Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liang Feng Belajar Mengendalikan Tianlong Mark Lebih Baik di Reruntuhan
Kini terlihat siluet Reruntuhan Batu Naga di depan rombongan. Sisa-sisa reruntuhan dari pilar batu dengan pahatan naga setengah terlukis, kepala-kepala batu yang retak dan pagar bebatuan runtuh terlihat telah diselimuti oleh lumut perak. Di antara puing-puing, jejak kaki lembut Bai Xue terpantul redup tengah memandu rombongan ke pintu gerbang batu.
Di hadapan mereka, nisan batu merah tua yang retak seakan menggeliat oleh waktu. Patung naga yang kepalanya menunduk dengan mulut menganga yang menandai mulut gerbang kuno. Sekali lagi, mereka menghadapi pintu magis tentang Reruntuhan Batu Naga, gerbang kedua dalam perjalanan menuju Puncak Perak.
“Di sinilah kita harus menyesuaikan Tianlong Mark.” ujar Liang Feng pelan, matanya mengerling pada pahatan naga. “Ramalan Nenek Li menyebut bahwa ‘Naga batu hendak ditundukkan oleh naga di dada manusia’. Aku harus menguasai energiku lebih baik agar tak terperangkap energi kuno yang ada didalam reruntuhan.”
Bai Xue terbang mendekat, ekor peraknya menyebar kilauan hangat. Desisannya menenangkan hati Feng “Ambil ritme napasmu, serap getar naga batu dan satukan aliran.”
Di samping, Wei Xin menegakkan pedang sucinya dengan wajahnya yang tampak tegang. “Feng-san, aku siap membantu jika kau terjebak jebakan roh.”
Lin Hua menuliskan di buku catatannya: “Reruntuhan Batu Naga tentang ujian pengendalian Tianlong Mark, butuh penguasaan aura dan keharmonisan energi roh.”
Langkah pertama terasa berat, permukaan batu basah licin oleh lumut. Liang Feng menaruh tangan pada pedangnya, merapalkan mantra singkat untuk memanaskan energi naga. “Tianlong Mark… bangkitkan kehangatan!” Kilatan hijau-perak menerobos retakan kaki-kakinya, menambah gesekan di tapak sepatunya.
Bai Xue mendarat di sampingnya, aura peraknya menyelimuti lutut batu. “Fokus…” Ia menyalurkan gelombang perak yang mengitari pilar batu, menuntun arah aura Naga dalam dadanya.
Rombongan menunggu di ambang gerbang. Dua pertapa senior menahan tiupan kabut lembah. “Bersiaplah, jangan keluar dari harmoni kalian.” perintah Pertapa Wu.
Liang Feng memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Aura Tianlong Mark di dadanya berdenyut pelan, laksana jantung ular naga terpendam. Ia menenangkan pikirannya, memejamkan gerakan roh liar yang berkerumun di reruntuhan.
Saat ia membuka mata, kabut hijau pekat menyelubungi mulut gerbang. Bayangan kabut berputar, menciptakan tirai hidup. Sebuah bisikan kuno bergema: “Siapa berani menuntun naga batu…”
Liang Feng mengangkat pedang, simbol naga tertambat di udara. “Tianlong Mark… lenturkan kabut!” Pekikan mantra memecah kabut, kilatan hijau-perak menusuk tirai hingga serpihan asap batu berguguran. Bajunya pun tertutup serpihan lumut halus.
Ritme napasnya terasa berat dengan Tianlong Mark memuntahkan energi tak terkendali yang perlahan ia retas: “Tianlong… terbimbing… kendali!” Ia mengatur denyut di dadanya, menahan gelombang naga dalam setiap kata di pikirannya. Kilatan hijau mereda menjadi tarikan lembut dengan jalur batu kuno terbuka.
Bai Xue mengepak lembut, cahaya peraknya menuruni langkahnya. “Bagus…” desisnya, memberi semangat.
Di dalam, pilar pertama menampakkan kepala naga yang tengah terkulai, dengan adanya rumah pertama jebakan roh yang menunggu. Sulur akar menjulur, siap memeluk siapa saja yang tersentuh olehnya. Liang Feng melangkah maju, pedangnya diayun dengan ringan. Dengan gestur, ia merapalkan.
“Tianlong Mark, satukan kekuatan darat, potong akar bayangan!”
Kilatan hijau-perak memancar ke tempat akar itu menancap, membakar lumut hitam. Sulur akar terbelah dengan daun-daun busuk berguguran. Liang Feng menyusul dengan sapuan kedua, membersihkan jalur menuju patung naga berikutnya.
Para relawan berdesah lega, namun Liang Feng tahu, ini baru ujian kecil, karena akan ada bagian persiapan untuk ujian selanjutnya.
Ketika ia melangkah perlahan ke pilar kedua, ia merasakan Tianlong Mark berdenyut tak menentu terasa adanya getaran kuno yang menantang kesabarannya. Sebuah kilatan cahaya hitam melintas, terlihat bayangan roh penunggu berupa naga kecil dengan tubuhnya yang bersisik hitam-hijau.
Liang Feng menahan pedangnya, lalu memusatkan energi. “Biarkan aku menyatu denganmu… satukan aliran…” Ia menutup mata, membayangkan Tianlong Mark menyebar seperti air dan meresap ke setiap bagian tubuhnya hingga sampai jari kakinya. Tarikan napas di dada seperti mengayun perahu di laut tenang. Begitu ia membuka mata, sinar hijau lembut menenangkan bayangan roh, yang lalu lenyap tanpa perlawanan.
Pertapa Zhao menepuk punggungnya. “Kau mengalirkan energimu dengan baik, Feng. Tidak lagi memaksanya, tapi menyatukannya.”
Liang Feng mengangguk, air matanya setengah menetes, terdapat kebanggaan sekaligus kelegaan.
Lorong selanjutnya dipenuhi pahatan naga melingkar, ekor dan tubuhnya bersilangan. Tanahnya retak, terpahat mantra pelindung kuno. Lin Hua memperhatikan peta. “Lorong ini… momentum kita butuh penyesuaian aura yang lembut. Jika terlalu kasar, mantra akan segera terpecah.”
Liang Feng menurunkan nada Tianlong Mark dan memperhalus alunan energinya hingga lembut menepuk setiap pahatan. Ia berjalan seperti menapaki musik, satu langkah seirama dengan napasnya, satu gandakan detak jantung. Bentuk aura merambat perlahan di dinding, menyatukan mantra kuno dan Tianlong Mark.
Di ujung lorong, cahaya perak Bai Xue menuntun mereka keluar ke pintu batu kedua yang terbuka. Para relawan terpana. “Bagaimana kau melakukannya?” tanya Wei Xin dengan takjub.
Liang Feng tersenyum tipis. “Aku belajar menyatukan bersama dengan naga batinku, bukan dengan melawan.”
Reruntuhan Batu Naga berakhir di lapangan kecil yang menjadi pusat altar dengan mangkuk batu di tengah. Air jernih menetes dari pahatan naga kecil, menciptakan kolam dangkal. Katanya, roh naga batu dulu mencuci diri di sini. Kini, air itu masih menyimpan jejak energi suci.
“Di sini, kita mengikat sumpah.” ujar Nenek Li tiba-tiba muncul, senyumnya lembut. Ia membawa kendi kecil berisi air embun purnama. “Encerkan air ini di mangkuk, setiap orang harus menuangkannya dan simbol peneguhan tekad akan tercapai, kalian harus melakukannya sebelum kalian melanjutkan.”
Para relawan berbaris, satu per satu meneguk air suci. Wei Xin dan Lin Hua tampak melakukannya dengan tenang. Bai Xue bersandar di pinggir, sambil mengepakkan ekor dan m memantulkan kilau embun.
Liang Feng mengambil kendi, menuangkan setetes ke mangkuk. “Tianlong Mark… bersatu dengan roh batu kuno.” gumamnya sambil meneguk. Rasa dingin lembut menyusup ke setiap pori-porinya dengan menenangkan dan membangkitkan keberaniannya.
Sebelum keluar, Nenek Li berdiri di tengah lapangan. “Ada satu ujian terakhir yaitu Bayangan Batu Naga.” Dari tepian reruntuhan, bayangan roh melayang dengan wujud naga hitam, tubuhnya membalur dengan kabut dan mata kuning tersipit.
Liang Feng menatap patung naga batu, lalu berlutut. “Reruntuhan ini sudah kita hormati, roh-rohnya kita tenangkan. Bayangan, silakan jika kalian ingin datang.”
Bayangan mendekat dengan suara gemuruh dalam diam bergema. Liang Feng menegakkan pedangnya, lalu Tianlong Mark berdenyut cepat. Ia mengangkat tangannya dengan membentuk simbol naga di udara:
“Tianlong Mark, hancurkan bayangan,
Wujudkan terang abadi.”
Kilatan hijau-perak menyambar tubuh naga kabut, memecahnya menjadi serpihan cahaya. Sisa bayangan terkikis, lalu lenyap dalam gemuruh magis.
Bai Xue menutup mata sejenak: “Semua bersih.” Aura peraknya menciptakan pusaran halus dan memurnikan sisa jejak kegelapan.
Ketika bayangan terakhir pudar, pintu batu ketiga terbuka yang merupakan jalur turun menuju Lembah Kabut selanjutnya. Para relawan berdiri tegak, napas mereka teratur namun antusias. Wei Xin mengangguk ke Liang Feng. “Kau hebat, Feng-san. Bagaimana caramu melakukan nya…?”
Liang Feng tersenyum sambil membalut pedangnya dengan kain sutra suci. “Kita semua belajar hari ini tentang aliran cahaya, penghormatan pada roh kuno dan kekuatan persatuan.” Ia menoleh pada Bai Xue, yang menyalurkan aura peraknya ke reruntuhan. “Naga batu… sekarang, kau terjaga dalam diriku.”
Lin Hua menutup buku catatan. “Aku sudah mencatat semuanya, ini akan jadi bab lengkap di kisah Desa Bayangan.”
Nenek Li menepuk buku catatannya. “Bagus! Ingatlah pelajaran ini, karena setiap gerbang tua punya jiwanya tersendiri. Jika niat kalian suci, mereka akan menjadi teman. Kalau tidak… mereka bisa memakan kalian.”
Gemuruh gemericik air dari lembah terdengar di kejauhan, memanggil mereka. Rombongan menatap pintu batu dengan terbuka, lalu menapaki jalan baru, siap untuk menembus kabut lembah dan menghadapi tantangan sesungguhnya menuju Puncak Perak.