Johanna Kate seorang gadis cerdas yang kehilangan ibunya pada usia muda. Johanna sama sekali tidak mengetahui keberadaan ayahnya dan mengharuskannya tinggal bersama bibinya dan Nara. Selama tinggal bersama bibinya, Johanna kerap mendapatkan perlakuan tidak baik.
Setelah lulus SMA, Johanna dijual kepada lelaki hidung belang dan memaksanya harus menikah. Siapakah lelaki yang rela membeli Hanna dengan bayaran sangat tinggi. Apakah kehidupan Hanna berubah setelah itu?
ikutin terus yuk....
Novel ke sebelas ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ani.hendra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERITA KEPINDAHAN
💌 MUST GET MARRIED 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Berita kepindahan Hanna di ikut sertakan dalam agenda rapat yang di pimpin oleh pak Rayhan. Semua peserta rapat memberikan ucapan selamat kepada Hanna atas kepindahannya. Walau hanya tiga bulan, tapi Betran merasakan bahwa Hanna akan menetap di kota A. Betran mengembuskan napas singkat, ia menutup berkas laporannya.
Setelah mengikuti rapat. Pak Reyhan langsung berjalan menuju ruangan. Betran berjalan ke arah pantry untuk menyiapkan kopi buat mereka. Sementara Hanna langsung menuju mejanya. Hari ini ia harus bergerak cepat menyelesaikan proyek terakhirnya, menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang tersisa sebelum ia berangkat ke kota A. Belum lagi ia harus meninjau lokasi dengan Betran dan menge-push seluruh tim yang ikut bekerja dengannya untuk target pekerjaan yang telah ditetapkan. Hanna harus benar-benar menyibukkan dirinya. Dibantu beberapa tim yang bekerja dengannya. Hanna langsung duduk di kursinya sambil membuka laptop yang ada di hadapannya. Hari ini akan di mulai dengan kesibukan.
CEKLEK!
Pintu terbuka.
Betran masuk dengan semangat membawa tiga kopi buat Hanna dan Natalie, beserta Mark. Sementara teh hangat buat Betran. Ia berjalan masuk menuju sofa dengan senyum menawan. Ia meletakkan empat gelas minuman yang dibawanya dari pantry ke atas meja. Ekor matanya melihat ke arah Hanna. Wanita cantik itu begitu mempesona di saat ia begitu serius bergelut dengan pekerjaannya. Ia tersenyum lagi, lalu melangkah mendekati meja itu. Betran bisa begitu lama menikmati wajah cantik itu. Melihat dengan jelas garis wajah dari Hanna. Mengakuinya dalam hati, siapa yang tidak menyukai Hanna. Tanpa sadar, Betran tersenyum samar melihat pemandangan itu. Sepersekian detik Betran mengembalikan pikirannya. Ia menggeleng cepat. Betran sadar, Hanna bukannya orang yang mudah ditaklukkan.
"Apa Natalie dan Mark, belum datang Hanna?" tanya Betran mengabsen seisi ruangan dan matanya teralih kepada Hanna. Ia tersenyum singkat di balik meja Hanna, melihat gadis itu belum menyadari kehadirannya. Hanna tidak menjawabnya, ia terus menatap laptop dan jari tangannya dengan lincah menari-nari di atas keyboard.
"Hanna?" panggilnya lagi.
Hanna mendongakkan kepalanya menatap Betran. "Ah, maaf Betran. Tadi bilang apa?"
Betran tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, "Silakan di lanjutkan pekerjaannya nona cantik, saya akan duduk sambil menunggu kedatangan Natalie dan Mark." ucap Betran akhirnya mengalah.
Alis Hanna mengerut bingung, Ia menggeleng pelan lalu kembali menatap laptopnya. Ia menyelesaikan laporan masalah proyek dan mengirimkan Email langsung kepada direktur utama Diamond agar beliau bisa langsung memeriksanya.
TOK TOK TOK
Terdengar ketukan pintu dari luar, "Selamat siang Hanna," Natalie mengintip dari balik pintu.
"Masuklah," Kata Hanna tetap fokus dengan pekerjaannya.
Natalie dan Mark berjalan bersama dan menyapa Betran yang sudah berada di ruangan.
Hanna bangkit dari duduknya dan berjalan dengan anggun sambil membuka jas blazer dan menggantungnya di sudut ruangan. Ia duduk di sofa berhadapan dengan Betran, Natalie dan Mark. Mereka dikenal tim yang cepat karena Hanna bisa membangun timnya dengan baik. Mereka solid dan semakin berkembang. Ia dikenal dengan pemikiran jenius dalam mengatasi masalah di perusahaan anak cabang.
"Sudah siap?" tanya Hanna tersenyum menatap rekan kerjanya.
"Sudah Hanna." jawab mereka serentak.
"Mark, tolong tunjukkan dokumen proyek yang kita kerjakan dari dua tahun yang lalu." Kata Hanna membuka laptopnya dan mengambil berkas di atas meja.
Mark terbelalak, "Dua tahun yang lalu? apa kamu tidak salah?" Tanya Mark.
"Ambilkan saja." Kata Hanna terus melihat berkas yang ada di tangannya.
"Baik." Jawab Mark bangun dari duduknya mengambil dokumen yang ada di dalam lemari di ruangan itu. Sementara Betran dan Natalie menatap laptop masing-masing.
"Ini Hanna?" Mark menyerahkan dokumen itu.
"Ah, iya. Terimakasih kasih, Mark." Hanna hanya melihatnya sekilas dan menyambut dokumen yang diberikan Mark. Ia kemudian melepas dokumen itu di atas meja.
"Apa penting Hanna, dokumen itu kita bahas lagi? Bukannya proyek itu sudah selesai?" tanya Natalie menyadari.
Hanna tersenyum, wajahnya kembali serius. "Saya memang sengaja mengumpulkan kalian untuk membahas hal itu. Sangat disayangkan Maura tidak ada. Tapi tidak apa, kita bisa membahasnya kenapa saya memintamu mengambilkan semua data ini. Agar jika saya tidak ada, kalian bisa mencarinya dengan mudah. Sewaktu-waktu pak Rayhan memintanya."
Betran, Mark dan Natalie menatap Hanna dengan serius sambil memperhatikannya. Hanna membuka berkas-berkas itu dengan serius sebelum ia menjelaskan. Lembar demi lembar dibalikkan. Ia menatap kertas-kertas itu sambil bergumam. Bola matanya bermain ke kiri dan ke kanan. Dahinya mengerut serius. Hanna masih fokus dengan dokumen-dokumennya. Tangannya seakan bermain-main pada lembaran-lembaran kertas itu. Menandai dan memberikan catatan kecil di sana.
"Betran, tolong cari data labeling. Sementara Mark, kau hanya melengkapi dan analisis kembali." jelasnya.
"Tugas saya apa Hanna?"
Hanna mengangkat tangannya, Natalie seketika menjepit bibirnya. Ia menyadari gestur itu. Menyuruhnya untuk bersabar.
"Kalian sudah paham?"
"Sudah," jawab Betran dan Mark serentak.
"Oke, terima kasih. Buat Natalie sekarang tugasmu hanya menampilkan dalam bentuk grafik."
"Baik," sahut Natalie mengangguk cepat.
Hanna melakukan hal yang sama pada dokumen selanjutnya. Mereka dengan sigap mengerjakan tugas yang diberikan Hanna. Gerakan yang cepat dan cekatan. Mereka membaginya dalam tiga versus yang berbeda agar lebih mudah mencarinya dan membandingkan data. Dari sini ia akan lebih mudah untuk menetapkan strategi berikutnya.
Dan tiba-tiba dengan serentak mereka mengucapkan.
"Selesai...." embusan napas lega keluar dari mulut Hanna. Mereka merenggangkan otot-ototnya.
Hanna tersenyum, akhir kata yang sering mereka ucapkan jika pekerjaan mereka selesai. Mereka tersenyum puas dan merapikan berkas-berkas itu kembali. Betran, Mark dan juga Natalie sudah meninggalkan ruangan. Sekarang tinggallah Hanna seorang. Ia memiringkan kepalanya dan mengurut lehernya. Ia kembali menyandarkan punggungnya. Menghembuskan napasnya lewat mulut. Ia memejamkan matanya sesaat, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.
🔹🔹🔹🔹🔹
Sore, senja mulai memperlihatkan keindahannya. Hanna terbangun dari tidurnya yang hanya 15 menit saja. Hanna menatap keluar. Sejenak hening, terdiam, entah apa yang Ia pikirkan? dengan menatap lurus melihat senja yang mulai akan tengelam meninggalkan terang dan mendatangkan malam. Hanna melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Ia lalu mengambil ponselnya yang ditaruh di atas meja.
Bayang-bayang Levi selalu menari-nari dalam pikirannya, seakan menghantui batinnya. Bagaimana kecelakaan itu merenggut kebahagiaan Levi. Ia bahkan tidak ingat orangtuanya.
Hanna sudah menyimpan nomor telepon pak Antoni. Ia lalu mencari kontak nama asisten Antoni. Hanna akhirnya menekan tombol panggil.
SATU KALI TIDAK DI ANGKAT.
Hanna menatap layar pipih itu. Lagi, ia mencoba memanggil kontak Antoni.
DAN AKHIRNYA PANGGILAN ITU DI JAWAB OLEH ANTONI.
"Hallo," terdengar suara Antoni diujung telepon.
"......" Hanna hanya diam, tak tahu mau bilang apa.
"Halo, ini siapa?"
"Selamat sore pak Antoni, saya Hanna," sapa Hanna dengan sopan.
"Hanna?" Antoni sedikit terkejut dan terdiam di ujung telepon.
"Senin aku berangkat pak." Kata Hanna dengan suara pelan dan berat.
"Baiklah, aku tunggu kedatanganmu."
"Iya pak." Hanna tersenyum di balik telepon.
Antoni menarik napas singkat. "Dari siapa kau tahu nomorku, Hanna?" Antoni berucap to the point.
"Maaf pak, aku tahu dari pak Reyhan. Aku meminta darinya."
Belum lagi pak Antoni menjawab. DAN TIBA-TIBA...
Hanna mendengar Levi sedang berbicara di ujung telepon. Antoni diam dan tidak bicara. Ia sepertinya hanya mendengar instruksi dari Levi. Hanna bisa mendengar jelas pembicaraan mereka dari ujung telepon.
"Pak Antoni?" panggil Hanna. Namun tidak ada sahutan dari Antoni.
Hanna tersenyum, setidaknya ia bisa mendengar suara Levi di sana. Beberapa detik kemudian, Antoni memutuskan panggilan telepon itu.
BERSAMBUNG
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini novel ke sebelas aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
ada apa ini?.
apa.yang dirahasiakan mereka
nunggu Senin lama banget sih
semakin penasaran aku
(meminta dengan nada paling lembut)
soalnya saya penasaran
tambah seru ceritanya
kok otakku berpikir keras dan tidak menemukan jawabannya