Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan tak Terduga
Zidan membawa Khansa naik ke lantai paling atas. Jika tidak salah ingat, ada toko buku di lantai atas.
“Kita mau kemana, Zi?” tanya Khansa yang merasa bingung karena Zidan hanya menarik tangannya.
“Ikut aja, kamu akan tau sendiri.”
Saat mereka sampai di lantai atas, Khansa bisa melihat ada toko buku yang sangat besar. Ia langsung berlari menuju ke toko itu, sayangnya langkahnya terhenti karena tangannya masih digenggam oleh Zidan.
“Ayolah, Zi,” pints Khansa dengan memohon.
“Baiklah.” Zidan sedikit berlari karena Khansa terus saja menarik tangannya.
Begitu banyak buku membuat Khansa sangat senang. Ia ingin berlari tapi Zidan tidak melepaskan tangannya sama sekali. Dengan sabar Khansa hanya bisa melihat buku-buku yang dipajang.
Zidan masih setia memegang tangan Khansa, tanpa berniat melepasnya. Sampai Khansa mengelilingi toko itu, mereka berdua masih bergandengan tangan.
Bahkan saat Khansa sudah mendapatkan bukunya, Zidan masih tidak melepaskan tangannya. Dan itu membuat Khansa sedikit kesulitan.
“Zi?”
“Mmm? Ada apa? Kamu tidak menemukan bukunya?” tanyanya yang menatap Khansa.
“Bukan, apa kamu tidak melihat aku sudah menemukan bukunya? Tapi aku masih mau beli buku lain. Sekarang, apa kamu bisa melepaskan tanganku? Bagaimana aku bisa membawa bukunya?” Khansa berusaha menahan rasa kesalnya.
Zidan melihat tangan Khansa yang sudah membawa dua buku yang cukup tebal. Tangannya kecilnya sedikit kesusahan membawa dua buku itu.
“Bisa lepaskan tanganku?” pinta Khansa dengan memohon.
“Tidak! Tunggu sebentar.” Zidan melihat sekeliling untuk mencari keranjang.
“Nah, itu dia!” Zidan menarik tangan Khamsa untuk mengambil keranjangnya. Khansa hanya pasrah mengikuti Zidan yang terus saja menariknya.
Zidan mengambil satu keranjangnya, “Letakkan bukunya disini, aku yang akan membawanya.” Khansa meletakkan bukunya dengan sedikit kasar karena merasa kesal dengan sikap Zidan.
Khansa mengambil nafas agar ia tidak terpancing dengan sikap Zidan. Tangannya terasa lembab karena Zidan tidak melepaskan tangannya sama sekali sejak masuk ke dalam mall.
“Jadi cari buku yang lain?” Khansa menganggukkan kepalanya malas. Ia sangat kesal, tapi mau bagaimana lagi, tidak ada yang bisa dilakukan karena Zidan tidak akan melepaskan tangannya.
Khansa berbalik mencari buku yang lain, ada beberapa buku yang ia minati, salah satunya novel horor komedi.
Tiga buku masuk Khansa masukkan keranjang. Totalnya, Khansa mengambil lima buku.
“Sudah selesai?” Khansa mengangguk pelan.
“Oke, kita bayar lalu pindah ke toko yang lain buat beli keperluan kulian kamu.” Dengan rasa kesal yang masih mengganjal di hati, Khansa hanya tersenyum.
Beruntungnya toko buku tidak mengantri, karena pelanggan baru saja berdatangan. Jadi, mereka berdua tidak perlu menunggu lama, lalu pindah ke toko yang lain.
Semua keperluan kuliah Khansa sudah di beli, dan sekarang mereka sedang mengantri karena cukup tokonya cukup ramai.
Disaat giliran mereka akan membayar, Zidan masih tidak melepaskan tangan Khansa. Bukan hanya kesal lagi, Khansa benar-benar malu dengan apa yang dilakukan Zidan.
Semua orang berbisik-bisik membicarakan mereka berdua. Memang bukan menghina, tapi tetap saja itu membuat Khansa merasa sangat malu.
“Zi, lepas! Semua orang liatin kita, apa kamu tidak akan melepaskan tanganku?” bisiknya pada Zidan.
“Tidak akan, aku takut terjadi sesuatu sama kamu. Kamu baru saja datang ke tempat seperti ini, anggap saja ini pengenalan, untuk hari ini aku tidak akan melepaskan tanganmu.”
“Oke, kalau begitu jangan harap aku mau bicara sama kamu!” ancam Khansa.
