cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Obrolan Wanita
Di tengah perjalanan pulang, saat mereka melewati sederet pertokoan kecil yang mulai menyalakan lampu gantungnya, aroma manis tiba-tiba tercium dari salah satu sudut jalan. Tissa menghentikan langkahnya sejenak dan matanya bersinar cerah saat melihat papan nama toko kecil dengan jendela kaca berembun yang memamerkan aneka kue dan roti manis di dalamnya.
“Ah! Itu toko kue baru, ya?” seru Tissa sambil menunjuk. “Kak, beli kue di situ yuk! Buat makan malam—kan seru kalau ada dessert juga~”
Vio menoleh, lalu menatap etalase toko yang dimaksud. Toko itu kecil tapi tampak hangat, dengan kue tart mini dan puding dalam botol kecil berjajar rapi. Ia mengangguk pelan.
“Boleh. Sekalian buat Kak Hilda juga. Dia bilang mau pulang lebih awal hari ini… dan Mei juga bilang bakal datang.”
Mata Tissa langsung membulat senang. “Yay! Kak Mei bakal ke rumah? Wah, seru! Aku pilih yang cokelat ya, Kak!”
Vio hanya tersenyum kecil. “Jangan kebanyakan gula, nanti sakit perut lagi.”
“Hee~ sekali ini aja, janji!”
Mereka pun masuk ke dalam toko kecil itu, disambut oleh suara lonceng kecil di atas pintu. Bau mentega panggang dan cokelat hangat memenuhi udara. Tissa berlari kecil ke arah rak kue, memilih satu per satu dengan mata berbinar, sementara Vio berdiri di belakangnya, membiarkan adik kecilnya menikmati momen sederhana itu.
Setelah membeli beberapa kue dan minuman ringan, mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang. Senja mulai turun, dan langit perlahan berubah jingga, menambah kehangatan pada sore yang tenang itu.
Begitu Vio dan Tissa membuka pintu rumah, aroma masakan yang sudah jadi langsung menyambut mereka.
“Eh? Udah ada yang masak?” gumam Vio pelan, melepas sepatunya.
“Aku mencium bau yang enak!” seru Tissa, langsung melesat masuk ke ruang makan.
Dari balik dapur, terdengar suara tawa lembut.
“Kalian lambat banget,” sahut Hilda sambil muncul dari arah dapur, diikuti oleh seorang wanita muda dengan rambut bergelombang dan senyum cerah—Mei.
“Wah, kak Mei!” Tissa langsung berlari memeluknya.
Mei membalas pelukan itu dengan hangat. “Tissa makin manis aja, ya. Kamu tadi dari sekolah ya?”
Vio datang menyusul sambil membawa tas belanja kecil berisi kue. Ia mengangkatnya sedikit ke arah Hilda dan Mei.
“Aku beli ini di jalan, buat dessert setelah makan malam,” ujarnya singkat.
“Ooh, perhatian juga,” kata Mei sambil menerima kantong kue dari Vio. “Kamu masih suka manis-manis kayak dulu, Hilda?”
“Kalau gratisan, siapa yang nggak suka,” Hilda terkekeh.
Setelah semuanya duduk di meja makan dan mulai menyantap hidangan, suasana menjadi santai dan akrab. Obrolan ringan mengalir, sampai tiba-tiba Mei melirik ke arah Tissa yang duduk di samping Vio.
“Ngomong-ngomong,” ujarnya dengan mata menyipit sedikit penasaran, “aku baru sadar… Tissa, kamu sekarang manggil Vio ‘kakak’, ya?”
Tissa yang sedang memotong potongan ayam langsung terdiam sebentar. Ia melirik sekilas ke arah Vio, lalu menunduk sedikit sambil tersenyum kecil.
“Karena… ya… rasanya cocok aja. Mulai dari kemarin di sekolah, jadi kebawa terus deh…”
Mei tertawa kecil, menoleh pada Hilda. “Kamu nggak keberatan?”
Hilda mengangkat bahu ringan, menyendok sup ke mangkuknya. “Secara kelahiran, Vio memang dua bulan lebih tua dari Tissa. Dan sejak tinggal bareng, mereka udah kayak kakak-adik beneran. Aku rasa nggak ada yang salah.”
“Lagipula,” tambah Hilda dengan senyum geli, “Vio diam-diam juga kayaknya suka dipanggil ‘kakak’.”
Vio hanya menghela napas, pura-pura tidak peduli sambil menyeruput air putihnya. Tapi rona merah tipis di pipinya membuat Tissa menahan tawa.
Suasana makan malam pun kembali ramai, diiringi canda tawa kecil dan aroma masakan rumahan yang hangat.
Setelah piring-piring kosong terkumpul dan gelas-gelas mulai tinggal setengah isi, suasana di meja makan melunak menjadi percakapan ringan yang hangat. Kak Mei menyandarkan kepalanya ke tangan, matanya menatap Vio dengan penuh selidik.
“Jadi, Vio…” ia mulai dengan nada menggoda, “jadi kamu suka ya, dipanggil ‘kakak’ sama Tissa?”
Vio yang sedang menyeruput teh langsung terbatuk pelan. “Terserah dia aja sih. Bukan karena aku suka atau gimana.”
