NovelToon NovelToon
Debaran Hati

Debaran Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Acara Lamaran yang Berhasil

Suasana hangat dan penuh kebahagiaan menyelimuti kediaman Lukman dan Rena, orang tua Debby. Hari ini adalah momen penting: Agus dan kedua orang tuanya, Subakri dan Maira, datang untuk acara lamaran resmi dan perkenalan kedua keluarga. Debby mengenakan kebaya modern berwarna lembut, hatinya berdebar namun dipenuhi rasa syukur. Agus tampak gagah dalam balutan kemeja batik, senyumnya tak lepas dari wajahnya.

Ketika mobil Subakri memasuki halaman, keluarga Debby sudah siap menyambut di teras. Lukman dan Rena tersenyum ramah, mencoba menyembunyikan sedikit kegugupan. Mereka telah berdiskusi panjang lebar mengenai hubungan Debby dan Agus, dan meskipun awalnya terkejut dengan perbedaan usia, mereka akhirnya setuju untuk mendukung kebahagiaan putri mereka.

"Selamat siang, Pak Lukman, Bu Rena," sapa Subakri hangat, menjabat tangan Lukman. "Terima kasih sudah menerima kedatangan kami."

"Selamat siang, Pak Subakri, Bu Maira. Senang sekali kalian bisa hadir," balas Lukman.

Maira mendekat dan memeluk Debby dengan ramah. "Debby, kamu cantik sekali hari ini." Senyum tulus Maira membuat hati Debby terasa tenang. Tidak ada lagi raut terkejut atau keberatan seperti saat pertemuan pertama.

Setelah sesi sapa-menyapa dan perkenalan singkat, kedua keluarga duduk di ruang tamu yang telah dihias cantik. Agus memulai pembicaraan dengan gugup namun penuh ketulusan.

"Ayah, Ibu, Om, Tante," Agus berucap, "Maksud kedatangan kami hari ini adalah untuk menyampaikan niat baik saya. Saya ingin melamar Debby, putri Om dan Tante, untuk menjadi istri saya."

Lukman dan Rena saling pandang, lalu tersenyum. Rena meraih tangan Debby, mengusapnya lembut. "Debby, bagaimana Nak?"

Debby menatap Agus, matanya berkaca-kaca. Ia mengangguk pelan. "Dengan Bismillah, saya menerima lamaran Agus."

Suasana ruangan langsung dipenuhi senyum dan ucapan selamat. Tepuk tangan riuh menyertai momen haru itu. Maira dan Subakri tampak lega dan bahagia melihat kebahagiaan putra mereka. Mereka kemudian menyerahkan seserahan yang telah disiapkan.

Pembicaraan berlanjut dengan membahas rencana pernikahan. Kedua keluarga sepakat untuk melangsungkan pernikahan secepatnya, mengingat usia Debby yang sudah matang. Tidak ada perdebatan, tidak ada kendala, semua berjalan dengan lancar. Subakri dan Maira, meskipun masih sedikit khawatir dengan perbedaan usia, kini melihat betapa tulusnya Agus mencintai Debby, dan betapa besarnya pengorbanan Agus untuk bisa bersama wanita yang dicintainya. Mereka memutuskan untuk sepenuhnya merestui.

Acara lamaran itu diakhiri dengan makan siang bersama yang penuh kehangatan. Semua anggota keluarga terlihat akrab, saling bercengkrama dan berbagi cerita. Bagi Debby dan Agus, hari itu adalah bukti bahwa cinta sejati bisa mengatasi segala perbedaan. Mereka berdua merasa sangat bersyukur dan bahagia karena akhirnya bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius dengan restu penuh dari kedua belah pihak keluarga. Ini adalah awal baru bagi mereka berdua, sebuah janji untuk membangun masa depan bersama.

****

Matahari mulai condong ke barat, namun drama di depan rumah kontrakan Naura tak kunjung usai. Fathia dan Haryati masih terlibat dalam baku hantam yang brutal dan berkepanjangan. Pakaian mereka sudah compang-camping, rambut acak-acakan, dan napas terengah-engah, namun amarah di hati keduanya seolah tak ada habisnya. Pukulan, tendangan, dan jambakan masih terus dilayangkan, menciptakan tontonan yang memuakkan bagi siapa pun yang menyaksikan.

"Kamu tidak akan pernah menang, Fathia! Aku tidak akan biarkan kamu menyakiti anakku lagi!" teriak Haryati, suaranya serak karena terus berteriak.

Fathia membalas dengan tawa sinis. "Nenek tua ini tidak kapok juga! Aku akan terus mengganggu hidup kalian sampai kalian benar-benar hancur!"

Naura, dengan wajah pucat dan lelah, sudah kehabisan akal. Ia sudah mencoba berkali-kali melerai ibunya, namun Haryati terlalu kalap. Air matanya terus mengalir melihat pemandangan itu, hatinya sakit dan malu.

Pak Harjo, pemilik kontrakan, juga sudah tampak sangat lelah. Ia memijat pelipisnya, pusing melihat dua wanita itu yang tak henti-hentinya berkelahi. Ia sudah mencoba menarik, membentak, bahkan mengancam, namun tak ada yang mempan.

