Menikah?
Setelah mengajaknya berpacaran secara tiba-tiba, kini Tama mengajak Embun menikah.
"Pak Tama ngomong apa sih? nggak usah aneh-aneh deh Pak," ujar Embun.
"Aku serius, Embun. Ayo kita menikah!"
Sebenarnya tidak seharusnya Embun heran dengan ajakan menikah yang Tama layangkan. Terlepas dari status Dosen dan Mahasiswi yang ada diantara mereka, tapi tetap saja saat ini mereka berpacaran. Jadi, apa yang salah dengan menikah?
Apakah Embun akan menerima ajakan menikah Tama? entahlah, karena sejujurnya saat ini Embun belum siap untuk menikah.
Ditambah ada mantan kekasih Tama yang belum move on.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengutarakan Sekali Lagi
"Embun, tolong bawakan kertas ujian kalian ke ruangan saya," ujar Tama dengan suara datar namun tegas seperti biasanya ketika berada di depan kelas.
Untuk sesaat, Embun terdiam. Matanya menatap tumpukan kertas ujian di meja dosen dengan bingung, sementara pikirannya berusaha menebak alasan di balik permintaan itu. Kenapa harus dia yang disuruh?
Namun sebelum sempat bertanya, suara Tama kembali terdengar—sedikit lebih berat, tapi tetap terkendali.
"Kamu dengar saya, Embun?" tanyanya, kali ini disertai tatapan yang sekilas bertemu dengan mata Embun.
Jantung Embun berdegup sedikit lebih cepat. Ia segera mengangguk kecil, berusaha menutupi kegugupannya.
"Iya, Pak," jawabnya pelan, hampir nyaris seperti bisikan.
Tama tidak menambahkan apa pun. Ia hanya menatap sekilas ke arah kelas, lalu berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah mantap. Suasana kelas sempat hening selama beberapa detik sebelum akhirnya riuh kembali dengan bisik-bisik dan suara kursi bergeser.
Embun menatap punggung Tama yang menghilang di balik pintu, lalu menoleh ke arah Amara yang duduk di sebelahnya. Tatapan mereka bertemu, dan seperti yang diduga Embun, Amara sudah lebih dulu menyunggingkan senyum penuh arti di wajahnya.
"Aku tunggu kamu di kantin ya," ucap Amara santai, tapi matanya berkilat geli.
Embun tahu betul arti senyum itu. Ia bisa membaca pikiran sahabatnya tanpa perlu penjelasan panjang. Amara memang terlalu paham hubungan antara dirinya dan Tama.
Sedikit banyak, Amara juga tahu bahwa perintah tadi bukan sekadar tugas kecil membawa kertas ujian—ada maksud lain di baliknya.
‘Kayaknya Abang-nya mau curi waktu buat berduaan sama Embun,’ pikir Amara dalam hati, hampir menahan tawa.
Embun menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya yang tiba-tiba saja gugup.
"Ya udah, aku ke ruangan Pak Tama dulu, Ra," ujarnya lirih.
"Mau aku pesanin makanan sekalian nggak? Kamu mau apa?" tanya Amara, yang kini mulai membereskan barang-barangnya.
"Siomay seporsi sama es kelapa muda aja, Ra," jawab Embun cepat, sambil menumpuk kertas ujian yang akan dia bawa.
Amara mengangguk paham. "Oke, nanti aku pesenin."
Embun tersenyum kecil sebagai ucapan terima kasih, lalu berdiri dari kursinya. Ia merapikan ujung blouse-nya, memastikan semuanya tampak rapi sebelum keluar. Langkahnya menuju ruang dosen terasa sedikit lebih pelan dari biasanya—antara gugup dan ingin terlihat tenang.
Di sisi lain, Amara hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Ia tahu betul bagaimana Embun selalu berusaha menjaga sikap ketika berurusan dengan Tama di lingkungan kampus. Tidak ada yang boleh mencurigai hubungan mereka, meskipun sesekali ada situasi seperti ini yang membuatnya tampak jelas bagi orang yang jeli.
Sementara Embun melangkah menuju ruang dosen, suara obrolan mahasiswa di sepanjang koridor terdengar samar. Udara siang itu cukup hangat, dan Embun bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali mendekati pintu ruangan Tama.
Untungnya, sejauh ini tidak ada yang menaruh curiga kenapa hanya dia yang diminta membawa kertas ujian itu. Semua menganggapnya hal biasa. Dan untuk itu, Embun merasa sangat bersyukur.
Setidaknya, rahasia kecil antara dirinya dan Tama masih aman.
Tama sudah duduk di kursi ruangannya. Kedua sikunya bertumpu di meja, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk pelan permukaan kayu itu tanpa sadar. Senyum tipis tampak menghiasi wajahnya—sebuah senyum yang jarang muncul kecuali ketika pikirannya sedang tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya… satu orang.
Embun.
Bayangan gadis itu kembali menari di kepalanya. Cara Embun menunduk dengan ekspresi gugup saat dipanggilnya di kelas tadi, atau nada lembut dalam suaranya ketika menjawab, “Iya, Pak.” Semua itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya terasa hangat.
