Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan Tanpa Jejak
Erlang tiba di rumah ibunya ketika langit masih gelap, tapi halaman sudah penuh cahaya lampu. Mobil patroli berhenti di luar gerbang. Dua petugas berdiri di dekat pintu, berbicara dengan suara rendah. Pintu depan terbuka, dan dari dalam rumah, sunyi yang tidak wajar merambat keluar—sunyi yang menekan dada.
“Bun?” panggil Erlang begitu melangkah masuk.
Tidak ada jawaban.
Ia berjalan cepat ke lorong. Pintu kamar ibunya tertutup rapat. Erlang menyentuh gagangnya—terkunci. Jantungnya berdegup keras. “Bun, ini Erlang.”
Kunci berputar dari dalam. Pintu terbuka sedikit, menampakkan wajah ibunya yang pucat tapi tegak. Mata perempuan itu langsung mencari ke belakang Erlang, seolah berharap melihat satu sosok lain.
“Di mana Feni?” tanya Erlang lirih.
Pertanyaan itu jatuh seperti benda berat di lantai.
Erlang tidak menjawab. Ia melangkah masuk, memeriksa ruangan, memastikan ibunya baik-baik saja. “Apa yang terjadi?”
Bunda Erlang menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang. “Dia mengunciku di sini,” katanya pelan. “Dengan sadar. Dia keluar sendiri.”
Kata-kata itu mengiris.
Erlang menoleh ke lorong, ke tangga, ke ruang keluarga. Rumah yang semalam masih terasa hangat kini seperti bangunan kosong. Ia berjalan cepat, memeriksa setiap sudut. Tidak ada Feni. Tidak ada tas kecilnya. Tidak ada ponsel. Hanya jejak-jejak yang terlalu rapi untuk disebut kebetulan.
Andre datang beberapa menit kemudian. Tatapannya langsung berubah ketika melihat wajah Erlang.
“Tidak ada tanda perlawanan,” lapor Andre setelah memeriksa. “Pintu depan dibuka, bukan didobrak. Kamera—”
“Jangan bilang kamera,” potong Erlang.
Andre menghela napas. “Kamera mati selama tujuh menit.”
Tujuh menit. Waktu yang cukup untuk menghilang tanpa suara.
Erlang berdiri di tengah ruang keluarga, mencoba bernapas. Tangannya mengepal, lalu terbuka lagi. Ia memejamkan mata, mengingat detail-detail kecil yang mungkin terlewat. Jaket Feni. Saku kanan. Boneka kecil. Dada Erlang terasa seperti diremas.
“Dia melindungiku,” ujar Bunda Erlang, suaranya bergetar. “Dia memilih keluar agar mereka tidak menyentuhku.”
Erlang menoleh. Ada rasa bersalah yang tak terucap di antara mereka.
“Ini salahku,” katanya pelan.
“Tidak,” jawab ibunya tegas. “Ini salah orang-orang yang datang dengan niat jahat.”
Andre melangkah mendekat. “Lang, kita kejar. Tapi kita harus tenang. Orang yang melakukan ini tahu rumah ini. Tahu ritme. Ini bukan amatir.”
Erlang mengangguk. Tenang bukan berarti pasrah. Ia tahu perbedaannya.
Pagi merambat masuk tanpa permisi. Matahari naik, kota hidup seperti biasa. Bagi Erlang, dunia terasa berjalan terlalu cepat, seolah mengejeknya.
Di ruang kerja, ia membuka laptop. Jejak digital pertama: ponsel Feni. Terakhir aktif di rumah. Setelah itu—mati. Tidak dilempar. Dimatikan dengan rapi.
“Dia tidak dibawa oleh orang sembarangan,” gumam Erlang.
Andre mengangguk. “Kita tarik semua data lama. Bali. Wisnubroto. Marko.”
Nama itu kembali menghantam.
“Wisnubroto sudah mati,” kata Andre pelan.
Erlang menoleh tajam. “Apa?”
“Ditembak. Sniper. Bersih.”
Erlang menutup mata. Rantai peristiwa itu menyambung di kepalanya dengan kejam. “Kalau Wisnubroto mati… orang-orangnya akan kacau. Dan seseorang akan mengamankan satu-satunya variabel yang tersisa.”
“Feni,” jawab Andre.
Di tempat lain, Feni menatap jendela mobil yang buram. Kota berganti wajah—jalan besar menjadi jalan sempit, gedung menjadi pepohonan. Ia memeluk diri sendiri, menahan dingin yang datang dari dalam, bukan dari udara.
Ia mencoba mengingat suara Erlang. Cara ia memanggil namanya dengan nada rendah. Cara ia memastikan pintu terkunci dua kali. Cara ia berkata, selama aku ada, aku jaga kamu.
Air mata jatuh tanpa suara.
Ia tidak tahu ke mana mereka membawanya. Tapi ia tahu satu hal: ia pergi tanpa pamit. Tanpa pesan. Tanpa jejak.
Kembali ke rumah, Erlang berdiri di kamar tamu tempat Feni sempat tidur. Ranjang rapi. Lampu meja mati. Ia duduk di tepi ranjang, meraih bantal, menghirup sisa bau sabun yang samar. Dada Erlang bergetar.
“Maaf,” bisiknya ke ruang kosong.
Andre berdiri di ambang pintu. “Lang.”
Erlang tidak menoleh.
“Kita temukan dia,” lanjut Andre. “Kita selalu menemukan.”
Erlang mengangguk. Tapi di balik ketegaran itu, ada ketakutan yang tumbuh—ketakutan yang tidak biasa ia kenal. Bukan takut pada musuh. Bukan takut pada peluru. Melainkan takut pada kemungkinan bahwa waktu berpihak pada mereka yang salah.
Hari berganti tanpa kabar. Jejak-jejak dipelajari, diputar, ditolak. Mobil-mobil yang lewat malam itu disaring. Nomor-nomor asing ditelusuri. Semua berujung pada satu kesimpulan: penculik tahu persis bagaimana tidak meninggalkan apa pun.
“Ini bukan penculikan impulsif,” kata Andre di hari ketiga. “Ini penghilangan.”
Kata itu menghantam lebih keras.
Erlang berdiri di balkon, menatap kota. Di kepalanya, Feni berjalan di lorong gelap, sendirian. Ia menutup mata, memaksa diri bernapas.
Bertahan, katanya pada dirinya sendiri. Dia akan bertahan.
Malam keempat, Erlang menerima pesan tanpa nama.
......................
Hanya itu.
Erlang membaca berulang kali, lalu tersenyum tipis—senyum yang tidak mencapai mata.
“Tidak,” katanya pelan. “Aku tidak akan berhenti.”
Ia mengetik balasan yang tidak pernah terkirim, lalu menghapusnya. Beberapa perang tidak dimenangkan dengan kata-kata.
Ia mengambil jaketnya, memeriksa pistol, dan menatap pantulan dirinya di kaca. Wajahnya lebih keras dari kemarin. Lebih dingin. Tapi di balik itu, satu hal tetap sama.
Cinta yang tidak berkurang oleh jarak.
Kehilangan tanpa jejak bukan akhir.
Bagi Erlang, itu adalah awal dari pencarian yang tidak akan berhenti—sampai Feni kembali, atau sampai dunia memaksanya jatuh bersama kebohongannya sendiri.
...****************...