Dalam satu hari hidup Almira berubah drastis setelah menggantikan kakaknya menikah dengan King Alfindra. CEO yang kejam dan dingin.
Apakah Almira sanggup menghadapi Alfin, suami yang ternyata terobsesi pada kakaknya? Belum lagi mantan kekasih sang suami yang menjadi pengganggu diantara mereka.
Atau Almira akan menyerah setelah Salma kembali dan berusaha mengusik pernikahannya?
Yuk simak ceritanya, semoga suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Bapak Bapak Belanja
Pulang bertemu klien, Alfindra dan Madel gegas kembali ke hotel menjemput Almira. Mereka akan pergi ke gerai untuk membeli gaun yang akan digunakan nanti malam menghadiri perjamuan salah satu kolega mereka di Bandung. Bukan hanya kolega bisnis Kingdom, mereka juga termasuk kolega bisnis keluarga Dominic.
"Tuan, anda yakin akan mengajak Nona Almira ke perjamuan?" tanya Madel. Pemuda yang sudah bertahun-tahun menjadi assisten Alfin itu lebih memikirkan resiko nantinya. Belum lagi jika bertemu dengan orang tua Alfindra nanti disana. Sudah dipastikan huru hara akan kembali terjadi jika Tuan besar Dominic membawa serta Silvia.
"Yakin. Apa kau meragukanku, Madel? Ada aku yang melindungi Almira mereka tidak akan berani. Lagi pula, bukankah setiap pertanyaan selalu ada jawabannya? Aku akan menjawab apapun yang mereka tanyakan. Simple!"
"Oke, Tuan!"
Madel memilih menunggu di mobil selagi Alfindra memanggil Almira.
"Ck! Malah tidur, di jalan tidur di hotel tidur," dumel Alfindra di hadapan wajah Almira. Namun, wanitanya itu seolah sama sekali tak terusik oleh kehadiran Alfindra, masih asyik lelap dalam tidurnya.
"Kebo bule," dumel Alfindra di depan wajah Almira.
"Tapi cantik!" tanpa sadar bibirnya melengkung tipis melihat istrinya tidur.
Kembali keluar, Alfindra memilih membiarkan istrinya tidur dari pada repot-repot membangunkannya dan masih harus menunggu bersiap.
"Tuan, Nona?" Madel melihat ke arah belakang Alfindra. Hanya ada orang lalu lalang lewat.
"Almira tidur, aku tak tega membangunkannya. Kita ke mall berdua saja!"
"Berdua?" tanya ulang Madel. Alamat ini, alamat dia kerepotan memilih selera mana yang cocok untuk Nona-nya.
Masalahnya jika hanya gaun-gaun simpel, Madel sudah sering melakukannya atas perintah Alfindra. Bahkan dulu ia sering mencarikan gaun untuk Salma dan sekarang...
Masalahnya ini adalah gaun yang akan digunakan untuk perjamuan para petinggi bisnis. Meskipun berlatar ulang tahun salah satu pengusaha kaya di Bandung.
"Ya, kamu pilih mana yang bagus untuk Amira!"
Madel seketika terdiam.
"Ralat, kayaknya lebih bagus cari satu set, untukku juga. Bagaimana?" ide cemerlang Alfindra membuat Madel seketika tersenyum lega.
"Itu artinya, Nona harus mengikuti selera warna tuan!" seru Madel diangguki langsung oleh Alfindra.
"Bagaimana kalau Tuan memutuskan warna dari sekarang?" seru Madel. Alfindra pikir ada benarnya juga ucapan sang assisten, jadi setelah sampai mall mereka langsung mencari warna yang sesuai.
"Hitam?" tanya Alfindra memberikan ide.
"Tuan sudah tiap hari memakai warna hitam, apa tidak bosan?" protes Madel.
"Tapi aku suka warna hitam, kamu bilang aku suruh milih," keluh Alfindra.
"Warna hitam identik dengan berduka, dan itu juga terlalu biasa untuk perjamuan. Takutnya Tuan dan Nona disangka mau melayat," tolak Madel tak menyetujui warna pilihan Alfindra.
Bagaimana dengan putih?" opsi lain Alfindra.
"Terkesan seperti pengantin dadakan!" lagi-lagi Madel tak setuju.
"Pink saja sekalian!" dumel Alfindra mulai kesal.
"Ha ha ha... Tuan jangan terlalu serius! Jangan marah," bujuk Madel. Entah keberanian darimana ia malah menertawakan alfindra.
"Kamu menertawakanku?"
"Ehm, tidak berani tuan! Bagaimana kalau warna gold?"
Alfindra menggeleng, "aku tidak sukaa milikku jadi pusat perhatian."
Membayangkan Almira memakai warna itu, dengan bahu seputih susu dan rambut sebahu membuat otaknya mulai terkontaminasi.
"Shittttt... Terserah lah, warna kita putuskan disana!" geram Alfindra.
Mobil sampai di Big Mall Bandung, Alfindra turun diikuti Madel.
Memasuki lobi mall dengan kaca mata hitam serta jass sisa pertemuan tadi.
