NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Dengan Mantan

Cinta Terlarang Dengan Mantan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Angst / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:900
Nilai: 5
Nama Author: Vitra

Deva dan Selly telah membangun kisah cinta selama lima tahun, penuh harapan dan janji masa depan. Namun semua berubah saat Deva menghadapi kenyataan pahit: ibunya menjodohkannya dengan Nindy, putri dari sahabat ibunya.

Demi membahagiakan keluarganya dan demi mempertahankan hubungannya secara diam-diam Deva menjalani dua kehidupan: bersama Nindy, dan kekasih Selly di balik bayang-bayang malam.

Tapi seberapa lama rahasia bisa bertahan?
Ketika cinta, pengkhianatan, dan rasa bersalah bertabrakan, Deva harus memilih: menghancurkan satu hati... atau kehilangan segalanya.

Di dunia di mana cinta tak selalu datang pada waktu yang tepat, siapakah yang akhirnya akan Deva genggam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa yang Tak Selesai

Acara lamaran Deva dan Nindy sudah di depan mata.

Minggu depan, momen itu akan terlaksana—hari di mana mereka berdua akan resmi mengikat hubungan sebagai calon suami istri. Hari ini, Deva sedang berada di rumah Nindy untuk membahas berbagai persiapan lamaran tersebut.

Namun, pikirannya justru melayang ke tempat lain.

Postingan Selly kemarin masih menghantui benaknya. Gambar seikat mawar merah di unggahan Selly membuat Deva terus bertanya-tanya: Siapa yang memberinya bunga itu? Meski raganya duduk di ruang tamu rumah Nindy, hati dan pikirannya melayang entah ke mana.

“Hei, Deva,” tegur Bu Lastri, membuyarkan lamunannya.

“Hm?” Deva sedikit mengangkat alis, tersentak sadar.

Semua yang berada di ruangan itu menoleh ke arahnya. Termasuk Nindy. Mereka memandang Deva dengan tatapan heran.

Bu Narmi menyela sambil tersenyum, “Dev, acara lamaran minggu depan jangan terlalu dipikir berat-berat, ya.”

Pak Danu menimpali, “Iya, dari tadi Bapak lihat kamu seperti banyak melamun.”

Deva mengangguk kecil dan tersenyum canggung. “Iya, Pak, Bu. Maaf, saya cuma sedikit tegang menghadapi acara lamaran minggu depan. Hehe.”

Entah sudah berapa kali Deva harus berbohong. Bukan hanya kepada Bu Lastri, ibunya sendiri, tapi juga kepada calon mertuanya—Pak Danu dan Bu Narmi. Perasaannya jadi tidak enak. Ia berusaha mengalihkan pikiran dan kembali fokus ke pembicaraan, meskipun bayangan mawar merah itu terus saja membayangi benaknya.

Setelah selesai membahas persiapan acara, mereka pun melanjutkan dengan makan malam bersama. Beberapa hidangan hangat tersaji di meja, hasil masakan Bu Narmi.

“Ini Bu Narmi masak semua?” tanya Bu Lastri sambil mengambil lauk.

“Nggak, Bu. Saya dibantu Nindy. Kan dia juga jago masak,” jawab Bu Narmi, tersenyum bangga.

“Bunda... apaan, sih~,” timpal Nindy, mencubit manja lengan ibunya.

“Tuh, Dev. Calon istrimu jago masak. Besok kalau udah nikah, bisa-bisa berat badanmu naik,” seloroh Bu Lastri.

“Hahaha...” tawa memenuhi ruangan.

Nindy tersenyum bahagia. Tapi, di tengah tawa itu, ia menyadari senyum Deva hanya tipis dan tanpa gairah. Tatapan matanya kosong, tak mengarah pada siapa pun. Ia hanya fokus ke piring di depannya.

Nindy berusaha berpikir positif. Mungkin memang benar Deva sedang tegang. Tak sedikit pun terlintas di benaknya untuk menaruh curiga. Selama ini, Deva selalu bersikap manis dan penuh perhatian padanya. Tak ada alasan untuk meragukan pria itu.

Setelah makan malam, Bu Lastri dan Deva berpamitan. Nindy dan orang tuanya mengantar mereka hingga mobil melaju meninggalkan halaman rumah.

Sesampainya di dalam, Pak Danu mulai membuka pembicaraan.

“Deva tadi kelihatan nggak fokus, ya? Mungkin karena gugup,” katanya, menatap ke arah istrinya.

Bu Narmi mengangguk pelan. “Iya, mungkin. Dulu kamu juga gitu, kan, waktu mau lamar aku?”

Pak Danu tertawa. “Hahaha, iya. Dulu aku juga deg-degan. Waktu itu yang ada di pikiranku cuma satu: aku takut nggak bisa bahagiain Narmi.”

Nindy tersenyum hangat mendengar cerita kedua orang tuanya. Ia pun mulai berpikir, mungkin Deva pun sama seperti ayahnya. Cemas karena ingin memberikan yang terbaik.

Namun, ia tidak tahu bahwa kenyataannya jauh berbeda dari bayangan indah yang ia simpan di hati.

Nindy melangkah masuk ke kamarnya. Ia berjalan pelan ke arah meja rias, di mana sebuah tabung kaca berdiri anggun, memajang setangkai bunga mawar yang telah diawetkan tetap mekar, tetap cantik, meski waktu terus berlalu.

