Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Angin musim panas membawa aroma jerami dan gandum. Desa Ping’an mulai bersiap untuk panen. Lin Yun sibuk membantu para petani, mengangkut karung berisi hasil bumi, sementara Qianru mengajarkan anak-anak perempuan desa menjahit dan menyulam.
Hari-hari mereka tenang. Nyaris seperti mimpi.
Namun, satu sore yang lengang, mimpi itu terganggu oleh derap kaki kuda dan denting pelana yang mengguncang tanah. Seekor kuda coklat berhenti di depan rumah Qianru, dan dari atasnya turun seorang pria dengan jubah panjang warna biru gelap.
Qianru mengenali lambang di dadanya.
Pasukan rahasia kekaisaran.
Wajah Qianru memucat. Lin Yun yang baru pulang membawa seikat padi melihat tamu itu dan langsung sigap. Ia meletakkan karung, berjalan cepat ke sisi Qianru.
“Selir Qianru,” ucap si tamu sambil membungkuk. “Maaf mengganggu. Hamba diutus langsung oleh Yang Mulia Kaisar Liu.”
Qianru menghela napas panjang. “Apa yang diinginkan Kaisar?”
Pria itu membuka gulungan surat bersegel emas. Ia menyerahkannya pada Qianru dengan dua tangan. Qianru menerima dan membacanya dengan pelan, matanya menyapu setiap huruf dengan hati-hati.
Wajahnya berubah kaku.
“Apa aku harus kembali?” bisik Qianru pada Lin Yun.
Lin Yun tidak menjawab. Ia hanya menatap Qianru lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Aku ikut.”
Malam itu, Qianru duduk di meja kayu kecil di dapur, surat Kaisar Liu terbuka di depannya. Lin Yun sedang membuatkan teh, tapi sesekali mencuri pandang ke arah Qianru, seolah khawatir wanita itu menghilang esok pagi.
“Dia sakit,” ucap Qianru tiba-tiba.
Lin Yun menoleh. “Kaisar?”
Qianru mengangguk. “Tubuhnya melemah... dan dia ingin bertemu untuk terakhir kali. Dia bilang, aku bisa datang sebagai teman... bukan selir.”
“Kalau kau ingin pergi, aku akan mengantar. Tapi kalau kau ragu... kita bisa menolak secara halus.”
Qianru menunduk. “Aku tak tahu harus merasa apa. Dia bukan orang jahat... hanya terlalu cinta pada kekuasaan. Tapi aku... aku telah memilih hidup seperti ini.”
Lin Yun duduk di hadapannya. “Kalau begitu... kita pergi. Tapi hanya untuk sebentar. Kau berhutang perpisahan, bukan pengorbanan.”
Qianru menatap Lin Yun. Di matanya ada kepercayaan yang tidak ia dapatkan selama bertahun-tahun di istana. Lalu, ia mengangguk pelan.
Perjalanan ke ibukota memakan waktu tiga hari. Mereka tiba saat matahari senja menodai langit dengan warna oranye dan merah. Kota itu masih megah, masih hiruk pikuk, masih penuh aturan dan penjaga.
Kaisar Liu tinggal di istana dalam—tempat hanya orang tertentu yang boleh masuk. Namun kali ini, tidak ada barikade. Tidak ada upacara besar. Hanya pelayan tua yang mempersilakan mereka masuk ke sebuah taman yang dahulu adalah tempat favorit Qianru.
Dan di sana, duduklah seorang pria paruh baya dengan jubah kekaisaran yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang melemah.
“Qianru,” ucapnya pelan.
Suara itu masih sama. Dalam dan lembut. Tapi tak lagi penuh kuasa.
Qianru berjalan perlahan, duduk di bangku seberangnya. Lin Yun berdiri beberapa langkah di belakang, diam namun waspada.
“Aku selalu tahu kau akan memilih pergi,” kata Kaisar Liu, matanya menerawang. “Tapi aku tak menyangka... aku akan begitu merindukanmu.”
Qianru tersenyum samar. “Dulu, kau selalu bilang perasaan tidak penting dalam pemerintahan.”
“Dan kau mengajarkanku sebaliknya.” ujar kaisar pelan
Mereka berbincang lama. Tentang perang, tentang kedamaian yang berhasil dicapai berkat Qianru, tentang Lin Yun yang ternyata dikenal sebagai salah satu ahli strategi paling berbakat tapi memilih mundur dari arena politik.
Akhirnya, Kaisar Liu menggenggam tangan Qianru.
“Aku tidak meminta kau kembali. Aku hanya ingin... kau tahu, aku berterima kasih.”
Qianru menunduk hormat. “Dan aku pun mengucapkan terima kasih, karena kau telah membiarkan aku memilih jalanku.”
Mereka kembali ke desa dua hari kemudian.
Sepanjang perjalanan pulang, Qianru lebih banyak diam. Tapi di tengah padang rumput, saat langit mulai menghitam dan bintang pertama muncul, ia menghentikan kudanya, memandang Lin Yun, dan berkata:
“Terima kasih telah menemaniku.”
Lin Yun tersenyum. “Aku selalu akan menemanimu.”
Qianru tertawa pelan. “Kau ini... kadang terlalu manis untuk bekas pangeran.”
Lin Yun menaikkan alis. “Bekas?”
“Karena kini, kau hanya milikku.”
Dan dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah kecil mereka di desa Ping’an, tempat bunga-bunga krisan baru mulai mekar untuk musim kedua.
bersambung