"Ya ampun! Kalian ini tidak ada habisnya! Berhenti sekarang juga!" seru Pak Harjo, namun suaranya terdengar pasrah.

Di tengah kekacauan itu, Marcella masih histeris dalam gendongan Subeni. Balita itu menangis tanpa henti, memeluk erat kakeknya, matanya terpejam rapat. Tangisannya yang melengking menambah riuh suasana yang sudah semarak dengan suara teriakan dan sorakan warga.

"Ayah, Marcella tidak berhenti menangis!" kata Naura pada Subeni, yang juga tampak putus asa mencoba menenangkan cucunya.

Para warga yang menyaksikan, bukannya merasa kasihan, justru semakin antusias. Mereka terus bersorak-sorai, tertawa, dan merekam dengan ponsel. Bagi mereka, ini adalah hiburan gratis yang tak ada duanya.

"Terus, terus! Jangan berhenti!" teriak seorang warga, penuh semangat.

"Wah, ini kalau masuk berita pasti viral!" sahut yang lain, disusul tawa renyah.

Matahari perlahan mulai terbenam, mewarnai langit dengan jingga. Namun, Fathia dan Haryati masih terlibat dalam aksi baku hantam. Cahaya senja menyinari wajah-wajah lelah dan penuh amarah mereka. Tidak ada tanda-tanda pertikaian ini akan berakhir. Pertunjukan "gratis" yang disuguhkan oleh Fathia dan Haryati telah mencapai puncaknya, menciptakan kekacauan yang tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melukai hati Naura dan keluarganya secara mendalam. Mereka hanya bisa pasrah, menantikan kapan drama ini akan berakhir.

****

Kegaduhan di depan rumah kontrakan Naura akhirnya mencapai puncaknya. Teriakan Haryati dan Fathia yang saling menyerang, ditambah sorakan warga yang semakin ramai, menarik perhatian pihak berwajib. Tak lama kemudian, dua mobil polisi tiba di lokasi, memecah kerumunan yang semakin heboh.

"Minggir! Minggir! Ada apa ini?!" seru seorang petugas polisi, mencoba melerai kerumunan.

Melihat kehadiran polisi, Haryati dan Fathia sempat berhenti saling jambak. Wajah mereka babak belur, rambut acak-acakan, namun kilatan amarah masih terpancar jelas di mata mereka.

"Mereka berdua ini, Pak! Membuat onar sejak pagi!" lapor Pak Harjo dengan nada frustrasi.

Dengan cepat, polisi mengamankan Haryati dan Fathia. Mereka dibawa ke kantor polisi untuk dimediasi. Naura, Subeni, dan Marcella, serta Pak Harjo, juga diminta untuk ikut sebagai saksi.

Di kantor polisi, suasana mediasi dimulai dengan tegang. Seorang petugas polisi, seorang bapak paruh baya yang tampak sabar, mencoba menengahi.

"Ibu-ibu, kita di sini untuk mencari solusi. Mari kita selesaikan masalah ini baik-baik," ujar petugas itu. "Kenapa kalian terus-menerus berkelahi? Ini sudah meresahkan."

Haryati langsung menyahut. "Dia ini, Pak! Dia yang terus-menerus membuat onar! Dia membakar rumah anak saya! Dia yang menghasut!"

Fathia tak mau kalah. "Bohong, Pak! Dia ini yang tukang bikin keributan! Dia yang menyerang saya duluan!"

Petugas polisi menghela napas. "Baik, baik. Kita bisa selesaikan ini dengan kepala dingin. Kalian mau berdamai?"

"Tidak! Saya tidak akan pernah berdamai dengan perempuan iblis ini!" bentak Haryati, menatap Fathia dengan penuh kebencian.

"Saya juga tidak! Dia pantas dipenjara!" balas Fathia tak kalah sengit, matanya memancarkan dendam.

Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Haryati menerjang ke arah Fathia lagi. "Rasakan ini, dasar pembohong!" Ia berhasil menjambak rambut Fathia.

"Aduh! Lepaskan!" teriak Fathia, mencoba membalas jambakan Haryati.

Mediasi yang baru saja dimulai langsung kacau balau. Haryati dan Fathia kembali saling menjambak dan bergumul di dalam ruang mediasi, seolah lupa bahwa mereka berada di kantor polisi. Petugas yang berusaha melerai kewalahan.

Naura yang melihat pemandangan itu kembali menangis terisak. Ia merasa malu dan putus asa. Ibunya dan sepupunya tidak bisa berdamai, bahkan di hadapan polisi. Marcella dalam pelukan Subeni juga masih histeris, tangisnya yang melengking memenuhi ruangan. Subeni hanya bisa pasrah, mencoba menenangkan cucunya sambil melihat kekacauan yang terjadi di depan matanya.

Polisi akhirnya harus memisahkan mereka secara paksa lagi, dengan ancaman akan menahan keduanya jika tidak mau tenang. Mediasi jelas-jelas gagal total. Dendam yang membara di hati Haryati dan Fathia terlalu kuat untuk diredakan. Ini adalah bukti nyata bahwa perseteruan mereka telah mencapai titik yang sangat sulit untuk diselesaikan secara damai.

1
kalea rizuky
klo ortu agus gk bs nrima ywda
kalea rizuky
lanjut
Serena Muna: terima kasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!