Beberapa gadis hampir menatap mereka tak berkedip, Alfindra dan Madel memang memiliki bibit bapak-bapak h0t.
"Kamu lihat kan?" Alfindra menaikkan alis jumawa.
"Ya, Tuan? Lihat apa?" tanya Madel.
"Gadis-gadis itu, melihatmu dengan tatapan nafsu!" Alfindra terkekeh pelan.
"Sia lan, Tuan satu ini," batin Madel. Hanya bisa ikut meringis. Memang benar, wajahnya cukup mumpuni menjadi idola kaum hawa.
Akan tetapi, ia tak berani terlalu percaya diri melebihi tuannya.
"Mereka itu melihat anda, Tuan. Saya hanya remahan rengginang di kaleng kh*ng guan," kelaka Madel. Baru kali ini dua pria dewasa satu generasi itu terlihat lebih santai dan saling melempar canda. Menurut Madel, Tuan-nya akhir-akhir ini jauh lebih ramah dibanding dulu.
"Lihat itu Tuan," tunjuk Madel pada gaun berwarna putih dengan aksen mutiara kecil, model V-neck sangat cocok untuk Almira yang berkulit putih.
"Kamu mau semua orang melihat da da istriku?" geram Alfindra.
"Saya tidak berani, Tuan! Bagaimana kalau yang itu?"
"Big No, aku memang suka warna merah. Tapi jika Almira yang memakainya, itu hanya berlaku untuk aku pribadi," aku Alfindra tanpa sadar.
"Anda sangat posesif Tuan, saya pastikan sebenarnya anda sudah jatuh cinta dengan Nona Almira," batin Madel malah tersenyum.
"Kenapa? Malah senyam senyum!"
"Tidak Tuan! Bagaimana dengan yang disana," tunjuk Madel. Lama-lama ia lengser jadi assisten dan memilih menjadi tukang tunjuk. Warna peach, sangat kalem, juga cocok dengan wajah Almira yang imut-imut kaya bakpau rasa strawberry.
Alfindra menolak, lalu matanya tersenyum kala melihat warna navy. Istrinya pasti sangat anggun jika memakai dress itu. Lagi pula, warna navy untuknya tak terlalu buruk bahkan cenderung cocok.
"Aku mau itu," tunjuk Alfindra.
Madel mengikuti arah pandangnya kemudian mengangguk. Alfindra mendekat, akan tetapi saat menyentuh dress yang diingini, seseorang juga sedang melihatnya.
"Maaf ini punya saya," seru Alfindra. Orang yang memegang dress itu sontak tak terima, dan menoleh.
Glekk...
"Kamu lagi," decih Alfindra kala dimana-mana, nggak di Jakarta maupun di Bandung harus ketemu dengan Rayyan.
"Dunia ini sempit sekali, kebetulan bertemu denganmu disini tentu salah satu bagian takdir!" Rayyan tersenyum miring.
"Cih!" decih Alfindra.
"Mbak, saya mau yang ini!" pinta Rayyan membuat raut wajah Alfindra memerah murka.
"Ini punya saya, Mbak! tolong dibungkus, saya yang lebih dulu pegang," seru Alfindra tak mau kalah.
"Punya saya, saya juga mau ini!" Rayyan tak mau kalah. Hal itu tentu membuat emosi Alfindra naik ke ubun-ubun. Ia hampir mendaratkan bogeman mentah kalau tak Madel menghalangi keduanya.
"Saya akan bayar dua kali lipat dari harga!" kekeh Rayyan.
Alfindra tak terima, menatap remeh Rayyan dan berdecak pelan.
"Tiga kali lipat, istri saya hamil mau dress ini," seru Alfindra beralibi.
"Hehehe istri? Bukankah anda selingkuh Tuan? Jangan percaya sama dia Mbak, musrik!" sinis Rayyan.
"Tuan tenang!" Madel mengusap-usap bahu Alfindra agar emosi boss-nya itu tak meledak.
Beberapa yang belanja disana cukup terkejut dengan perdebatan dua pria keren yang tengah memperebutkan dress yang sama.
"Tenang semuanya! Karena kalian berebut, jadi biar boss saya saja yang menentukan. Lagian harga dress ini cukup mahal, pasti..
" seseembak itu menjeda kalimatnya.
"Kami mampu bayar!" kekeh Alfindra dan Rayyan.
"Shitttt," umpat Alfindra menatap kesal Rayyan.
Madel memilih jalan pintas dengan bertemu manager gerai langsung. Disaat Alfindra, Rayyan dan seseembak bernegoisasi. Datanglah manager gerai untuk melerai mereka berdua.
"Maaf, seseorang lebih dulu memesannya jadi dress ini bukan kalian yang mendapatkan!" jelas Manager. Jika di Jakarta, Alfindra orang yang cukup dikenal begitupun Rayyan, berbeda dengan di Bandung.
"Kalau begitu, Madel kamu bungkus semua dress yang kamu tunjuk tadi!" geram Alfindra kemudian keluar gerai saking kesalnya.