Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rndu Terpendam
Di kamarnya yang sudah tertata rapi, satu koper besar telah berdiri di sudut. Buku-buku favoritnya, mukena, dan sebuah Al-Qur'an kecil dari Azam dulu sudah ia kemas.
Pagi menjelang keberangkatan. Kabut tipis masih menggantung di halaman ketika Humairah datang ke rumah Nayla, dengan mata sembab yang sulit disembunyikan. Mereka duduk di ruang tamu, tanpa Azam, hanya berdua—dua perempuan yang saling mencintai lelaki yang sama dengan cara mereka sendiri.
Nayla menatap wajah lembut Humairah yang tengah mengandung, lalu menggenggam tangan adiknya itu dengan erat. Senyum Nayla tenang, tapi matanya menyimpan laut yang bergelombang.
“Mbak yakin ini yang terbaik?” tanya Humairah.
Nayla tersenyum tipis. “Heem...ini yang terbaik, Insya Allah...”
Humairah menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seolah akan kehilangan sosok yang selama ini menenangkan dan membimbingnya.
“Dek…” suara Nayla pelan tapi hangat. “Aku titip Mas Azam, ya.”
Humairah menggigit bibir, menahan tangis yang ingin tumpah. Ia mengangguk pelan.
“Aku tahu kamu istri yang lembut dan sabar. Tapi kamu harus kuat juga, Ra. Karena sekarang kamu bukan cuma istri Mas Azam. Kamu juga ibu dari anaknya.”
Nayla mengelus tangan Humairah yang mulai gemetar.
“Jaga kandunganmu baik-baik. Jangan lupa minum susu, jangan suka skip makan. Kalau mual, minum air jeruk hangat, itu lumayan menenangkan. Tapi yang paling penting... air madu Mas Azam jangan sampai ketinggalan, ya. Mas itu suka lupa, tapi badannya tetap harus dijaga.”
Humairah tak mampu menahan air matanya. Ia menangis dalam diam, menggenggam tangan Nayla dengan erat.
“Aku akan kangen kamu, Mbak... Rumah ini akan terasa kosong…”
Nayla tersenyum, kali ini senyumnya getir tapi penuh keikhlasan.
“Kalau kamu rindu, telepon mbak, kita bisa video call. Kamu bisa ceritakan semua yang kamu rasakan di sini. Dan kalau kamu butuh pelukan, peluk Mas Azam, jangan ragu. Jangan khawatirkan aku, aku akan baik-baik saja... selama tahu kalian bahagia.”
Humairah menunduk, menangis terisak di pangkuan Nayla. Tapi Nayla tetap mengelus rambutnya lembut, seperti seorang kakak pada adiknya yang akan ditinggal jauh.
“Dan, Dek…” bisik Nayla, “jangan lupa doakan aku di setiap waktu kamu bersujud. Karena doamu akan menjadi penguat untukku di tanah asing nanti.”
Humairah mengangguk tanpa suara, hanya tangis yang menjawab.
Mereka berpelukan lama, dalam keheningan yang lebih banyak berkata daripada ribuan kalimat. Di antara mereka, tidak ada kebencian. Hanya cinta yang diuji oleh peran, waktu, dan pengorbanan.
Pagi itu langit tampak muram, seperti ikut merasakan perpisahan yang akan terjadi. Suasana di bandara serasa sunyi dalam dunia mereka bertiga. Azam menggenggam koper Nayla, sementara Humairah menopang perutnya yang mulai membuncit. Ketiganya berjalan perlahan menuju ruang keberangkatan.
Nayla mengenakan gamis sederhana berwarna biru muda, kerudungnya serasi dengan warna langit pagi. Di matanya tidak ada air mata, hanya ketegaran yang dipahat dengan penuh keyakinan.
Sesampainya di depan gate, Nayla menoleh pada Humairah terlebih dahulu. Ia memeluknya dengan hati yang seolah tak ingin melepas.
“Jangan lupa,ya Dek… jaga semuanya. Jaga Mas Azam, jaga anak kita… jaga dirimu. Dan tolong… jangan izinkan Mas Azam,merasa sendirian, meski aku tak di sini.”
Humairah mengangguk dalam pelukan Nayla, tak mampu berkata sepatah pun. Hanya desahan tangis yang lolos.
Lalu, Nayla beralih pada Azam. Mereka berdiri berhadapan. Azam menatap perempuan yang selama ini menjadi cahaya dalam hidupnya. Tapi hari ini, ia tak bisa menahan rasa bersalah yang bergulung-gulung. Azam tahu kepergian Nayla karena ucapannya sebulan yang lalu.
“Mas…” suara Nayla pelan, “jada Adikku, dan jaga kesehatanmu, kalau kamu kangen aku, kamu bangun salat malam, kamu adukan rindumu sama pemilik cinta"
Azam menggeleng cepat. Matanya mulai merah.
“Nay..." Suara Azam tercekat oleh tangisnya.
Nayla menunduk sebentar, lalu tersenyum lembut.
“Aku pergi bukan karena kabur dari kenyataan Mas, Aku nuntut imu…doain aku.”