Tatapannya jatuh pada bunga itu.

Ia duduk perlahan, lalu mengangkat tabung itu ke pangkuannya. Jemarinya menyentuh kaca bening itu, seolah ingin merasakan keabadian yang dijanjikannya.

"Semoga... perasaanku kepada Deva bisa tetap abadi, seperti bunga ini," bisiknya lirih.

Senyum tipis terbit di wajahnya, dibalut harapan dan cinta yang tulus. Ia percaya, sekeras apapun dunia mencoba menggoyahkan, cintanya akan tetap utuh indah dan tak tergantikan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malam itu, Kevin berdiri di depan pintu apartemen Selly.

Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dipenuhi kegelisahan dan rasa penasaran. Ia belum bisa berhenti memikirkan unggahan Selly kemarin—hanya sebuah foto, tapi dampaknya begitu menghantam pikirannya.

Pintu terbuka sedikit. Selly muncul di balik celah itu dengan wajah muram.

“Boleh aku masuk?” tanya Kevin, suaranya pelan namun terdengar mendesak.

Selly tak langsung menjawab. Ia menatap Kevin dalam diam, ekspresi sendu menghiasi wajahnya. Bola matanya tampak memerah, lalu ia menunduk. Setetes air mata jatuh ke pipinya.

Melihat itu, Kevin refleks mendorong pintu hingga terbuka lebar. Ia melangkah masuk dan langsung memeluk Selly erat.

“Aku datang untuk tanya langsung. Apa maksud unggahanmu kemarin?” bisiknya. “Dan kenapa kamu menangis?”

Di dada Kevin, Selly terisak pelan. Tapi di balik air mata itu, senyum licik mengendap di sudut bibirnya.

Ia tahu benar kelemahan Kevin: hati yang lembut dan perasaan yang masih menggantung.

Unggahan itu memang disengaja. Balasan dingin kemarin juga bagian dari permainannya. Malam ini, ia hanya perlu memerankan sosok wanita rapuh dan sisanya akan berjalan sesuai rencana.

"Aku… hanya ingin kamu tahu," ucap Selly dengan suara bergetar, “aku belum benar-benar bisa melupakan semuanya…”

Sekejap, rasa penasaran dan amarah Kevin luruh. Ia menatap wajah Selly yang masih tersisa isak.

Saat perempuan itu menangis dalam pelukannya, semua logika seperti berhenti bekerja. Ia luluh.

Kevin sudah masuk terlalu jauh ke dalam permainan Selly.

Setelah Selly sedikit tenang, Kevin kembali membuka suara.

“Sayang, jangan lakukan itu lagi... Aku nggak akan pernah berpaling darimu. Kamu tahu itu,” ucapnya lirih.

Itulah kalimat yang ditunggu-tunggu Selly.

“Iya… aku minta maaf,” balasnya sambil menunduk, seolah merasa sangat bersalah.

Padahal, isi hatinya berkata lain. Rasa takut kehilangan Kevin memang nyata, tapi bukan Selly namanya jika tak pandai bersiasat. Ia lihai memainkan perasaan dua lelaki sekaligus dan dirinya sendiri pun kadang terjebak di dalamnya.

Luka lama yang belum sembuh terus ia rawat dengan cara yang salah.

Setiap langkah manipulatif yang ia ambil hanya memperdalam luka itu.

Bukan hanya luka masa lalu, tapi juga luka yang sedang ia ciptakan untuk masa depan.

Kevin menggenggam kedua tangan Selly, menatapnya dalam-dalam.

“Sel, kamu tahu? Bahkan di rumah, saat aku melihat Martha... aku justru makin mengingatmu. Karena yang sebenarnya aku inginkan... ya kamu. Bukan Martha.”

Ucapan itu keluar dengan tulus. Tapi tidak seluruhnya benar.

Dalam benaknya, kilasan malam kemarin muncul begitu saja—saat Martha mendekat dan melepaskan dasinya. Kevin buru-buru mengalihkan pikirannya, merasa bersalah.

Dengan sisa isaknya, Selly menatap Kevin.

“Kamu yakin… nggak akan pernah berpaling dariku?”

Pertanyaan itu mengguncang Kevin.

Sebagian dirinya ingin menjawab yakin. Tapi sebagian lainnya… mulai meragukan dirinya sendiri.

Kevin mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Bahwa mungkin, perasaan yang ia alami sekarang hanyalah efek kelelahan, tekanan, atau kebingungan sesaat. Ia ingin percaya, bahwa semua ini hanya sementara… bahwa hatinya tetap untuk Selly.

“Iya… aku nggak akan berpaling darimu,” ucapnya pelan.

Tapi kalimat itu keluar setengah hati.

Perubahan perasaannya terasa begitu cepat dan tak terduga.

Bagaimana bisa, niat awalnya menyebut nama Martha justru kini berbalik menjadi bumerang bagi dirinya sendiri? Ia ingin menenangkan Selly, meyakinkan bahwa tak ada perempuan lain selain dia. Tapi nyatanya, justru saat nama Martha terucap, hatinya berguncang.

Kini, bukan Selly yang ia pertanyakan. Tapi dirinya sendiri.

Benarkah ia tidak akan berpaling? Atau justru... hatinya memang sedang melangkah pelan-pelan menjauh, tanpa ia sadari?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!