Air Mata Jennaira

"Tunggu!"

Tanganku berhasil diraih oleh Gio. Mau tak mau langkahku terhenti di depan coffee shop itu.

"Maaf. Tapi kamu satu-satunya harapan saya, Naira. Saya tidak mau ayah saya terus-terusan dikhianati oleh Alleta. Apa kamu..."

"Tolong," potongku. "Saya gak bisa bantu, Mas. Saya benar-benar tidak bisa."

"Tapi kenapa?" Gio masih belum bisa menerima penolakanku. "Kamu akan membiarkan pria itu terus melukai kamu juga?"

Aku tahu. Sikapku ini sangatlah bodoh. Beberapa waktu lalu, aku ingin sekali bercerai dengan Gaga. Tapi Gaga malah membelengguku dengan sentuhannya, membuatku terbiasa, membuatku semakin terjebak dalam rasa cintaku yang buta.

Hingga saat aku dihadapkan dengan satu kesempatan di mana aku seharusnya pergi dari sisi Gaga, aku malah memutuskan untuk menutup mata. Ku tutup kenyataan tentang sikap dan perasaan Gaga yang tak pernah tertuju padaku. Ku tutup kenyataan tentang hubungan terlarang antara suamiku dengan cinta pertamanya itu.

Perasaanku berkata, lebih baik aku sakit seperti ini. Sesakit apapun akan aku terima daripada aku harus kehilangan pelukan hangatnya, kehilangan sosoknya yang kini bisa selalu ku lihat dari dekat, seperti yang selalu kuidam-idamkan selama bertahun-tahun lamanya.

"Anda tidak tahu apa-apa. Jawaban saya tetap sama. Saya gak bisa bantu anda. Permisi."

Aku pun melangkahkan kakiku lagi.

"Baik. Saya gak akan paksa kamu lagi," ucapnya membuat langkahku terhenti. "Tapi biarkan saya mengantar kamu ke sekolah lagi. Maaf saya sudah mengganggu waktu kamu." Ia tersenyum hangat dengan raut merasa bersalah.

Penawaran Gio untuk mengantarku begitu mencubit hatiku. Miris. Suamiku sendiri malah menurunkanku begitu saja di tengah jalan. Sedangkan Gio, begitu 'gentleman' dalam memperlakukan seorang perempuan yang bahkan baru dikenalnya.

Tapi itu tak membuatku mengubah keputusanku. Aku akan tetap di sisi suamiku sebagai istri seorang Sagara Zayn El-haikal.

Aku pun menerima penawarannya karena memang tidak ada kendaraan umum dari coffee shop ini menuju sekolah meskipun jaraknya cukup dekat.

"Kenapa anda ada di depan sekolah?" tanyaku penasaran saat mobil Gio mulai melaju.

"Adik saya bersekolah di sana. Baru hari ini dia masuk. Tadi saya mengantarnya. Khawatir dia belum terbiasa. Ternyata kebetulan sekali bertemu dengan kamu. Jadi kamu guru di sekolah itu?" ujarnya sambil terus menyetir.

"Iya. Saya mengajar di kelas 11. Adik anda siapa namanya? Kelas berapa?"

"Almira. Di kelas 10. Dia asalnya bersekolah di sekolah internasional, tapi sesuatu terjadi jadi ibu saya memutuskan untuk memindahkannya ke sekolah negeri. Karena saya mengenal kamu sekarang, saya sedikit lega. Boleh saya menitipkan Almira pada kamu? Jika terjadi sesuatu tolong hubungi saya."

Sebenarnya aku tidak ingin terlibat lagi dengan Gio. Namun posisinya dia sekarang sudah menjadi seorang wali murid. Jadi aku tidak bisa apa-apa.

"Boleh. Nanti saya cari tahu dan berkenalan sama Almira. Sesuatu yang terjadi dengan Almira di sekolahnya yang dulu itu, kalau boleh tahu, ada apa?"

"Dia dibully oleh teman-temannya. Dia mengalami trauma dan tidak mau sekolah. Makanya kami memindahkannya ke sini. Semoga di sini ia akan merasa lebih baik."

Sontak aku bersimpati pada Gio. Dia terlihat begitu peduli dan menyayangi adiknya. "Kasihan Almira. Semoga di sini dia merasa nyaman. Anda gak perlu khawatir. Kalau ada apa-apa saya akan mengabari anda."

"Benarkah?" ujarnya dengan nada sumringah. "Terima kasih kalau begitu. Saya sangat bersyukur bisa mengenal kamu, Naira."

Aku hanya tersenyum membalas rasa terima kasihnya. Kemudian mobil Gio menepi dan berhenti tepat di depan gerbang.

"Terima kasih atas tumpangannya," ucapku sambil membuka pintu. "Saya pamit."

"Naira," panggilnya membuatku urung untuk turun dari mobil itu. "Saya ingin memastikan saja, benar kamu tidak akan membantu saya? Boleh tahu apa alasannya?"

Aku menimang-nimang sebentar sampai akhirnya aku putuskan untuk jujur. "Maafkan saya, Mas. Pria itu sekarang sudah menjadi suami saya..."

"Maksud kamu," potong Gio segera. "Setelah melihat apa yang pria itu lakukan pada kamu, kamu malah menikahinya?"

"Mungkin bagi orang lain keputusan saya ini terdengar aneh dan bodoh. Kami memang menikah karena perjodohan, tapi saya sangat mencintai suami saya. Dia hanya belum membuka hatinya untuk saya. Dia masih terjebak dengan cinta pertamanya. Tapi saya percaya dia akan mencintai saya juga suatu hari nanti."

Gio menatapku iba seakan apa yang aku katakan amat sangat mustahil untuk terjadi.