Azam menggenggam tangannya, menahannya dengan erat. “Aku tahu alasanmu pergi Nay...belajar hanya sebagai tameng untuk menutupi kesalahanku. Tapi Mas akan tetap doakan kamu dalam sujud.”
Nayla terdiam, tak sanggup menatap mata Azam. “Kamu ngomong apa Mas." sangkal Nayla. "Doakan aja aku bisa menjadi perempuan yang lebih kuat. Dan doakan aku bisa pulang... tanpa membawa luka yang sama.”
Azam menatap Nayla dalam-dalam. Kemudian ia melepas tasbih kecil dari saku bajunya—tasbih yang dulu diberikan Nayla sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka. Ia serahkan kembali pada Nayla.
“Bawalah ini, Nay. Supaya di setiap butiran yang kamu sebut, Mas selalu ikut dalam doa-doamu.”
Nayla menerimanya, kali ini air matanya tak tertahan. Ia peluk Azam untuk terakhir kalinya sebelum berangkat, lama… seolah waktu bisa berhenti sebentar untuk mereka.
“Mas…” bisik Nayla, “Aku titip hatiku.."
Dan dengan itu, Nayla pun melangkah masuk ke gate keberangkatan. Tak menoleh lagi, karena jika ia menoleh, mungkin kakinya tak akan sanggup berjalan. Di balik langkahnya, Azam menunduk—matanya basah, hatinya patah, tapi juga penuh doa.
Di sisi Azam, Humairah menggenggam tangannya dengan lembut. Mereka berdiri lama menatap arah kepergian Nayla, seolah menatap doa yang mengawang di antara langit dan rindu.
Dua bulan sudah sejak Nayla berangkat ke Timur Tengah. Rumah terasa lengang meski suara azan dan tilawah tak pernah absen. Azam tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, sebagai suami, sebagai calon ayah… namun ada yang berubah dalam matanya—ada kehampaan yang tak bisa disembunyikan.
Di malam-malam tertentu, Humairah sering terjaga. Bukan karena janin yang menendang, tapi karena suara tangis pelan dari ruang kerja Azam. Awalnya ia berpikir Azam kelelahan. Tapi setelah beberapa kali, ia tahu… itu bukan sekadar lelah fisik. Itu rindu yang tak bersuara.
Suatu malam, Humairah berdiri di balik pintu ruang kerja. Suaminya duduk di atas sajadah, wajahnya tertunduk. Bahunya bergetar, dan dalam bisikan doa itu, Humairah mendengar…
“Ya Allah… kabarkan padanya bahwa aku merindunya. Jagalah istriku di tanah yang jauh… Jangan biarkan dia sendiri… Kuatkan hatinya. Dan jika Engkau izinkan, kembalikan dia padaku secepatnya…”
Humairah menahan napas. Hatinya mencelos. Ia tahu, ia bukan sekadar berbagi kasih… tapi kini ia berbagi duka, berbagi luka yang tidak berasal dari dirinya.
Bahkan saat Azam tertidur pun, terkadang nama itu lolos dari bibirnya.
“Nayla… maafin Mas…”
Dan malam itu, Humairah hanya bisa memeluk guling, membelakangi Azam yang tertidur sambil memanggil nama perempuan lain. Bukan karena ia cemburu, tapi karena ia tahu... cinta yang tinggal tak selalu bisa dibagi rata.
Namun yang paling menyakitkan bukan mendengar nama Nayla disebut—melainkan mengetahui bahwa lelaki yang tidur di sampingnya sedang patah, dan ia tak bisa menyembuhkannya.
Pagi-pagi, seperti biasa Humairah menyiapkan air madu untuk Azam. Saat ia letakkan gelas itu di atas meja, Azam tersenyum tipis.
“Makasih ya, Sayang…”ucap Azam lembut.Humairah melirik sambil menarik kursi tepat di sebelah suaminya.
“Mas mimpiin Mbak Nayla lagi semalam?” tanya Humairah pelan.
Azam terdiam. Lalu akhirnya mengangguk. Jujur, meski ia tahu jawabannya akan menambah luka Humairah.
“Mas kangen…mbakmu, Dek..” katanya lirih.
Humairah mengangguk pelan. “Aku juga kangen Mbak Nayla…” gumamnya jujur.
“Mbak Nayla itu perempuan kuat, Mas. Tapi bahkan perempuan sekuat dia pun… kalau hatinya patah… bisa memilih pergi.”
Azam menunduk. Kata-kata itu seperti tamparan lembut, tapi dalam. Ia tahu, kepergian Nayla bukan karena beasiswa semata. Itu adalah bentuk luka yang diredam dan dibungkus dengan doa.
Humairah memegang tangan suaminya.
“Aku akan temani Kamu Mas. Tapi Mas jangan lupa, Mbak Nayla itu nggak pernah minta Mas memilih. Dia hanya butuh merasa tetap dicintai…”
Azam tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangan Humairah lebih erat, bersyukur masih ada yang sabar mendampingi saat hatinya sedang belajar merangkul rindu dan penyesalan.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan