Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemenangan yang berharga
Saat kegelapan mulai menghilang dan suasana perlahan tenang, Taki yang masih terbaring lemah, menggenggam tangan seakan berusaha untuk memusatkan seluruh tenaganya. Di matanya, rasa sakit dan keletihan yang dalam, tetapi ada juga harapan. Dengan tekad yang kuat, dia berbisik pelan, mengucapkan kata-kata yang hampir tak terdengar, namun cukup untuk membuat dunia di sekitarnya berguncang.
"Ningsih," suara Taki terdengar berat, namun penuh makna. Secara perlahan, dimensi ruang dan waktu yang ia buat mulai bergetar. Dalam sekejap, tubuh Ningsih yang terperangkap dalam dunia semu itu akhirnya terlepas. Dia terbangun dari cengkraman ilusi,, yang menjeratnya, napasnya terasa lega, dan mata yang semula kosong kini mulai berbinar.
Ningsih tampak terkejut, namun segera merasakan kehadiran seseorang yang sudah lama ia harapkan. Dengan cepat, ia berlari menuju Asvara yang berdiri tak jauh dari situ, tubuhnya terbungkus keletihan. Tanpa berkata apa-apa, Ningsih langsung memeluk Asvara dengan penuh rasa syukur. Asvara membalas pelukan itu, memberikan rasa aman di tengah kekacauan yang masih mengganas.
Pelukan itu seperti sebuah kelegaan dari ketakutan yang menghimpit. Taki yang masih berbaring, memandang mereka dengan senyum tipis. Raga, yang berada di dekatnya, juga ikut bergabung. Tidak lama kemudian, Sasmita juga mendekat dan turut memeluk Ningsih dengan hangat, memberikan rasa ketenangan yang telah lama hilang.
Namun, ada satu yang tetap berdiri terpisah—Al-Mujahid. Dia tetap tegak di tempatnya, dengan tatapan tenang dan penuh keteguhan. Tidak ada pelukan darinya, hanya sebuah senyum yang penuh makna.
"Janganlah pernah merasa sendirian," suara Al-Mujahid terdengar, penuh kekuatan, tapi dengan kelembutan yang luar biasa. Semua mata tertuju padanya. “Setiap perjuangan memiliki harga yang harus dibayar, dan kadang harga itu adalah kehilangan, ketakutan, atau bahkan rasa sakit. Namun, setiap pelukan, setiap dukungan, adalah tanda bahwa kita masih berjuang untuk sesuatu yang lebih besar. Kita semua saling menguatkan, meskipun kita tidak selalu tahu bagaimana jalan ini akan berakhir.”
Suasana menjadi hening, hanya suara angin yang berhembus ringan di antara mereka. Al-Mujahid menatap mereka semua satu per satu, menatap ke dalam mata mereka, seolah ingin memastikan bahwa mereka benar-benar memahami apa yang ia katakan.
“Kita adalah kekuatan yang tak terlihat. Tapi ingat, kekuatan sejati bukan hanya dari kekuatan fisik atau sihir. Kekuatan sejati ada dalam hati kita, dalam niat kita, dan dalam keberanian untuk melawan kegelapan, meskipun kita tak tahu apa yang ada di depan. Dunia ini penuh dengan cobaan, tetapi kita akan selalu menemukan jalan, karena kita tak pernah benar-benar sendirian.”
Asvara yang sebelumnya memeluk Ningsih, menarik napas panjang, dan menatap Al-Mujahid dengan rasa hormat yang dalam. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuat dirinya merasa lebih kuat, lebih siap untuk apa pun yang datang.
Taki, meskipun lemah, ikut mengangguk pelan. “Terima kasih, Al-Mujahid,” katanya, meskipun suara itu masih penuh dengan keletihan. “Kami tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi kami akan terus berjuang.”
“Perjalanan kita belum selesai,” jawab Al-Mujahid dengan penuh keyakinan. “Kita harus terus maju, karena dunia ini tidak hanya membutuhkan pahlawan, tetapi mereka yang berani berdiri dalam gelap, dengan harapan yang tidak pernah padam.”
Keempat anggota Mystic Guard berdiri bersama, mata mereka penuh tekad dan semangat yang baru. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan meskipun ada banyak bahaya yang mengintai, mereka tidak akan mundur.
Ningsih, yang akhirnya bebas dari ilusi, kini berdiri dengan penuh harapan. Dia menatap Al-Mujahid dan berkata dengan suara lembut namun penuh keyakinan, “Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya, tapi terima kasih... terima kasih sudah membebaskan kami.”
Al-Mujahid menatapnya dengan mata yang penuh empati, dan berkata dengan lembut, “Setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda. Tetapi ingatlah, kita semua berada di sini untuk alasan yang lebih besar. Jangan pernah ragu untuk bertanya pada dirimu sendiri apa yang kau perjuangkan, dan siapa yang kau lindungi. Itu akan selalu menjadi kompasmu.”
Dengan pelukan dan kata-kata itu, Mystic Guard siap menghadapi apapun yang datang. Mereka tak lagi merasa terpisah, karena mereka tahu bahwa dalam kegelapan sekalipun, mereka akan selalu menemukan satu sama lain, dan harapan tidak akan pernah padam.
Al-Mujahid memandang mereka satu terakhir kali, kemudian melangkah mundur sedikit. “Jaga dunia ini dengan baik. Jangan biarkan kegelapan menyelimutinya. Dan ingat, kalian tidak pernah sendiri.”
Dengan kata-kata itu, Al-Mujahid menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Mystic Guard dengan tekad yang lebih kuat daripada sebelumnya. Dunia ini masih penuh dengan ancaman, tetapi mereka tahu bahwa apapun yang datang, mereka akan menghadapi semuanya bersama.