Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sorotan Palsu
“Maaf, tapi menurut saya... dia bukan pahlawan. Dia cuma pelukis gagal yang sok jadi penyelamat.”
Kata-kata itu dilontarkan dengan manis, santai, dan dibumbui senyum memikat. Tapi dampaknya kayak peluru yang ditembak dari jarak dekat—tepat ke jantung reputasi The Painters.
Studio mendadak hening. Lalu beberapa detik kemudian, riuh tepuk tangan meledak, seolah penonton baru aja menyaksikan momen emas televisi.
Glamora duduk anggun di sofa merah, kakinya bersilang elegan, mengenakan gaun holografik yang berubah warna mengikuti lampu studio. Rambutnya tersisir sempurna, dan eyeliner-nya seperti garis tajam yang bisa membelah ego siapa saja. Kamera menyorot wajahnya dari berbagai sudut. Layar LED besar di belakangnya menampilkan cuplikan pertarungannya melawan The Painters—diedit, tentu saja. Diedit agar dia terlihat menang mutlak.
Host acara, Vincent Reno, seorang selebritas yang terkenal dengan gaya sok santai tapi licik, tampak girang bukan main.
“Wah, wah… berani sekali pernyataanmu, Glamora. Kamu benar-benar yakin… The Painters bukan penyelamat kota ini?”
Glamora tertawa kecil, menyentuh dadanya seolah heran dengan pertanyaan itu. “Vincent sayang, kalau seseorang bikin separuh kota rusak demi mengejar satu orang wanita… itu penyelamat, atau cuma badut dengan kostum mahal?”
Penonton tertawa lagi. Lebih keras. Seseorang bahkan bersiul.
Ajie menonton dari sofa rumahnya, mulutnya mengatup rapat. Tangannya mengepal di atas paha. Televisi menyala di ruang tengah rumah kontrakan tua yang lampunya redup. Di sampingnya, Faisal duduk dengan ekspresi tidak percaya.
“Gila, ini fitnah kelas atas,” gumam Faisal.
Ajie nggak jawab. Pandangannya fokus ke layar, matanya nggak berkedip.
Di TV, Vincent memutar rekaman ulang dari detik-detik Glamora menghindari serangan Ajie—tapi diedit, bagian saat Glamora nyaris terkena cat putih disensor. Disisipkan suara efek ledakan yang dilebih-lebihkan, seolah Glamora memukul balik dengan kekuatan dewa.
“Menurut kamu,” Vincent lanjut, “kenapa The Painters jadi populer, padahal kamu yang jelas-jelas lebih... elegan?”
Glamora menatap kamera. Senyumnya berubah jadi lirikan sinis. “Orang suka cerita sederhana. Hitam-putih. Tapi kenyataan nggak semudah itu. Mungkin masyarakat butuh waktu untuk sadar... kalau mereka menyembah simbol kosong.”
“Wuuuhhh!” Penonton studio bereaksi keras. Beberapa terlihat tidak nyaman, tapi banyak yang ikut tertawa.
Siaran itu langsung trending. Di medsos, potongan ucapan Glamora disebar ke mana-mana. Ada yang pro, ada yang kontra. Tapi satu hal pasti: nama The Painters kembali jadi perbincangan hangat, dan bukan dengan citra yang baik.
—
Di rumah kontrakan, Faisal bangkit, mematikan TV dengan remote.
“Udah cukup. Jangan diladenin. Dia lagi main kotor, Ji.”
Ajie tetap diam. Matanya kosong, tapi pikirannya muter cepat. Kata-kata Glamora mengendap di kepalanya, lebih berbahaya dari cahaya apapun yang pernah ditembakkan wanita itu. Bukan cuma karena fitnahnya, tapi karena dampaknya.
Kalau masyarakat mulai ragu sama siapa yang bener... dia bisa kehilangan kepercayaan orang banyak. Dan lebih bahaya lagi: Glamora bisa pakai momen itu untuk naik jadi ikon baru.
“Lo mau gue hubungin Melly?” tanya Faisal pelan.
Ajie akhirnya menjawab, suaranya datar, “Nggak sekarang.”
Dia berdiri, melangkah pelan ke arah garasi belakang. Tangannya menyentuh sisi armor-nya yang tergantung rapi di rak logam. Kilau ungu gelapnya tampak lebih kelam malam itu.
“Dia nggak main di medan perang sekarang. Dia main di pikiran orang,” ucap Ajie, lebih ke dirinya sendiri.
Faisal menyusul. “Lo mau bikin pernyataan juga? Klarifikasi?”
Ajie menggeleng. “Nggak. Bukan sekarang. Dia pengen gue terpancing. Tapi dia lupa satu hal…”
Dia menyentuh helm-nya. “Gue nggak main buat viral. Gue main buat menang.”
—
Di sisi lain kota, studio TV perlahan kosong. Tapi di ruang rias belakang, Glamora sedang bersandar di depan cermin besar. Tangannya memutar botol kecil berisi serum holografik. Ia tampak puas.
“Rating-nya naik sepuluh persen dalam lima menit,” ujar asistennya, seorang pria kurus dengan earphone selalu menempel.
Glamora tersenyum. “Publik suka drama. Tapi mereka lebih suka bintang. Dan sekarang… siapa bintangnya?”
Pria itu terkekeh. “Lo udah ngalahin dia tanpa bertarung.”
Glamora menatap refleksi dirinya. Tapi kali ini, tak ada senyum. Matanya sedikit kosong.
“Belum. Belum bener-bener kalahin dia… kalau dia belum hilang dari layar.”
—
Besok paginya, warung kopi kecil di pinggiran Jakarta mulai ramai. Di dinding, TV menayangkan ulang acara talkshow semalam. Beberapa pelanggan komentar nyaring.
“Wah, Glamora keren sih. Cantik, elegan, berani,” ujar seorang ibu sambil mengaduk kopi.
“Gue sih lebih suka The Painters. Dia beneran turun ke jalan. Nggak cuma tampil cantik di TV,” timpal seorang pria berjaket ojol.
“Tapi tetep aja, kalo bener kata Glamora, dia bikin rusuh kemarin. Liat tuh, Jalan Pahlawan ancur abis,” celetuk pelanggan lain.
Obrolan terus mengalir. Nama Glamora dan The Painters jadi bahan debat di mana-mana. Di medsos, meme dan polling berseliweran. #TeamGlamora bersaing dengan #PaintTheTruth.
Di satu sisi, Ajie tahu ini bukan medan perangnya. Tapi dia juga sadar, kalau dibiarkan, suara yang salah bisa jadi kebenaran di mata orang banyak.
Dan lebih dari itu—dia bisa melihat bagaimana publik sedang dihipnotis. Bukan pakai cahaya, tapi lewat kata-kata.
Bahkan tanpa armor, Glamora tetap berbahaya.
Ajie berjalan ke dalam garasi. Hari ini bukan tentang upgrade armor. Hari ini tentang strategi baru.
Dia menyalakan komputer, membuka data baru. Semua tentang sistem suara dan gelombang frekuensi. Dirinya pernah mengabaikan kekuatan suara Glamora. Sekarang, dia tidak akan ulangi kesalahan itu.
Ajie mengetik cepat. “Kalau cahaya adalah topengnya… maka suara adalah senjatanya.”
Dia butuh melumpuhkan dua hal: ilusi dan manipulasi emosi.
Dan dalam diam, sebuah ide mulai terbentuk di kepalanya.
Bersambung....