Mei mengangkat alis, tersenyum lebar. “Oh? Tapi pipimu tadi merah banget waktu dia manggil kamu, lho. Klasik banget reaksinya.”
Tissa yang duduk di sebelahnya langsung terkekeh, menyembunyikan tawanya dengan tangan. “Aku jadi malu sendiri…”
Hilda ikut tertawa. “Mei dari dulu paling jago nyari bahan ledekan. Tapi memang sih, sejak tinggal bareng, Vio keliatan lebih... tanggung jawab.”
“Ya, mungkin udah mulai dewasa,” gumam Mei sambil menatap Vio dengan senyum hangat.
Vio menghela napas. “Tolong jangan dijadikan topik bahasan.”
Tissa yang sudah lebih tenang lalu mulai bercerita sedikit tentang kegiatan sekolah hari ini. “Hari ini kelas lumayan tenang sih, tapi ada satu PR dari Bu Mizu yang susah banget. Untung tadi dibantuin Kak Vio.”
Mei menoleh cepat. “Wah, kamu jadi tutor juga sekarang, Vio? Keren juga.”
“Cuma bantu sedikit,” jawab Vio singkat.
Hilda menimpali, “Sedikit tapi nilainya tinggi, lumayan buat reputasi, tuh.”
Obrolan berlanjut ke hal-hal lain, seperti siapa guru yang paling menyebalkan minggu ini, bagaimana kabar teman-teman sekolah, dan cerita lucu dari kantin. Vio tidak banyak bicara, tapi sesekali ikut menyelutuk, terutama saat Tissa menyebutkan satu guru yang selalu salah ucap nama murid.
Setelah semuanya merasa cukup kenyang dan puas dengan obrolan malam itu, Hilda berdiri untuk mulai membereskan. Mei membantu sambil terus menggoda Vio yang hanya bisa pasrah dengan wajah datar.
Tissa tertawa senang—malam ini terasa seperti rumah yang sebenarnya. Hangat, penuh canda, dan… sedikit menggoda.
---
Setelah membantu membereskan meja, Vio memutuskan untuk kembali duluan ke kamarnya. Ia merasa cukup lelah, dan mungkin sedikit ingin menghindari godaan kak Mei yang makin menjadi-jadi.
“Kalau ada yang perlu, panggil aja ya,” katanya singkat sambil berjalan menuju kamarnya.
“Siap, Kak Vio~” jawab Mei dengan nada genit, membuat Tissa terkikik.
Beberapa saat setelah itu, Hilda menyusul masuk ke kamarnya sendiri, menyisakan Mei dan Tissa di ruang tengah, duduk santai di sofa dengan teh hangat di tangan.
Mei bersandar ke bantal sofa, melirik Tissa yang sedang sibuk membuka buku sketsa kecilnya. “Jadi, Tissa… ngomong-ngomong soal Vio. Kak Mei penasaran deh. Dia tuh… punya gadis yang dia suka nggak sih?”
Tissa berhenti menggambar sejenak, tersenyum simpul seperti menyimpan rahasia kecil. “Hmm… kayaknya sih belum ada yang benar-benar disuka. Tapi…”
Mei langsung duduk lebih tegak, tertarik. “Tapi apa?”
“Kalau menurutku ya,” lanjut Tissa sambil memainkan ujung pensilnya, “mungkin Kak Vio itu ada rasa sama seseorang. Cuma kayaknya dia sendiri belum sadar.”
Mei menaikkan alis. “Wah, siapa tuh?”
Tissa melirik ke arah koridor seolah memastikan Vio tidak menguping, lalu berbisik pelan, “Mungkin... Reina. Teman sekelasnya itu, lho. Yang suka diem-diem nungguin Vio keluar kelas, dan suka duduk bareng pas istirahat.”
Mei mengangguk-angguk, memasang ekspresi penuh analisis. “Hmm, Reina ya... aku pernah lihat sekilas. Kayaknya tipe pendiam, tapi manis. Pantas si Vio agak nempel.”
Tissa tersenyum, kali ini lebih lebar. “Mereka kayak nggak sadar aja gitu. Saling nyaman, tapi nggak nyadar kalau itu udah lebih dari sekadar teman.”
Mei menahan tawa. “Klasik. Paling nanti pas udah ada yang nyatain baru panik sendiri.”
Tissa ikut tertawa kecil. “Iya… lucu sih kalo dipikir-pikir. Tapi, aku harap kalau Kak Vio suka sama seseorang, orang itu bisa nerima dia sepenuhnya… termasuk semua hal yang disembunyiinnya.”
Mei menatap Tissa sejenak, lalu tersenyum hangat. “Kamu sayang banget ya sama Vio.”
Tissa hanya mengangguk pelan. “Dia... orang baik. Walaupun sering diem, tapi selalu ada saat dibutuhkan.”
Suasana sejenak hening, hanya ditemani suara kipas angin dan detik jam dinding.
Mei meneguk tehnya. “Kalau gitu, kita doain aja ya… semoga nanti mereka bisa saling sadar perasaan masing-masing.”
“Setuju,” bisik Tissa sambil kembali menggambar, kali ini wajah seseorang yang sedang memetik gitar.