Benar seperti yang ditebak Amara, adiknya, Tama memang punya maksud tersembunyi di balik perintah kecil tadi. Ia sengaja meminta Embun untuk membawakan kertas ujian ke ruangannya. Bukan karena ia malas melakukannya sendiri, melainkan karena ia hanya ingin punya sedikit waktu berdua sebelum harus bergegas ke kantor.
Rutinitasnya selalu padat. Setelah mengajar, ia hampir tak punya waktu lagi untuk hal lain selain pekerjaan kantor. Jadi, walau hanya sebentar, kesempatan bertemu Embun secara pribadi di tengah kesibukannya seperti ini terasa berharga.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Seketika senyumnya kembali muncul, kali ini lebih lembut.
"Masuk," jawabnya dengan nada tenang namun jelas terdengar antusias di ujung suaranya.
Pintu perlahan terbuka, dan di sanalah Embun berdiri. Rambutnya yang diikat rapi tampak sedikit berantakan karena angin luar. Di tangannya ada tumpukan kertas ujian yang dia bawa dengan hati-hati.
"Ini mau ditaruh di mana, Pak?" tanya Embun pelan, suaranya terdengar sopan tapi ada nada gugup di dalamnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk bersikap profesional, sadar betul bahwa mereka masih berada di area kampus dan siapa pun bisa saja lewat kapan pun.
"Di sini saja," jawab Tama seraya menunjuk ke bagian kosong di atas mejanya.
Embun mengangguk kecil, lalu berjalan maju dengan langkah hati-hati. Aroma lembut parfum yang ia gunakan sempat tercium oleh Tama—aroma khas yang entah kenapa selalu bisa menenangkan pikirannya.
Begitu Embun meletakkan tumpukan kertas itu di meja, ia hendak segera berpamitan untuk keluar. Namun baru saja ia berbalik, sebuah tarikan lembut dari belakang membuatnya kehilangan keseimbangan.
“Awww…” Embun terpekik kecil, kaget bukan main ketika mendapati dirinya kini terduduk di pangkuan Tama.
Tama hanya terkekeh pelan, matanya menatap wajah Embun yang merah padam karena terkejut dan malu.
“Abang… jangan gitu, kita lagi di kampus,” bisik Embun seraya berusaha bangkit, matanya menatap ke arah pintu yang masih sedikit terbuka.
Namun Tama tentu tidak semudah itu melepaskannya. Dengan cepat, ia melingkarkan lengannya di pinggang Embun, menahan tubuh gadis itu agar tetap dalam pelukannya.
“Aku kangen sama kamu,” ucapnya dengan suara rendah yang terdengar tulus.
Embun menunduk, jantungnya berdebar tak karuan. Kata-kata itu selalu berhasil melemahkan pertahanannya, meski ia tahu situasinya tidak seharusnya seperti ini.
“Tapi… semalam kita baru ketemu, Bang,” ujarnya pelan, hampir tak terdengar.
Tama tersenyum, lalu menundukkan wajahnya hingga jarak di antara mereka hanya tinggal sejengkal.
“Semalam aja rasanya udah lama banget,” bisiknya, matanya tak lepas dari wajah Embun.
“Bang…” Embun kembali memanggil lirih, namun kali ini nada suaranya lebih lembut, seperti pasrah dengan situasi.
Pelukan Tama mengerat, seolah ia takut Embun akan menghilang kalau dilepaskan.
“Ayo kita menikah aja, Mbun,” ucap Tama akhirnya, nada suaranya berubah serius. “Aku janji, meskipun kita menikah kamu masih bisa kuliah, bahkan kerja. Aku cuma pengen kita resmi, biar aku bisa jagain kamu tanpa sembunyi-sembunyi.”
Embun terdiam. Hatinya bergetar mendengar ucapan itu, bukan pertama kalinya memang, tapi kali ini terasa lebih dalam. Tama sudah beberapa kali menyampaikan niat yang sama, dan setiap kali, Embun selalu dibuat bimbang.
Di satu sisi, ia tahu Tama benar-benar tulus. Tapi di sisi lain, ia juga sadar kalau keputusan itu bukan hal kecil.
Tama menatap wajahnya lama-lama, seolah menunggu jawaban.
Namun Embun hanya menunduk, menghindari tatapan matanya yang begitu hangat sekaligus menekan.
Hening sejenak memenuhi ruangan kecil itu—hening yang hanya diisi oleh suara napas mereka yang saling berdekatan.
Tama mengusap lembut punggung Embun, lalu berbisik pelan, “Aku cuma nggak mau terus kayak gini. Aku pengen kita punya waktu tanpa harus sembunyi.”
Embun tidak menjawab, tapi jari-jarinya perlahan menggenggam lengan Tama. Sebuah isyarat kecil, yang meski tak berupa kata, cukup bagi Tama untuk memahami bahwa gadis itu pun sebenarnya merasakan hal yang sama.