revan ini malah tampak menggebu-gebu, dia bahkan mendokumentasikan segala pergerakan malam itu. “Nanti mamah Edan tunggu aja di rumah depan.”
“Siapa yang lu sebut Mamah Edan?!” Kara mengeplak tangan Revan.
“Ya elu lah Kak. Mamahnya Raidan, kan?! Udah diakuin tuh!” Revan menunjuk hidung Kara.
“Bokapnya dia aje belum ngelamar gue, udah main sebut Mamah?!” Kara menoyor pipi Raidan.
“Kalo bokap nggak ngelamar sampai akhir bulan ini, gue yang lamar lo. Dari Mamah jadi Sayang, judulnya.” Kekeh Raidan.
“Nggak lah ya!!” sungut Kara.
“Jangan berisik.” Geram Dennis.
Semua langsung hening.
Mereka beneran takut sama Dennis.
baru tau loh aku😁
madam
are you ok
wes abeess toh...
di tunggu up ya kak
😍