Zidan melotot, melepaskan tangannya beralih memegang kedua lengan Khansa. “Sa? Kok gitu si? Janganlah.”
Khansa memalingkan wajahnya melihat ke arah lain. Ia sudah tidak memiliki kesabaran lagi melihat tingkah Zidan.
Saat Zidan masih berusaha membujuk Khansa, ia dipanggil oleh kasirnya.
“Maaf kak, ini kartunya.”
“Ah iya.” Zidan langsung berbalik. Mendapat kesempatan, Khansa pergi meninggalkan Zidan yang mengambil paper bag yang berisi buku yang ia beli.
“Terima kasih karena sudah belanja di toko kami.” Zidan hanya mengangguk.
Saat Zidan berbalik, ia sudah tidak melihat keberadaan Khansa. Ia melihat lurus ke depan, yang dimana Khansa baru saja menuruni eskalator.
“Khansa!” teriak Zidan yang berlari menyusul Khansa.
Khansa melihat ke belakang, yang dimana Zidan berusaha mengejarnya. Dengan buru-buru Khansa menuruni tangga eskalatornya.
Zidan terus mengejar Khansa, sedangkan Khansa jalan dengan buru-buru hingga tidak sengaja menabrak seseorang.
Brukk
“Akh!” sontaknya kaget dan jatuh bersimpuh di lantang.
“Maaf-maaf, aku tidak sengaja,” ucap orang yang bertabrakan dengan Khansa.
Selain Khansa yang jalan terburu-buru, orang yang menabraknya berjalan dengan memainkan ponselnya. Karena Khansa tidak seimbang, ia terjatuh.
“Sssttt,” lirih Khansa. Tangannya meraih kakinya yang terasa sakit. Sepertinya kaki Khansa terkilir.
“Gue bantu ya?” tawarnya yang ingin membantu Khansa berdiri.
“Tidak! Kakiku terkilir, aku nggak bisa berdiri dengan benar.” Khansa memijat kakinya agar terasa lebih baik. Ia menekan beberapa titik, dan sekarang kakinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Minimal bisa digerakan dan bisa berdiri.
“Khansa!” panggil Zidan yang khawatir karena melihat Khansa terjatuh.
Zidan langsung berlari menuruni tangga eskalator agar ia segera membantu Khansa. Saat ini, Zidan berjongkok di depan Khansa.
“Kamu nggak papa? Mana yang sakit? Aku lihat kamu memegangi kaki, apa kakimu terkilir?” tanya Zidan dengan suara yang benar-benar khawatir.
“Aku nggak papa, Zi. Tapi sempet kekilir, tapi aku udah tekan beberapa titik agar rasa sakitnya berkurang.”
“Baiklah, aku bantu berdiri.” Zidan membantu Khansa berdiri.
Zidan memegang erat pinggang Khansa agar tidak terjatuh, matanya tidak lepas dari Khansa.
“Kak, maaf ya. Aku juga salah tadi, karena jalannya buru-buru,” ucap Khansa.
Sedangkan orang yang bertabrakan dengan Khansa hanya diam. Sejak tadi ia hanya mengamati interaksi Khansa dengan Zidan.
Bibirnya terasa kaku untuk berbicara melihat seseorang yang datang membantu Khansa tanpa melihat keberadaannya.
“Zidan…” lirihnya.
Reflek Zidan langsung mendongak, ia mematung melihat seseorang yang dua minggu ini ia abaikan, bahkan ia memintanya putus.
“Na-naya?”
Khansa melihat wanita yang berdiri di hadapannya, wajahnya terlihat sangat terkejut. Jadi. Ini kekasih Zidan? batin Khansa.
“Zidan, gue minta penjelasan kenapa lo tiba-tiba minta putus dari gue!”
“Nay, kita sudah tidak memiliki hubungan apapun sekarang. Jadi, tidak perlu ada yang perlu dijelaskan.”
Khansa hanya melihat perdebatan antara Zidan dengan Naya. Ia merasa tidak enak berada diantara mereka berdua.
“Kenapa? Apa karna dia?!” tunjuk Naya pada wajah Khansa.
“Singkirkan tangan lo!” Zidan menepis tangan Naya. “Gue akan selesaikan sekarang. Gue tekankan lagi, kita berdua sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan kita sudah putus!”
“Gue nggak mau! Gue nggak mau putus sama lo Zidan! Apa karna dia lo mutusin gue?” Naya menatap tajam ke arah Khansa.
“Lo—